TATA LETAK PEMUKIMAN DI SITUS BENTENG MAJAPAHIT, ABUNG TENGAH, LAMPUNG UTARA
Nurul Laili
Sari
Pemukiman di Situs Benteng Majapahit, Abung Tengah, Lampung Utara merupakan pemukiman yang berbenteng dan berparit. Secara spesifik pemukiman ini mempunyai 3 area yang masing-masing ruang dibatasi oleh benteng dan parit. Secara pertanggalan ketiga area tidak berbeda.
Abstract
Fort Majapahit sites in Middle Abung North Lampung represent settlement that have fort and ditch. Specifically these settlements have 3 area in which each area are bordered by fort and ditch. All area is from same dating period.
Kata kunci: tata letak, pemukiman, dan benteng
Pendahuluan
Secara administratif, Benteng Majapahit termasuk wilayah Kampung Pekurun, Kecamatan Abung Tengah, Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung. Secara geografis, kawasan situs Benteng Majapahit dikelilingi benteng tanah dan sungai. Situs ini terletak di sebelah utara Waduk Rarem, sebelah barat laut sipon (pintu air) I irigasi Way Rarem, Tulung Areng, dan Way Bangik. Way Rarem merupakan sungai utama di lokasi ini mengalir di sebelah timur laut. Aliran Way Rarem dari barat laut ke tenggara. Sebelah barat Way Rarem terdapat sungai kecil yang disebut Tulung Areng. Sungai ini mengalir di sebelah barat dan utara situs. Di sebelah timur situs terdapat aliran Way Bangi yang mengalir dari tenggara ke barat laut. Ketiga sungai tersebut menyatu bermuara di sebelah timur laut situs.
Keberadaan situs Benteng Majapahit pertama kali disurvei oleh Tim Balai Arkeologi Bandung tahun 2003. Penelitian di situs Benteng Majapahit merupakan rangkaian dari penelitian tentang pemukiman Benteng di Kampung Gunungkatun Tanjungan dan Gunungkatun Malay Kecamatan Tulangbawang Udik, Kabupaten Tulangbawang, Provinsi Lampung dan pada tahun 2005 situs Benteng Majapahit ini dilakukan penelitian secara lebih mendalam.
Berdasarkan dari analisis artefak yang dilakukan, khususnya untuk tembikar dan keramik asing, menunjukkan adanya indikasi pemukiman. Identifikasi bentuk tembikar yang telah dilakukan menunjukkan bentuk wadah yang dipergunakan sehari-hari. Wadah tersebut adalah periuk, mangkuk, pasu, kendi, dan tempayan (Laili, 2006:103-108).
Data yang diperoleh dari analisis keramik asing menunjukkan benda-benda yang dipergunakan untuk keperluan sehari-hari, seperti piring, mangkuk, tempayan, sendok, vas, tutup, cepuk, cangkir, dan guci. Berdasarkan hasil analisis pada aspek penanggalan, keramik Cina masa dinasti Ming dan Qing, keramik Thailand, serta keramik Eropa merupakan keramik yang banyak ditemukan di situs tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aktifitas masyarakat di Benteng Majapahit berlangsung sekitar abad ke-16 hingga abad ke-19 (Saptono, 2006: 10-12).
Data yang menarik di situs Benteng Majapahit adalah keberadaan situs yang terbagi menjadi tiga area. Masing-masing area tersebut dibatasi dengan adanya benteng parit. Hal yang akan dikedepankan dalam tulisan ini adalah bagaimana tata letak pemukiman di situs Benteng Majapahit.
Penelitian yang dilakukan meliputi keseluruhan lahan situs Benteng Majapahit. Penelitian bertipe eksploratif dan deskriptif dengan mengikuti pola penalaran induktif. Sejalan dengan metode eksploratif maka penelitian dilakukan dengan berlandaskan pada seluruh data guna mempertajam permasalahan, selanjutnya dilakukan pendeskripsian, analisis dan interpretasi data.
Keberadaan situs Benteng Majapahit pertama kali disurvei oleh Tim Balai Arkeologi Bandung tahun 2003. Penelitian di situs Benteng Majapahit merupakan rangkaian dari penelitian tentang pemukiman Benteng di Kampung Gunungkatun Tanjungan dan Gunungkatun Malay Kecamatan Tulangbawang Udik, Kabupaten Tulangbawang, Provinsi Lampung dan pada tahun 2005 situs Benteng Majapahit ini dilakukan penelitian secara lebih mendalam.
Berdasarkan dari analisis artefak yang dilakukan, khususnya untuk tembikar dan keramik asing, menunjukkan adanya indikasi pemukiman. Identifikasi bentuk tembikar yang telah dilakukan menunjukkan bentuk wadah yang dipergunakan sehari-hari. Wadah tersebut adalah periuk, mangkuk, pasu, kendi, dan tempayan (Laili, 2006:103-108).
Data yang diperoleh dari analisis keramik asing menunjukkan benda-benda yang dipergunakan untuk keperluan sehari-hari, seperti piring, mangkuk, tempayan, sendok, vas, tutup, cepuk, cangkir, dan guci. Berdasarkan hasil analisis pada aspek penanggalan, keramik Cina masa dinasti Ming dan Qing, keramik Thailand, serta keramik Eropa merupakan keramik yang banyak ditemukan di situs tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aktifitas masyarakat di Benteng Majapahit berlangsung sekitar abad ke-16 hingga abad ke-19 (Saptono, 2006: 10-12).
Data yang menarik di situs Benteng Majapahit adalah keberadaan situs yang terbagi menjadi tiga area. Masing-masing area tersebut dibatasi dengan adanya benteng parit. Hal yang akan dikedepankan dalam tulisan ini adalah bagaimana tata letak pemukiman di situs Benteng Majapahit.
Penelitian yang dilakukan meliputi keseluruhan lahan situs Benteng Majapahit. Penelitian bertipe eksploratif dan deskriptif dengan mengikuti pola penalaran induktif. Sejalan dengan metode eksploratif maka penelitian dilakukan dengan berlandaskan pada seluruh data guna mempertajam permasalahan, selanjutnya dilakukan pendeskripsian, analisis dan interpretasi data.
Gambaran Situs Benteng Majapahit
Istilah Benteng Majapahit, menurut Raja Pekurun, Tuanku Akan Pangeran mengacu pada nama pohon mojo yang rasanya pahit situs Benteng Majapahit merupakan lahan perkebunan lada. Lokasi situs berdasarkan peta topografi lembar 23 Daerah Kotabumi berada pada poisisi 04° 55’ 13,3” LS dan 104° 46’ 30” BT. Lahan situs Benteng Majapahit luasnya sekitar 900 meter persergi. Situs Benteng Majapahit terbagi dalam 3 lahan, yaitu:
Lahan I
Lahan sektor I merupakan lahan yang terdapat menhir. Menhir terletak di sebelah utara benteng kedua, kurang lebih pada pertengahan lahan. Jarak menhir dengan benteng berkisar 2 meter. Bentuk menhir tidak beraturan, berpenampang pipih pada bagian bawah melebar. Ukuran menhir adalah tinggi 90 cm, tebal 34 cm, dan lebar 70 cm. Di sekitar menhir diperoleh batu-batu bulat melingkar yang belum lama merupakan penataan Pak Usman (penduduk setempat). Batu-batu tersebut diperoleh dari areal lahan di situs benteng Majapahit dengan kondisi berserakan.
Lokasi sektor I merupakan lahan yang paling dekat dengan muara juga tempat bertemunya empat sungai. Di sebelah barat sektor I terdapat lahan yang landai ke arah Tulung Areng. Tempat ini merupakan tempat yang memungkinkan untuk dipergunakan sebagai pintu masuk ke areal lahan Benteng Majapahit.
Lokasi sektor I merupakan lahan yang paling dekat dengan muara juga tempat bertemunya empat sungai. Di sebelah barat sektor I terdapat lahan yang landai ke arah Tulung Areng. Tempat ini merupakan tempat yang memungkinkan untuk dipergunakan sebagai pintu masuk ke areal lahan Benteng Majapahit.
Lahan II
Benteng ke dua dengan lebar parit hingga mencapai sekitar 7 meter. Gundukan tanah terlihat di kedua sisi. Gundukan tanah tidak terlalu tinggi hanya sekitar 50-75 cm, sedang kedalaman parit hanya sekitar 75 cm. Pada ujung tenggara, yaitu pertemuan dengan benteng pertama, kedalaman parit hingga mencapai sekitar 6 meter.
Di dalam benteng kedua terdapat lahan yang disebut dengan sektor II. Sektor II merupakan lahan yang hampir sebagian besar ditanami lada. Data arkeologi yang diperoleh di sektor II selain artefak juga fitur berupa tumulus (gundukan tanah). Tumulus yang ada diberi kode T 4. Diameter yang dimilki T 4 adalah 3,5 meter, sedangkan tingginya hanya 30 cm, bahkan di sisi-sisnya hampir rata dengan tanah. Kondisi saat ini tumulus terdapat batu-batu bulat kecil yang melingkarinya. Lahan II merupakan lahan yang hampir sebagian besar ditanami lada. Data arkeologi yang diperoleh di sektor II selain artefak juga fitur berupa tumulus (gundukan tanah).
Di dalam benteng kedua terdapat lahan yang disebut dengan sektor II. Sektor II merupakan lahan yang hampir sebagian besar ditanami lada. Data arkeologi yang diperoleh di sektor II selain artefak juga fitur berupa tumulus (gundukan tanah). Tumulus yang ada diberi kode T 4. Diameter yang dimilki T 4 adalah 3,5 meter, sedangkan tingginya hanya 30 cm, bahkan di sisi-sisnya hampir rata dengan tanah. Kondisi saat ini tumulus terdapat batu-batu bulat kecil yang melingkarinya. Lahan II merupakan lahan yang hampir sebagian besar ditanami lada. Data arkeologi yang diperoleh di sektor II selain artefak juga fitur berupa tumulus (gundukan tanah).
Lahan III
Sektor III merupakan lahan yang terdapat tumulus. Lahan ini membentang timur laut-barat daya. Tumulus yang ada di sektor III berjumlah 3 tumulus. Lahan di sektor III dikelilingi parit benteng dan sungai.
Benteng parit yang ada membentang arah barat daya – timur laut. Benteng parit ini berada di sebelah utara lahan sektor III. Benteng terlihat di kedua sisi parit setinggi sekitar 90 cm dan kedalaman parit sekitar 170 cm. Lebar parit rata-rata 1 hingga 1,5 meter. Pada ujung barat daya benteng parit terdapat tebing yang membentang ke tepi Tulung Areng. Bentangan tersebut selebar sekitar 25 meter ke tepi Tulung Areng. Benteng parit ini terus membentang ke timur laut yang kemudian menyatu pada sudut timur laut dengan benteng parit kedua. Pada ujung timur laut benteng ini juga berbelok ke tenggara, sebagai batas sebelah timur dari lahan sektor III. Benteng yang terdapat di sisi timur lahan terdiri dari benteng tanah saja. Benteng ini semakin ke tenggara cenderung rata dengan tanah. Lahan di sisi benteng semakin rendah membentuk tebing ke arah Way Bangi.
Benteng parit yang ada membentang arah barat daya – timur laut. Benteng parit ini berada di sebelah utara lahan sektor III. Benteng terlihat di kedua sisi parit setinggi sekitar 90 cm dan kedalaman parit sekitar 170 cm. Lebar parit rata-rata 1 hingga 1,5 meter. Pada ujung barat daya benteng parit terdapat tebing yang membentang ke tepi Tulung Areng. Bentangan tersebut selebar sekitar 25 meter ke tepi Tulung Areng. Benteng parit ini terus membentang ke timur laut yang kemudian menyatu pada sudut timur laut dengan benteng parit kedua. Pada ujung timur laut benteng ini juga berbelok ke tenggara, sebagai batas sebelah timur dari lahan sektor III. Benteng yang terdapat di sisi timur lahan terdiri dari benteng tanah saja. Benteng ini semakin ke tenggara cenderung rata dengan tanah. Lahan di sisi benteng semakin rendah membentuk tebing ke arah Way Bangi.
Denah Situs Benteng Majapahit, Pekurun, Lampung Utara
(sumber: Balai Arkeologi Bandung)
(sumber: Balai Arkeologi Bandung)
Tata Letak Pemukiman Situs Benteng Majapahit
Clarke (1977) membedakan keruangan arkeologi dalam 3 tingkat ruang, mikro, semimikro, dan makro. Selanjutnya Mundardjito (1990) menegaskan bahasan ketiga tingkat ruang. Tingkat mikro, pola yang dipelajari berkenaan dengan persebaran ruang dan hubungan antarruang di dalam satu bangunan, serta hubungan antara unsur-unsur bangunan dengan komponen-komponen lingkungan alam. Dalam tingkat semimikro atau meso dipelajari persebaran dan hubungan antara bangunan-bangunan di dalam sebuah situs, seta persebaran dan hubungan antara bangunan-banguanan dengan kondisi lingkungan dan sumber daya alam. Tingkat makro mempelajari persebaran dan hubungan antar situs dalam satu wilyah, serta persebaran dan hubungan antara sirus-situs dengan kondisi lingkungan. Dengan demikian, penelitian ini satuan-satuannya masuk dalam permukiman tingkat meso (semimikro) (Mundardjito, 1990: 21-26).
Pola permukiman tingkat mikro dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain mata pencaharian, bahan bangunan, lingkungan, ketrampilan dan teknologi, struktur keluarga, kekayaan dan pangkat, pranata sosial lain dan kebutuhan khusus, spesialisasi produksi, kepercayaan agama, dan pranata sosial. Adapun pola permukiman tingkat semimikro, faktor yang mempengaruhi antara lain lingkungan dan teknologi mata pencaharian, organisasi keluarga dan kekerabatan, kelompok kelas, agama, dan etnik, spesialisasi, nilai dan orientasi, serta kosmologi. Sedang pada tingkat makro faktor yang mempengaruhi antara lain: sumber alam, perdagangan, organisasi politik, peperangan, agama, citarasa dan simbolik, serta migrasi dan perubahan populasi (Mundardjito, 1990: 21-26).
Perilaku manusia dalam menentukan lokasi tinggalnya tidak akan acak akan tetapi mengikuti zona-zona tertentu (Parson, 1972:134-135). Demikian halnya dalam pembagian ruang menurut Watson et. al, (1971) dan Fagan (1981) untuk hunian pun tidak acak dan teratur. Keteraturan itu juga mencerminkan pola pembagian ruang, sehingga hubungan antara manusia dan ruang dimana mereka berinteraksi, dapat terungkapkan (Eriawati, 1997: 64-65).
Pemukiman situs Benteng Majapahit merupakan pemukiman di daerah aliran sungai. Situs dikelilingi sungai, kecuali di sisi barat. Ketiga sungai tersebut juga sebagai batas wilayah situs secara menyeluruh. Bentang lahan situs memenuhi syarat sebagai suatu pemukiman. Situs dengan luas 900 meter persegi mempunyai permukaan tanah relatif datar. Posisi situs juga berada lebih tinggi dari sungai karenanya situs relatif aman. Pendukung situs dapat dengan leluasa memperhatikan pendatang yang datang dari arah sungai.
Pola permukiman tingkat mikro dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain mata pencaharian, bahan bangunan, lingkungan, ketrampilan dan teknologi, struktur keluarga, kekayaan dan pangkat, pranata sosial lain dan kebutuhan khusus, spesialisasi produksi, kepercayaan agama, dan pranata sosial. Adapun pola permukiman tingkat semimikro, faktor yang mempengaruhi antara lain lingkungan dan teknologi mata pencaharian, organisasi keluarga dan kekerabatan, kelompok kelas, agama, dan etnik, spesialisasi, nilai dan orientasi, serta kosmologi. Sedang pada tingkat makro faktor yang mempengaruhi antara lain: sumber alam, perdagangan, organisasi politik, peperangan, agama, citarasa dan simbolik, serta migrasi dan perubahan populasi (Mundardjito, 1990: 21-26).
Perilaku manusia dalam menentukan lokasi tinggalnya tidak akan acak akan tetapi mengikuti zona-zona tertentu (Parson, 1972:134-135). Demikian halnya dalam pembagian ruang menurut Watson et. al, (1971) dan Fagan (1981) untuk hunian pun tidak acak dan teratur. Keteraturan itu juga mencerminkan pola pembagian ruang, sehingga hubungan antara manusia dan ruang dimana mereka berinteraksi, dapat terungkapkan (Eriawati, 1997: 64-65).
Pemukiman situs Benteng Majapahit merupakan pemukiman di daerah aliran sungai. Situs dikelilingi sungai, kecuali di sisi barat. Ketiga sungai tersebut juga sebagai batas wilayah situs secara menyeluruh. Bentang lahan situs memenuhi syarat sebagai suatu pemukiman. Situs dengan luas 900 meter persegi mempunyai permukaan tanah relatif datar. Posisi situs juga berada lebih tinggi dari sungai karenanya situs relatif aman. Pendukung situs dapat dengan leluasa memperhatikan pendatang yang datang dari arah sungai.
Situs Benteng Majapahit sebagai sebuah pemukiman mempunyai karakteristik khas. Selain sungai sebagai batas situs, di dalam situs juga terbagi lagi menjadi 3 area (lahan). Ketiga area tersebut dibatasi oleh benteng dan parit.
Tata letak pemukiman di situs Benteng Majapahit terbagi menjadi 3 area (lahan), yaitu
- Area (lahan) 1 terletak dekat muara serta sebagai pintu masuk situs. Lahan ini dicirikan dengan fitur menhir.
- Area (lahan) 2 terletak di antara lahan I dan III. Lahan dicirikan dengan satuu tumulus (punden) yang sudah mengalami erosi. Tumulus ini menurut etnohistori dipercaya sebagai makam salah satu poyang pembuka desa. Ditilik dari masa tumulus ini diasosiasikan sebagai tinggalan masa Islam.
- Area (lahan) III dicirikan dengan 3 tumulus. Seperti halnya tumulus di lahan II, tumulus juga dianggap sebagai makam poyang leluhur. Dengan demikian tumulus ini juga diasosiasikan sebagai tinggalan masa Islam.
Berdasarkan temuan fitur dari masing-masing lahan dapat ditarik suatu simpulan sementara bahwa pemukiman di situs Benteng Majapahit kemungkinan besar merupakan situs yang mengalami perkembangan dari masa yang lebih tua dalam hal ini masyarakat prasejarah yang dicirikan oleh menhir sampai dengan perkembangan sesudahnya yang dicirikan dengan tumulus. Adapun benteng parit yang terdapat di antara lahan lebih merupakan batas wilayah saja.
Penutup
Pemukiman situs Benteng Majapahit merupakan pemukiman yang berbenteng dan berparit. Secara spesifik lagi pemukiman ini mempunyai 3 area yang masing-masing ruang dibatasi oleh benteng dan parit. Secara pertanggalan ketiga area tidak berbeda. Pertanggalan relatif berdasarkan keramik asing menunjukkan bahwa pemukiman di situs secara keseluruhan berlangsung sekitar abad ke-16 hingga abad ke-19. Hal tersebut didasarkan pada keramik Cina masa dinasti Ming dan Qing, keramik Thailand, serta keramik Eropa merupakan keramik yang banyak ditemukan di situs tersebut.
Keramik yang ditemukan di situs Benteng Majapahit baik dari kegiatan survei maupun ekskavasi menunjukkan benda-benda untuk keperluan sehari-hari seperti mangkuk, piring, dan sendok. Dengan adanya ragam temuan seperti itu, situs Benteng Majapahit menunjukkan sebagai situs pemukiman.
Keramik yang ditemukan di situs Benteng Majapahit baik dari kegiatan survei maupun ekskavasi menunjukkan benda-benda untuk keperluan sehari-hari seperti mangkuk, piring, dan sendok. Dengan adanya ragam temuan seperti itu, situs Benteng Majapahit menunjukkan sebagai situs pemukiman.
Daftar Pustaka
Clarke, David L. 1977. Spatial Archaeology. London: Academic Press.
Eriawati, Yusmaeni. 1997. “Gua Sumpang Bita: Model Kajian Pemukiman Skala Mikro”. Dalam Naditira Widya No. 02/1997, hlm. 63-72. Banjarmasin: Balai Arkeologi Banjarmasin.
Laili, Nurul. 2006. “Bentuk-bentuk Tembikar Di Situs Benteng Majapahit, Kabupaten Lampung Utara”. Dalam Agus Aris Munandar (ed.). Widyasancaya, hlm.103-108. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia..
Mundardjito. 1990. “Metode Penelitian Permukiman Arkeologi”. Dalam Edy Sedyawati et al. (ed.). Monumen: Karya Persembahan Untuk Prof. Dr. R. Soekmono, hlm.19-31. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Parson, J.R. 1972. Archaeological Settlement Pattern. Dalam Annual Review of Anthropology Vol. 1: 127-150.
Saptono, Nanang. 2006. Laporan Hasil Analisis Artefak Keramik Asing Temuan Hasil Penelitian Arkeologi di Situs Benteng Majapahit, Kampung Pekurun, Kec. Abung, Kab. Lampung Tengah. Balai Arkeologi Bandung.
Catatan:
Tulisan ini diterbitkan di buku berjudul “Widyasaparuna”, hlm. 102 – 108. Editor: Prof. Dr. Timbul Haryono. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Jawa Barat – Banten, 2006.
Nurul Laili adalah peneliti bidang prasejarah pada Balai Arkeologi Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar