20 September 2010

Menjelajah Masa Lampau


KONDISI MASYARAKAT LAMPUNG
PADA MASA PENGARUH HINDU-BUDDHA

Endang Widyastuti


Abstract

Archaeological remains of the Lampung region is known comes from the Hindu-Buddhist influence of a stele. Inscriptions found in Lampung were written in capital letters Pallawa and some are using letters Javanese version. Old Javanese-lettered inscription found in the area of Lampung is Hujunglangit Inscription and Tanjung Raya. The Hujunglangit inscription related to the determination as sima for the maintenance of the shrine. On this basis it is known that the people who live in the area are a religious community. This is indicated by the existence of several pieces of stone that indicates the existence of former human workmanship. It is estimated that the rock fragments are the remains of a sacred building. Meanwhile, the contents of Tanjung Raya Inscription yet known but see the land location Tanjung Raya Inscription, which is agricultural land that is fertile areas since possibilities past a residential area.

Kata kunci: Prasasti Hujunglangit, Prasasti Tanjung Raya, bangunan suci, kondisi masyarakat.


PENDAHULUAN
Perkembangan sejarah budaya masyarakat Lampung telah melalui beberapa babakan sejak dari masa prasejarah, klasik, hingga masa sekarang sebagaimana yang umum terjadi di seluruh Indonesia. Babakan sejarah budaya masa klasik menunjuk pada suatu babakan di mana budaya masyarakat Indonesia mendapat pengaruh budaya India (agama Hindu-Buddha). Secara umum, masa klasik di Indonesia berlangsung setelah masa prasejarah. Di Lampung, pada masa klasik hampir tidak ditemukan adanya pusat kekuasaan berupa kerajaan yang identik dengan pusat peradaban. Beberapa sumber yang ada hanya sedikit sekali yang bisa mengungkap pusat budaya klasik di Lampung.

Munculnya sebutan Lampung mungkin masih relatif baru. Asumsi ini didasari pada kenyataan bahwa jarang didapatkan sumber sejarah masa klasik yang menyebut Lampung. Sumber sejarah yang menyinggung keberadaan Lampung adalah Nagarakrtagama dan Amanat Galunggung. Prapanca pada pupuh XIII dan XIV menyebut daerah-daerah Melayu yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Daerah-daerah itu adalah Jambi, Palembang, Toba, Dharmasraya, Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Pane, Kampe, Haru, Mandailing, Tamihang, Parlak, Padang Lawas, Samudra, Lamuri, Batan, Lampung, dan Barus (Muljana, 1979: 146 dan 279). Menurut pemberitaan dalam Nagarakrtagama, Lampung termasuk wilayah Kerajaan Melayu. Sumber sejarah lebih muda yang menyebut Lampung adalah Amanat Galunggung (kropak 632). Naskah ini terdiri 6 lembar atau 13 halaman, ditulis dengan menggunakan huruf dan bahasa Sunda kuna. Isi naskah berupa ajaran hidup yang diwujudkan dalam bentuk nasehat-nasehat. Dalam hal ini adalah nasehat Rakeyan Darmasiksa (1175 – 1297) kepada puteranya yang bernama Sang Lumahing Taman, beserta cucu, cicit, dan keturunannya. Pada pupuh II (4) disebutkan ... jaga dapetna pretapa dapetna pegengeun sakti, beunangna (ku) Sunda, Jawa, Lapung, ... (... waspadalah kemungkinan direbutnya kemuliaan dan pegangan kesaktian oleh Sunda, Jawa, Lampung...). Selanjutnya pada pupuh III (3) disebutkan ...jaga beunangna kabuyutan ku Jawa, ku Baluk, ku Cina, ku Lapung, ku sakalih... (...cegahlah terkuasainya kabuyutan oleh Jawa, oleh Baluk, oleh Lampung, oleh yang lainnya...) (Danasasmita, 1987). Kedua sumber sejarah tersebut menggambarkan bahwa pada masa Kerajaan Majapahit (abad ke-13 – 15) hingga masa Kerajaan Sunda (abad ke-10 – 16) masyarakat Lampung sudah berinteraksi dengan kerajaan-kerajaan yang sudah mendapat pengaruh budaya India.

Gambaran sebagian masyarakat Lampung pada abad ke-16 juga diceritakan oleh berita asing dari Portugis. Perjalanan Tomé Pires dari Laut Merah ke Jepang pada tahun 1512 hingga 1515 memberikan gambaran tentang keadaan dua lokasi di Lampung yaitu Tulangbawang dan Sekampung (Cortesão, 1967: 158 – 159). Tulangbawang merupakan lokasi yang berbatasan dengan Sekampung dan Andalas. Sebagian masyarakat Tulangbawang masih kafir atau penyembah berhala. Daerah ini merupakan penghasil lada, emas, kapas, lilin, rotan, beras, ikan, dan buah-buahan. Jalan masuk satu-satunya hanya melalui sungai. Perdagangan dilakukan dengan Jawa dan Sunda. Barang dagangan dikumpulkan kemudian dilakukan perdagangan antar pulau. Perjalanan dari Tulangbawang ke Sunda menyeberangi lautan dalam sehari sedangkan ke Jawa memerlukan waktu dua hari.

Sekampung merupakan daerah yang memiliki sumber daya sangat melimpah. Perdagangan dilakukan dengan Sunda dan Jawa. Barang dagangan meliputi kapas, emas, madu, lilin, rotan, dan lada. Bahan makanan yang diperdagangkan berupa beras, daging, ikan, minuman keras (wines), dan buah-buahan. Penguasa (pate) dan masyarakat Sekampung masih kafir. Perjalanan dari Sekampung menyeberang ke Jawa dengan menggunakan perahu (lancharas) dapat ditempuh dalam waktu tiga hari, sedangkan ke Sunda selama satu hari.

Selain berdasarkan sumber sejarah, budaya masa klasik di Lampung juga ditunjukkan oleh adanya beberapa sumber arkeologis. Salah satu bukti keberadaan budaya masa klasik di daerah Lampung adalah adanya beberapa prasasti. Prasasti Palas Pasemah yang ditemukan di tepi Way Pisang, Kalianda, Lampung Selatan dan Prasasti Bungkuk yang ditemukan di Lampung Timur menunjukkan bahwa Lampung pada masa klasik merupakan wilayah kekuasaan Sriwijaya (Purwanti, 1995: 98, Boechari, 1979: 19 – 40). Prasasti Batu Bedil di Kabupaten Tanggamus juga menunjukkan bahwa Lampung merupakan wilayah Sriwijaya. Pada salah satu baris Prasasti Batu Bedil berisi mantra agama Buddha (Soekmono, 1985: 49 – 50). Berdasarkan hal itu, dilihat dari aspek keagamaan, Sriwijaya merupakan pusat agama Buddha di kawasan Asia Tenggara. Ketiga prasasti tersebut dituliskan dengan menggunakan huruf Pallawa (Utomo, 2007: 8 – 10). Selain ketiga prasasti tersebut di daerah Lampung juga ditemukan prasasti yang berhuruf Jawa Kuna. Prasasti tersebut di antaranya adalah Prasasti Hujunglangit dan Prasasti Tanjung Raya. Kedua prasasti tersebut menggunakan bahasa Melayu Kuna. Berdasarkan keberadaan kedua prasasti tersebut maka dalam tulisan ini akan dikaji bagaimana kondisi masyarakat Lampung pada masa yang sezaman dengan prasasti tersebut.


GAMBARAN OBJEK
Situs arkeologi yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah Situs Hujunglangit dan Situs Tanjung Raya. Kedua situs tersebut secara administratif berada di Kecamatan Sukau, Lampung Barat.

Situs Hujunglangit atau disebut juga Situs Harakuning. Situs ini secara administratif berada di dusun Harakuning, Desa Hanakau. Lokasi situs berada pada ordinat 104°04’48,1” Bujur Timur dan 04°59’38” Lintang Selatan, pada ketinggian 912 meter di atas permukaan laut (Berdasarkan pembacaan GPS). Lokasi situs berada di suatu lahan datar yang ditanami labu siam dan kopi.

Dalam kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Bandung pada tahun 1995 diketahui bahwa situs Hujunglangit berada di suatu lahan yang oleh penduduk setempat disebut sebagai “pulau”. Hal ini disebabkan karena lokasi tersebut berupa gundukan tanah yang dibatasi oleh dua batang parit di sebelah utara dan selatan. Tinggalan arkeologis yang terdapat di situs ini adalah Prasasti Hujunglangit. Prasasti Hujung Langit berada di sebelah utara lahan. Tempat kedudukan prasasti berada pada suatu teras berundak yang berjumlah tiga undakan (Agus, 1995).

Sekarang ini prasasti berada pada suatu lahan yang sedikit lebih tinggi dari tanah sekitarnya. Di sekeliling lahan terdapat cekungan melingkar yang membentuk seperti parit. Prasasti berada di lahan yang berpagar kawat dengan ukuran 95 m2, dengan pintu masuk berada di sisi selatan. Untuk melindungi prasasti telah dibuatkan cungkup oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang. Cungkup tersebut berupa bangunan terbuka dengan atap seng. Selain prasasti, di dalam cungkup terdapat satu arca megalitik dan beberapa potongan batu yang menunjukkan adanya bekas pengerjaan oleh manusia. Diperkirakan potongan-potongan batu tersebut merupakan sisa suatu bangunan.

Prasasti Hujung Langit dipahatkan pada sebongkah batu andesit yang berbentuk cenderung kerucut dengan bagian atas lebih kecil daripada bagian bawah. Sebagian dari batu prasasti ini terpendam di dalam tanah.


Prasasti Hujung Langit (Dok. Balai Arkeologi Bandung, 2009)

Prasasti terdiri dari 18 baris tulisan yang digoreskan pada permukaan batu yang menghadap ke utara. Kondisi tulisan sudah sangat aus. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh L.C Damais, NJ Krom, dan Boechari diketahui bahwa prasasti tersebut berhuruf Jawa Kuna dan berbahasa Melayu Kuna. Berdasarkan paleografinya diperkirakan bahwa prasasti tersebut berasal dari sekitar abad ke-10 M. Damais yang melakukan pembacaan prasasti berhasil mengetahui sebagian kalimat yang tertulis dalam prasasti tersebut sebagai berikut (Damais, 1995: 33):

// swasti sri sakalawarsatita 9-- margasiramasa. tithi nawami suklaspaksa. wa-- wara. Wuku kuninan......
(// Selamat, tahun Saka (yang berlalu 91-, bulan Margasira, tanggal 9 paro terang, hari Was, wuku kuningan)

Setelah baris ketiga ini hanya beberapa kata yang dapat terbaca yaitu pada baris ke-4 terdapat kata ... tatakala.... satanah sahutan....., baris ke-7 terbaca kata tatkala punku haji ....... sri haridewa....., dan pada baris ke-12 di Hujunglangit. Keyakinan bahwa prasasti ini menggunakan bahasa Melayu adalah adanya kata penunjuk lokasi di (Damais, 1995: 32)

Berdasarkan beberapa kata yang masih dapat terbaca diduga bahwa isi prasasti ini adalah mengenai penetapan sebidang tanah/hutan di Hujung Langit sebagai sima oleh Pungku Haji Yuwarajya Sri Haridewa untuk dipergunakan membiayai pemeliharaan suatu bangunan suci (Utomo, 2007: 7). Selain 18 goresan membentuk huruf tersebut pada bagian atas prasasti terdapat goresan membentuk pisau belati. Pisau belati tersebut digambarkan terhunus dengan mata belati menghadap ke kanan (Damais, 1995: 29).

Situs Tanjung Raya. Situs ini secara administratif berada di Desa Tanjung Raya. Lokasi situs berada pada ordinat 104°03’21,8” BT dan 05°00’04,7” LS, pada ketinggian 904 m dpl. Lahan situs sekarang ini dipergunakan oleh penduduk untuk menanam kopi dan sayur-sayuran seperti kol, wortel, sawi dan sayur-sayuran lain. Lahan dimiliki oleh penduduk dan disewakan kepada para petani penggarap. Para petani penggarap sebagian besar adalah pendatang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tinggalan arkeologis yang terdapat di situs ini adalah Prasasti Tanjung Raya.

Situs Tanjung Raya berada pada lahan datar dengan luas sekitar 25 ha. Lahan tersebut dikelilingi lahan lebih rendah yang sekarang difungsikan sebagai sawah. Pada lahan lebih rendah tersebut pada beberapa bagian terdapat kolam dengan mata air. Lebar lahan yang lebih rendah tersebut sekitar 20 – 25 m, sedangkan beda tinggi sekitar 15 m. Dahulu bagian yang lebih rendah tersebut dipenuhi air, sehingga masyarakat sekitar menyebut lahan tempat beradanya prasasti sebagai “pulau cakhmumung”, yang artinya “pulau menggantung”.

Bagian yang diperkirakan sebagai pintu masuk berada di sisi Barat Laut. Berdasarkan pengamatan permukaan di bagian utara, timur, dan selatan lahan banyak ditemukan tinggalan artefaktual berupa fragmen tembikar dan keramik. Sedangkan di bagian barat lahan temuan fragmen tembikar dan keramik sangat sedikit. Selain temuan artefaktual juga terdapat batu datar dan batu berlobang. Prasasti Tanjung Raya berada pada sebuah lahan datar di sisi Utara. Prasasti berada pada lahan yang berpagar kawat berduri. Untuk melindungi prasasti telah dibuatkan cungkup oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang. Cungkup tersebut berupa bangunan terbuka dengan atap seng. Pintu masuk berada di sisi sebelah selatan.

Prasasti terdiri dari 2 bongkah batu, sehingga disebut dengan Prasasti Tanjung Raya 1 dan Prasasti Tanjung Raya 2. Prasasti Tanjung Raya 1 berupa sebongkah batu datar berbentuk cenderung bulat. Goresan terdapat di bagian permukaan atas. Keadaan huruf sudah sangat aus sehingga sangat sulit untuk dibaca. Berdasarkan pengamatan oleh Hasan Djafar dan Boechari disimpulkan bahwa prasasti tersebut terdiri dari 8 baris dengan huruf Jawa Kuna. Bentuk huruf cenderung persegi. Berdasarkan paleografinya prasasti tersebut diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-10 M. Pada batu ini juga dipahatkan bingkai menyerupai segi empat dan terdapat sebuah bejana dengan tepian melengkung dan dari dalamnya keluar sehelai daun (Winarto, ed, 2006: 8). Selain itu di bagian bawah tulisan terdapat goresan yang membentuk seekor binatang menyerupai gajah tetapi mempunyai tanduk (Tim penelitian, 2009).



Prasasti Tanjung Raya (Dok. Balai Arkeologi Bandung, 2009)

Prasasti Tanjung Raya 2 dipahatkan pada sebongkah batu tegak. Goresan berada pada permukaan batu yang menghadap ke Utara. Prasasti berisi satu baris tulisan dan pahatan berbentuk pisau dengan mata pisau mengarah ke atas. Tulisan yang terpahat pada prasasti tersebut berhuruf Jawa Kuna dengan bentuk agak membulat dan berbahasa Melayu Kuna. Berdasarkan paleografinya diperkirakan prasasti ini berasal dari abad ke-14 M. Tulisan pada prasasti Tanjung Raya 2 berbunyi “Batu Pahat” sehingga prasasti inipun disebut dengan Prasasti Batu Pahat (Winarto, ed, 2006: 9).


KEHIDUPAN MASYARAKAT
Masyarakat yang tinggal di Lampung merupakan pendatang dari berbagai daerah. Salah satu legenda mengenai asal-usul masyarakat Lampung menceritakan bahwa nenek moyang orang Lampung berasal dari Sungai Tatang dekat Bukit Siguntang, Sumatera Selatan. Salah seorang moyang yang bernama Naga Berisang meninggalkan kampung di Sungai Tatang mengembara mencari penghidupan hingga sampai di sekitar Danau Ranau. Keturunan Naga Berisang di bawah pimpinan Poyang Sakti pindah ke Cinggiring, Sekala Berak (Warganegara, 1994: 2). Mengenai penghunian kawasan Sekala Berak, tradisi lisan masyarakat juga menyebutkan bahwa pada masa itu dikenal empat pemimpin yaitu Empu Cangih, Empu Serunting, Empu Rakihan, dan Empu Aji Saka. Disebutkan bahwa keempat empu itu merupakan penguasa yang masing-masing mempunyai wilayah kekuasaan sendiri-sendiri. Sistem penguasaannya dalam bentuk semacam pemerintahan yang disebut dengan istilah keratuan.*)

Berkaitan masalah masyarakat yang mendiami Lampung, Olivier Sevin (1989) pernah melakukan kajian yang hasilnya menyimpulkan bahwa masyarakat Lampung dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu masyarakat asli dan pendatang. Masyarakat yang diperkirakan sebagai penduduk asli adalah orang Pubian yang menempati kawasan antara Padangratu, Kota Agung, Teluk Betung, serta wilayah selatan Gunung Sugih di mana kawasan ini dibelah Way Sekampung.

Masyarakat pendatang terdiri dari empat gelombang migran yaitu gelombang Sekala Berak, gelombang Banten, gelombang Palembang, dan kolonisasi. Masyarakat Sekala Berak sebetulnya sulit dikatakan sebagai masyarakat pendatang. Dalam beberapa tradisi lisan, masyarakat Sekala Berak merupakan masyarakat dari Pagarruyung yang pindah dan menetap di sekitar Bukit Pesagi hingga tepian Danau Ranau. Sekitar awal abad ke-14 kawasan Sekala Berak mengalami tekanan populasi tinggi. Hal itu menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya gerakan migrasi ke bagian tengah dan selatan Lampung. Selanjutnya gelombang migrasi dari Banten berlangsung pada abad ke-17 demikian juga gelombang Palembang. Sedangkan Kolonisasi dari Jawa terjadi pada abad ke-19. Hipotesis Sevin ini masih perlu diuji. Menurut tradisi sejarah lisan masyarakat, emigran yang masuk ke Lampung juga berasal dari Pagaruyung, Bengkulu, Jambi, masyarakat Melayu, dan Bugis (Warganegara, 1994: 3 – 13; Hadikusuma, 1989: 44 – 52).

Sebelum terjadi gelombang migrasi dari Banten dan Kolonisasi dari Jawa, pada sekitar abad ke-17 – 18 masyarakat yang berdiam di Lampung diperkirakan sudah membentuk suatu sistem pemerintahan persekutuan adat (keratuan) berdasarkan buay (keturunan) yang disebut paksi (kesatuan buay inti atau clan) dan marga (kesatuan dari bagian buay atau jurai dalam bentuk kesatuan kampung atau suku). Pemerintahan persekutuan adat ini terdiri dari dua sistem yaitu pepadun dan seibatin (Hadikusuma, 1989: 157). Meskipun sudah terbentuk semacam sistem pemerintahan, masyarakat Lampung tidak pernah dapat memusatkan kesatuan kerabatnya pada satu kesatuan tempat yang besar (perkampungan). Hal ini terjadi karena ada kaitannya dengan sistem matapencaharian sebagai peladang. Ladang tempat bertanam lada diusahakan secara terpencar dengan sistem umbulan. Lokasi umbulan ini pun dalam satu periode tertentu berpindah menyesuaikan kondisi lahan. Apa yang disebut keratuan secara fisik hanya merupakan tempat kedudukan Punyimbang yang tertua dari keturunan yang tertua. Punyimbang yang tertua ini berkedudukan sebagai pemimpin buay (keturunan) dan pemimpin bumi (penguasa wilayah). Punyimbang tertua pemegang status sosial tertinggi di antara masyarakat kelompoknya. Punyimbang dari keturunan kedua bertindak sebagai kelompok masyarakat yang menjaga kehormatan kelompok lebih tua pemegang status sosial tertinggi. Punyimbang ketiga dari keturunan ketiga bertindak sebagai kelompok pelaksana ekonomi, pengatur pertanian dan perniagaan. Punyimbang-punyimbang yang datang untuk bergabung yang bukan merupakan kerabat tidak punya kedudukan dalam pengaturan tetapi sebatas mengatur kerabat masing-masing. Masyarakat Lampung dalam berserikat dan berkumpul dalam satu kelompok akan menganggap lebih tua, menghormati, dan menempatkan kedudukan tertinggi kepada punyimbang asal keturunan yang disebut punyimbang marga atau punyimbang paksi (Hadikusuma, 1989: 7 – 8). Kondisi masyarakat seperti itu berlangsung sejak zaman sebelum Islam.

Pada masa klasik yaitu masa di mana pengaruh budaya Hindu-Buddha dari India sangat kuat, di Lampung tidak ada bukti adanya suatu kerajaan (kingdom). Beberapa prasasti yang ditemukan di Lampung kebanyakan merupakan prasasti yang dikeluarkan oleh Kerajaan Sriwijaya.

Ketika Sriwijaya mengalami kemunduran, mungkin kawasan Lampung menjadi wilayah kekuasaan kerajaan di Jawa. Di Dusun Harakuning, Desa Hanakau, terdapat Prasasti Hujunglangit. Damais memastikan prasasti tersebut berasal dari tahun 919 Ç atau 997 M. Pengaruh Jawa yang tampak dalam sistem penanggalannya, oleh Damais dihubungkan dengan ekspedisi Jawa dalam melawan Sriwijaya yang menurut berita Cina terjadi pada tahun 992 – 993 M. Damais menarik kesimpulan bahwa pengaruh Jawa tersebut merupakan hasil pendudukan Jawa sebagaimana dilaporkan dalam sumber Cina (Guillot, et all., 1996: 116).

Pada sekitar abad ke-10 tersebut Jawa berada di bawah kekuasaan raja Dharmawangsa Teguh dari Kerajaan Mataram yang berpusat di Jawa Timur. Pada masa itu terjadi penyerangan Kerajaan Sriwijaya oleh Kerajaan Jawa (Sumadio, 1990: 173). Politik ekspansi yang dilakukan oleh Dharmawangsa Teguh juga merambah daerah Bali (Sumadio, 1990: 171).

Prasasti Hujunglangit berisi mengenai penetapan hutan di Hujunglangit sebagai sima supaya dipergunakan untuk pemeliharaan bangunan suci. Prasasti tersebut menggunakan huruf Jawa Kuna. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara Jawa dan Lampung. Penetapan suatu daerah menjadi sima tentunya dengan alasan bahwa di tempat tersebut terdapat suatu bangunan suci. Di sekitar prasasti Hujunglangit ditemukan sejumlah potongan batu yang menunjukkan bekas pengerjaan oleh manusia. Kemungkinan potongan batu tersebut merupakan bekas suatu bangunan suci yang dimaksud dalam prasasti tersebut. Dengan demikian masyarakat yang bermukim di lokasi tersebut merupakan suatu kelompok masyarakat religius.

Isi Prasasti Tanjung Raya sampai sekarang belum diketahui. Namun berdasarkan pengamatan permukaan ditemukan banyak fragmen keramik dan tembikar yang menunjukkan sebagai bekas peralatan rumah tangga. Selain itu tempat keberadaan Prasasti Tanjung Raya merupakan lahan yang subur dengan sumber air yang melimpah, sehingga memungkinkan lokasi tersebut sebagai pemukiman masyarakat.


PENUTUP
Prasasti Hujung Langit merupakan prasasti penetapan daerah Hujung Langit menjadi sima. Hasil dari daerah tersebut dipergunakan untuk memelihara suatu bangunan suci. Dengan demikian diketahui bahwa masyarakat yang bermukim di daerah tersebut merupakan masyarakat religius. Hal itu didukung dengan adanya potongan-potongan batu yang menunjukkan adanya bekas-bekas pengerjaan oleh manusia. Potongan-potongan batu tersebut kemungkinan merupakan sisa-sisa suatu bangunan suci.

Sementara itu isi prasasti Tanjung Raya sampai sekarang belum dapat diketahui. Namun berdasarkan adanya temuan artefaktual berupa fragmen keramik dan tembikar yang menunjukkan sebagai peralatan rumah tangga sehari-hari, kemungkinan daerah tersebut merupakan kawasan pemukiman masyarakat.

____________

*) Abdullah A. Soebing, B.A. (1988: 9) menyebutkan bahwa pada mulanya keempat pemerintahan yang ada di Lampung disebut dengan istilah kedatuan. Istilah keratuan mulai dipakai sejak Puyang Lunik bersama Sai Sangkan mendirikan perkampungan di Pugung, muara Way Sekampung yang disebut Keratuan Di Pugung. Keturunan Puyang Lunik mengangkat dirinya menjadi Ratu di kampungnya. Orang Abung dan Pubian mendirikan adat masing-masing dan tidak menyebut dirinya Punyimbang dengan gelar Minak melainkan dengan sebutan Ratu. Hilman Hadikusuma (1989: 157) dan Marwansyah Warganegara (1994: 4) berpendapat bahwa sejak pada masa awal pemerintahan di Lampung sudah disebut dengan istilah keratuan.



DAFTAR PUSTAKA

Agus. 1995. Laporan Hasil Penelitian Lingkungan dan Tinggalan Arkeologis di Situs Klasik Harakuning, Lampung Barat, Propinsi Lampung. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.

Boechari, 1979. An Old Malay Inscription of Sriwijaya At Palas Pasemah (South Lampung). Dalam Pra Seminar Penelitian Sriwijaya, hlm. 19 - 40. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.

Cortesão, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tome Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprin Limited.

Damais, Louis-Charles. 1995. Epigrafi dan Sejarah Nusantara. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Danasasmita, Saleh. 1987. 1987. Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Guillot, et all., 1996. Banten Sebelum Zaman Islam: Kajian Arkeologi di Banten Girang 932 – 1526. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional – EFEO.

Hadikusuma, Hilman. 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandung: Mandar Maju.

Muljana, Slamet. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Purwanti, Retno. 1995. Perang Pada Masa Sriwijaya: Tinjauan Terhadap Prasasti-prasasti Abad VII Masehi. Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung No. 2, hlm. 98 – 103. Bandung Balai Arkeologi Bandung

Sevin, Olivier. 1989. History and Population. Dalam Transmigration, hlm. 13 – 123. Jakarta: ORSTOM – Departemen transmigrasi Republik Indonesia.

Soekmono, R. 1985. Kisah Perjalanan ke Sumatra Selatan dan Jambi. Dalam Satyawati Suleiman et al. Amerta 3. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Sumadio, Bambang. 1990. Jaman Kuno. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakar¬ta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, PN Balai Pustaka.

Tim Penelitian. 2009. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi tentang Budaya Masa Pengaruh Hindu-Buddha di Kawasan Lampung Tahap 2. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.

Utomo, Bambang Budi. 2007. Prasasti-Prasasti Sumatra. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional

Warganegara, Marwansyah. 1994. Riwayat Orang Lampung.

Winarto, Bambang Sigit (ed,), 2006. Prasasti Koleksi Museum Lampung. Bandar Lampung: UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung “Ruwa Jurai”


Catatan:
Tulisan ini merupakan bagian dari isi buku berjudul Dari Masa Lalu ke Masa Kini: Kajian Budaya Materi, Tradisi, dan Pariwisata. Editor: Dr. Wanny Rahardjo Wahyudi. Jatinangor: Alqaprint, 2010.

09 Juli 2010

Menggali Kejayaan Masyarakat Lampung

LEBAK LEBUNG DALAM KONTEKS PERADABAN TINGGI DI TULANGBAWANG


Nanang Saptono



Pendahuluan

Kehidupan sehari-hari manusia seperti halnya makhluk hidup lainnya dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungannya. Berbeda dengan makhluk hidup lainnya, hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan sekitarnya dipengaruhi oleh sistem budaya yang dimilikinya. Dengan demikian faktor budaya ini sangat penting bagi manusia untuk melakukan proses adaptasi dengan lingkungannya (Iskandar, 2001: 7). Antara kebudayaan dan lingkungan alam terdapat hubungan timbal balik. Kontinyuitas perkembangan kebudayaan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan alam dan begitu pula sebaliknya. Menurut Koentjaraningrat culture (kebudayaan) berasal dari kata Latin colere yang berarti “mengolah, mengerjakan,” terutama mengolah tanah atau bertani. Berdasarkan arti kata tersebut, kebudayaan dapat dimaknai “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam.”


Dalam perkembangannya, kebudayaan tidak hanya diartikan seputar bercocok tanam. Kebudayaan merupakan berbagai hal yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Pada masyarakat yang kehidupannya sangat kompleks, wujud budayanya akan meliputi juga sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, dan sistem kenegaraan. Wujud kebudayaan seperti itu disebut peradaban atau civilization (Koentjaraningrat, 1990: 182). Tingginya tingkat peradaban manusia tersebut dipengaruhi oleh faktor interaksi dan strategi adaptasi dengan lingkungan.


Menurut Gordon Childe (1979: 12-14) evolusi peradaban manusia dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu savagery, barbarism, dan civilization. Tahap savagery dianggap sebagaimana masa berburu dan mengumpulkan makanan. Pada masa ini belum dikenal adanya hukum dan tata pemerintahan. Tahap barbarism merupakan masyarakat bercocok tanam yang sudah mengenal hukum dan tata pemerintahan secara sederhana dalam kelompok yang terbatas dan tertutup. Sedangkan pada tahap civilization adalah suatu masyarakat agrikultur dan industri. Kelompok masyarakat ini sudah mengenal tata pemerintahan dan hukum adat yang telah teratur.


Selain Childe, Flannery juga membagi evolusi peradaban menjadi tiga tahap. Dasar pembagiannya pada adanya pemimpin dan penguasa. Menurut Flannery (1979: 28-30) tahap evolusi peradaban terdiri dari egalitarian society, chiefdoms, dan stratified society. Masyarakat egaliter menganggap bahwa semua derajad manusia dalam masyarakat adalah sama, tidak ada tingkatan maupun klas. Masyarakat chiefdoms sudah ada pembagian klas antara pemimpin dan yang dipimpin. Sedangkan stratified society merupakan masyarakat heterogen dengan berbagai klas dan tingkatan. Masyarakat yang demikian inilah yang sering dikatakan berperadaban tinggi. Masyarakat berperadaban tinggi pada masa lampau dapat dikenali berdasarkan tinggalan hasil budayanya.


Berdasarkan beberapa kajian, masyarakat Indonesia sudah sejak lama berada pada tingkat masyarakat berperadaban tinggi. Pada masa prasejarah tingginya peradaban dikenal melalui tinggalan monumen yang berlatarkan pada budaya megalitik. Masyarakat pada waktu itu dikatakan berperadaban tinggi karena sudah mengenal sistem organisasi sosial. Bangunan seperti menhir, dolmen, dan punden berundak menggambarkan adanya organisasi sosial tersebut. Selain itu dikenal pula adanya dan spesialisasi kerja. Pengetahuan tentang rancang bangun dan pengaturan kerjasama dalam kelompok masyarakat inilah yang merupakan salah satu indikator peradaban tinggi.


Selain tinggalan bangunan megalitik, peradaban tinggi juga diperlihatkan pada sistem subsistensi masyarakat yang berbasis pada budidaya tanaman pangan yang tergantung pada sistem pengairan. Robert L. Carneiro berpendapat peradaban tinggi terbangun karena adanya keterkaitan dengan kemajuan teknologi pertanian. Dengan adanya teknologi terjadi surplus bahan pangan. Karena terjadi surplus tercipta waktu luang untuk mengembangkan usaha-usaha lain, sehingga terjadi spesialisasi kerja (Carneiro, 1970: 733-738). Teori ini dalam kenyataannya ditunjukkan oleh situs-situs pusat peradaban di Timur Tengah, Cina, Asia Selatan, dan Afrika Utara yang pada umumnya berada pada lembah-lembah subur.


Berdasarkan dua kasus di atas, pada intinya peradaban tinggi ditandai dengan adanya suatu sistem organisasi sosial. Secara kebetulan, dua kasus tersebut berkenaan dengan masyarakat agraris. Sementara itu subsistensi masyarakat tidak hanya berada pada sektor tersebut. Masyarakat yang permukimannya berada di tepi danau atau sungai-sungai besar cenderung menggantungkan hidupnya pada sektor nelayan atau petani ikan. Masyarakat demikian ini misalnya terlihat pada masyarakat di Tulangbawang. Beberapa situs permukiman kuna yang terdapat di Tulangbawang tidak ada yang meninggalkan jejak berupa bangunan megalitik. Sementara itu, sumber sejarah menunjukkan bahwa masyarakat pada waktu itu sudah menjalin hubungan dagang dengan dunia luar.


Tomé Pires yang pernah singgah di Tulangbawang dalam perjalanannya dari Laut Merah ke Jepang pada tahun 1512 hingga 1515 memberitakan bahwa Tulangbawang merupakan penghasil lada, emas, kapas, lilin, rotan, beras, ikan, dan buah-buahan. Jalan masuk satu-satunya hanya melalui sungai. Perdagangan dilakukan dengan Jawa dan Sunda. Barang dagangan dikumpulkan kemudian dilakukan perdagangan antar pulau (Cortesão, 1967: 158 – 159). Salah satu barang komoditas dari Tulangbawang adalah ikan. Sebagai masyarakat yang tinggal di tepian sungai besar, sangat wajar bila salah satu barang komoditas unggulannya adalah ikan. Masyarakat Tulangbawang dalam menghasilkan ikan selain dari sungai juga dari lebak lebung yang ada di sekitar permukiman. Hingga sekarang komoditas ini masih dijadikan unggulan masyarakat. Posisi ikan dalam sektor perdagangan bagi masyarakat Tulangbawang tentunya memerlukan pengelolaan dengan melibatkan sistem organisasi. Dalam kaitannya dengan hal inilah peradaban tinggi diperlihatkan. Permasalahan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana kaitan antara ikan dengan peradaban tinggi di Tulangbawang.


Situs-situs Permukiman di Tulangbawang

Beberapa situs permukiman kuna yang ditemukan di Tulangbawang berada di tepian sungai. Situs-situs tersebut antara lain adalah Benteng Sabut, Keramat Gemol, Benteng Minak Tumenggung, Batu Putih, dan Gunung Terang. Sebagai masyarakat penghasil ikan, permukiman tersebut selain berada di tepian sungai juga dekat dengan lebak lebung. Gambaran sekilas tentang situs-situs tersebut sebagai berikut.


Situs Benteng Sabut (Saptono, 2008: 47 – 49). Secara geografis situs ini berada pada kelokan Way (Sungai) Kiri pada posisi 4°30’20” LS dan 105°00’21” BT, secara administratif termasuk wilayah Kampung Gunungkatun. Kondisi situs berupa lahan yang dikelilingi parit dan benteng tanah. Di sebelah barat situs terdapat aliran Way Pikuk. Di sebelah selatan muara Way Pikuk terdapat muara Way Papan. Di sekitar Benteng Sabut terdapat beberapa rawa (bawang) antara lain Bawang Kelapo terdapat di sebelah barat dan Bawang Petahi di sebelah timur laut benteng.


Tradisi lisan masyarakat menyebutkan bahwa pemukiman di Benteng Sabut dibuka oleh Minak Kemala Kota. Minak Kemala Kota mempunyai tiga keturunan yaitu Tuan Riou Nyembang Luih, Namo, dan Bulan. Namo menikah dengan Moyang Runjung. Pernikahan antara Moyang Runjung dengan Putri Minak Kemala Kota bernama Namo selanjutnya menurunkan tokoh-tokoh Marga Tegamoan yaitu Tuan Rio Mangkubumi yang berkedudukan di Pagardewa, Tuan Rio Tengah yang berkedudukan di Meriksa (Menggala), dan Tuan Rio Sanaah yang berkedudukan di Panaragan. Hilman Hadikusuma menerangkan bahwa Runjung adalah anak Minak Sebala Kuwang. Runjung menikah dengan Senama, yaitu anak Putri Bulan saudara Ratu Dipuncak. Dari perkawinan ini menurunkan Tuan Riyo Mangkubumi, Tuan Riyo Tengah, dan Tuan Riyo Sanak (Hadikusuma, 1989: 47).


Situs Keramat Gemol (Saptono, 2008: 51 – 53). Secara geografis situs ini berada pada posisi 4°29’14” LS dan 105°02’15” BT, secara administratif termasuk dalam wilayah Kampung Panaragan. Situs berada pada kelokan sungai di sebelah barat Way Kiri. Di sebelah timur situs merupakan pertemuan antara Way Kiri dengan Way Gemol. Way Gemol yang merupakan anak sungai Way Kiri mengalir di sebelah tenggara situs.


Lahan situs dikelilingi parit dan benteng tanah dan parit, kecuali di sisi barat laut yaitu berbatasan langsung dengan Way Kiri. Pada sekeliling areal situs berjarak antara 200 – 500 m terdapat semacam lembah. Di sebelah selatan benteng, lembah bermula dari Way Kiri (sebelah tenggara) memutar ke arah selatan hingga barat daya dan berakhir di sebelah barat benteng. Lembah ini disebut kandungan Badak. Di sebelah utara benteng, lembah juga bermula dari Way Kiri memutar ke arah barat laut hingga ke arah barat. Lembah ini disebut kandungan Minak Muli.


Menurut tradisi lisan masyarakat, tokoh yang membuka perkampungan dan juga sebagai pemimpin di Keramat Gemol adalah Minak Indah. Tokoh ini merupakan keturunan dari salah satu tokoh marga Tegamoan di Tulangbawang. Pada marga tersebut terdapat tiga orang tokoh yaitu Tuan Rio Mangkubumi, Tuan Rio Tengah, dan Tuan Rio Sanaah.


Tuan Rio Mangkubumi bermukim di Pagardewa, mempunyai anak di antaranya Minak Kemalabumi dan Minak Sang Putri. Tuan Rio Mangkubumi dimakamkan di Pagardewa. Tuan Rio Tengah bermukim di Menggala dan dimakamkan di Meriksa (Menggala). Tuan Rio Sanaah bermukim di Panaragan dan dimakamkan di Gunung Jejaiwai (Panaragan).


Tuan Rio Sanaah yang tinggal di Panaragan mempunyai keturunan Minak Indah, Minak Ma’dum, Minak Raja Ratu, dan Minak Sang Putri (Menteri). Di samping itu juga mengangkat Minak Rio Bageduh, Minak Raja Malaka, dan Prajurit Puting Gelang. Ketiga tokoh ini berasal dari Minangkabau.


Situs Benteng Minak Temenggung. Situs ini berada di sebelah barat Way Tulangbawang, sebelah timur Kampung Penumangan berjarak lurus sekitar 3 km atau pada posisi 4°27’02” LS dan 105°07’52” BT. Berdasarkan gejala yang terlihat, benteng tersebut membujur dengan orientasi utara – selatan dengan panjang 600 hingga 800 m. Ujung utara benteng bermula pada Bawang Potat dan pada ujung selatan pada Bawang Bakon.


Keberadaan situs Benteng Minak Temenggung berhubungan dengan etno-sejarah mengenai tokoh Minak Temenggung. Sebagian masyarakat menyatakan bahwa Minak Temenggung adalah tokoh yang ada hubungannya dengan masyarakat Pagardewa. Sebagai tokoh besar Minak Temenggung memegang jabatan penting dalam membangun masyarakat Pagardewa di bawah naungan Kesultanan Banten.


Situs Batu Putih (Saptono, 2006: 93 – 95). Secara administratif situs ini termasuk dalam wilayah Kampung Gunung Terang, Kecamatan Gunung Terang. Keramat Batu Putih berhubungan dengan riwayat lima moyang yaitu Patih Trio Terbumi yang dimakamkan di Negeri Besar, Minak Trio Bumi dimakamkan di Gunung Terang, Minak Serio Bumi dimakamkan di Bakung, Minak Buay Sugih dimakamkan di Batu Putih, dan Minak Kemala yang makamnya ada di Negeri Batin.


Kawasan Batu Putih berada di sebelah selatan Way Kanan. Di kawasan ini terdapat beberapa sungai kecil yang bermuara di Way Kanan. Sugai-sungai tersebut adalah Way Kemerting yang mengalir di bagian paling hulu (barat). Ke arah hilir terdapat aliran Way Mejelapai. Ke arah hilir lagi terdapat beberapa cekungan-cekungan yang disebut kandungan. Situs Batu Putih berada di antara dua kandungan.


Situs Gunung Terang (Saptono, 2004: 42 – 54). Secara administratif situs ini terdiri dari Kampung Gunung Terang dan Gunung Agung, namun secara fisik kedua kampung tersebut menyatu. Pemukiman secara umum berada di tepian Way Kanan sebelah timur dan utara aliran sungai. Pola pemukiman memanjang utara – selatan. Kampung Gunung Agung berada di bagian selatan sedangkan di bagian utara merupakan Kampung Gunung Terang. Di daerah ini aliran Way Kanan berkelok-kelok. Bermula dari arah barat daya menuju arah barat laut. Di dekat pemukiman sungai berbelok ke arah selatan kemudian ke arah timur. Pada kelokan sungai dari arah utara ke arah timur masyarakat menyebutnya Lubuk Kali Mangkuk. Aliran Way Kanan dari Lubuk Kali Mangkuk ke arah timur terdapat pertemuan sungai antara Way Ngisen dengan Way Kanan. Way Ngisen bermula di Bawang Ngisen yang berada di sebelah barat laut kampung. Di bagian hilir sungai ini disebut Tulung Mayat. Di dekat muara Way Ngisen terdapat bukit kecil yang disebut Gunung Sri Gandow.


Pada bagian selatan pemukiman terdapat cekungan parit yang disebut pelantingan, membujur dari selatan ke utara hingga Way Ngisen. Parit ini dijadikan batas antara Kampung Gunung Agung dengan Gunung Terang. Di bagian utara pemukiman juga terdapat parit/sungai buatan yang menghubungkan antara Way Kanan dengan Way Ngisen. Sungai ini disebut Sungai Pengaliran Darah. Kawasan di sebelah selatan dan timur perkampungan terdapat beberapa lebung antara lain Lebung Seroja yang terdapat di antara pelantingan dengan Way Kanan, Lebung Kibang terdapat di sebelah barat laut Gunung Sri Gandow, dan Lebung Tikak yang berada di sebelah timur kampung.


Mengenai tokoh cikal bakal masyarakat Gunung Terang adalah Minak Sekendar Alam. Keturunan Minak Sekendar Alam di antaranya tiga laki-laki yaitu Tuan Riou Terbumi, Minak Patih Seriou Bumi, dan Minak Riou Bumi. Tuan Riou Terbumi dimakamkan di sebelah hilir Moyang Purba, Negeri Besar, menurunkan Suku Tepuk Gabou. Minak Patih Seriou Bumi dimakamkan di Gunung Terang keturunannya disebut Suku Pinggir Way. Minak Riou Bumi dimakamkan di Kurindang, Meriksa menurunkan Suku Tepuk Gedung.


Ikan dan Sistem Organisasi

Masyarakat di Tulangbawang banyak yang menggantungkan pada sumberdaya alam hayati berupa ikan. Di Tulangbawang keberadaan ikan itu sendiri berhubungan erat dengan lebak lebung sebagai habitat ikan. Lebak lebung dapat difahami sebagai the commons, yaitu sesuatu yang dianggap milik semua orang atau bukan milik siapa-siapa sehingga setiap orang bebas mengakses untuk memanfaatkan. Kajian Garrett Hardin (1968: 1244), menyatakan bahwa apabila masyarakat salah dalam mengelola the commons akibatnya akan terjadi suatu bencana besar. Tragedy of the commons disebabkan karena jumlah penduduk terus meningkat sementara sumberdaya alam terbatas. Kondisi demikian ini pada gilirannya akan terjadi situasi di mana sumberdaya alam tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan manusia. Sementara itu, manusia terjebak pada konsep untuk mengakses sumberdaya alam secara tanpa batas.


Pada beberapa masyarakat ternyata secara kolektif mampu mengelola the commons sehingga dapat dimanfaatkan secara turun temurun. Masyarakat nelayan di Great Lake, yang meliputi Danau Erie dan St. Clair, Kanada mengelola penangkapan ikan dengan cara membagi areal berdasarkan alat tangkap. Selain itu pada masa-masa tertentu dilakukan pengosongan jaring. Pembatasan jumlah nelayan yang beroperasi juga dilakukan. Pengelolaan seperti itu berlangsung secara turun temurun dari generasi ke generasi (Berkes, 1985).


Sedikit berbeda dengan yang di Great Lake tersebut, sumberdaya alam yang tersedia di Tulangbawang berupa lebak lebung. Lebak merupakan kawasan rawa yang genangan airnya dipengaruhi air hujan atau luapan sungai. Lebak biasanya berada di antara dua sungai besar di dataran rendah. Berbeda dengan rawa pasang surut yang genangan airnya dipengaruhi pasang surut air laut harian, lebak tergenang selama musim hujan dan berangsur-angsur kering pada musim kemarau.


Ada tiga jenis lebak berdasarkan tinggi dan lama genangan. Lebak pematang atau dangkal, bila genangannya kurang dari 50 cm selama kurang dari 3 bulan; lebak tengahan, dengan genangan air antara 50 - 100 cm selama 3 - 6 bulan; dan lebak dalam bila genangan airnya lebih dari 100 cm selama lebih dari 6 bulan. Kawasan lebak dalam yang menghasilkan produksi ikan secara alami dikenal dengan istilah lebak lebung.


Beberapa situs permukiman di Tulangbawang pada umumnya berada dekat dengan pedataran limpah banjir (floodplain). Situs Benteng Sabut, Keramat Gemol, Benteng Minak Tumenggung, Batu Putih, dan Gunung Terang lokasinya dikelilingi pedataran limpah banjir berupa bawang (rawa), kandungan (lahan yang lebih rendah dari daerah sekitar), dan lebak lebung. Lahan berupa pedataran limpah banjir dapat difungsikan sebagai lebak lebung. Perairan tipe sungai dan rawa banjiran mempunyai ciri khas, yaitu di mana fluktuasi air yang sangat berbeda antara musim penghujan dan musim kemarau. Pada musim penghujan air sungai meluap hingga menggenangi sebagian besar arealnya kecuali bagian tanah yang tinggi, sebaliknya pada musim kemarau air sungai menjadi surut dan sebagian besar arealnya kering kecuali bagian yang dalam meliputi sungai utama dan lebung (Welcome, 1985).


Rawa-rawa di DAS Tulangbawang menyokong kehidupan sejumlah penting ikan, baik dalam hal keanekaragaman jenis maupun jumlah hasil panennya yang telah memberikan sumbangan yang berarti bagi penghasilan masyarakat setempat. Setidaknya terdapat 88 jenis ikan yang terdapat di sekitar rawa-rawa di DAS Tulang Bawang tersebut. Beberapa jenis ikan rawa yang ekonomis penting antara lain: arwana, belida, jelabat, tawes, seluang, lais, gabus, baung, lele, gurami, dan lain-lain. Beberapa jenis ikan-ikan ini secara periodik beruaya dari rawa ke sungai atau sebaliknya. Pada waktu air sungai meluap menggenangi rawa di sekitarnya, beberapa jenis ikan melakukan migrasi ke rawa tersebut dan memijah di lokasi tersebut. Lokasi ini juga merupakan lokasi bagi pembesaran anakan ikan (nursery ground).


Pemanfaatan lebung sebagai sumber ikan sudah berlangsung sejak lama. Aktifitas penangkapan ikan dilakukan pada akhir musim penghujan atau awal musim kemarau. Pada musim penghujan di mana air sungai besar melimpah, lebung akan terisi air dan ikan akan memasukinya. Ketika musim kemarau, air kembali ke sungai besar. Pada saat itu di pintu masuk lebung dipasang jebakan dan perburuan ikan di lebung dilakukan. Sampai sekarang pola penangkapan ikan dengan sistem pemanfaatan lebung masih berlanjut dikelola secara tradisional oleh marga (Djausal, 1996). Meskipun pelaksana penangkapan oleh banyak orang namun operasional pengelolaannya berada di tangan kepala marga. Hasil dari perburuan ini kemudian diperuntukkan bagi masyarakat anggota marga. Dalam hal ini terjadi model pertukaran redistribusi. Pada saat sekarang di mana sistem pemerintahan adat marga sudah tidak berlaku secara efektif, pengelolaan lebak lebung berada di tangan pemerintah.


Gambaran pengelolaan sumberdaya alam berupa lebak lebung juga terjadi pada masa ketika situs-situs permukiman dihuni. Kalau pada masa sekarang terdapat pemerintahan adat marga, dahulu dikelola oleh kepala kampung. Tomé Pires yang pernah mengunjungi Lampung menjumpai kelompok masyarakat yang masih kafir terutama yang tinggal di daerah hulu (Cortesão 1967: 158). Masyarakat pra-Islam yang oleh Tomé Pires disebut dengan istilah cafre juga dijumpai di pedalaman Banda. Mereka tidak mempunyai kerajaan tetapi desa-desanya diperintah oleh cabila dan orang tua-tua. Sistem pemerintahan seperti ini menurut Antonio Galvao juga terdapat di Maluku. Mereka bermukim dalam lokasi tertentu dengan batas-batas wilayah yang jelas. Keperluan hidup sehari-hari dipenuhi secara bersama-sama. Masyarakat ini juga dipimpin oleh orang tua yang dianggap lebih baik dari pada yang lainnya (Tjandrasasmita, 1984: 174).


Sistem pemerintahan seperti ini merupakan budaya bangsa Indonesia sejak zaman sebelum mendapat pengaruh India (Hindu-Buddha). Masyarakat pra-Hindu sudah memiliki tingkat hidup yang sama dengan apa yang terdapat dalam struktur sosial dan kehidupan sosial-ekonomi bangsa Indonesia di berbagai daerah pada masa sekarang. Pertanian dengan irigasi dan sistem administrasi memunculkan negara-negara patrimonial-birokratis dalam berbagai ukuran. Pada saat yang sama terdapat pula bentuk-bentuk organisasi desa-desa yang sangat berkembang dengan keluarga-keluarga sebagai intinya. Orang tua-tua desa sebagai pengawas terhadap wilayah kadang-kadang juga sebagai kepala-kepala yang patrimonial (Tjandrasasmita, 1984: 175).


Pola pemerintahan patrimornial terlihat pula pada sistem pemerintahan adat marga. Pemerintahan adat marga di Tulangbawang mengenal pola kepemimpinan secara kolektif terdiri dari para anggota keluarga tertua dari masing-masing keturunan yang disebut punyimbang. Punyimbang tertua merupakan pemegang status sosial tertinggi di antara masyarakat kelompoknya. Punyimbang dari keturunan kedua bertindak sebagai kelompok masyarakat yang menjaga kehormatan kelompok lebih tua pemegang status sosial tertinggi. Punyimbang ketiga dari keturunan ketiga bertindak sebagai kelompok pelaksana ekonomi, pengatur pertanian dan perniagaan. Punyimbang-punyimbang yang datang untuk bergabung yang bukan bukan merupakan kerabat tidak punya kedudukan dalam pengaturan tetapi sebatas mengatur kerabat masing-masing. Masyarakat Lampung dalam berserikat dan berkumpul dalam satu kelompok akan menuakan, menghormati, dan menempatkan kedudukan tertinggi kepada punyimbang asal keturunan yang disebut punyimbang marga atau punyimbang paksi (Hadikusuma, 1989: 7 – 8). Kondisi masyarakat seperti itu berlangsung sejak zaman sebelum Islam.


Tradisi lisan masyarakat Tulangbawang yang menghubungkan bekas perkampungan tua dengan tokoh moyang tertentu memberikan gambaran bahwa mereka sudah mengenal sistem organisasi. Gambaran sistem organisasi pada berbagai masyarakat dapat terlihat dari tinggalan budaya fisik. Bangunan seperti punden berundak dan menhir dari masa prasejarah walaupun lebih bersifat religi namun memberi pula gambaran kehidupan sosial masyarakat. Pertanian dengan sistem irigasi memberikan gambaran kehidupan sosial masyarakat agraris. Bagi masyarakat nelayan darat atau petani ikan sebagaimana di Tulangbawang, lebak lebung yang berada di sekitar situs pemukiman dapat memberi gambaran dinamika masyarakat pada waktu itu dalam mengelola sumber perikanan.


Simpulan

Salah satu ciri masyarakat berperadaban tinggi adalah merupakan masyarakat yang terstruktur. Pada masyarakat itu sudah dikenal adanya pemimpin dan yang dipimpin. Bukti arkeologis yang menunjukkan hal itu misalnya bangunan megalitik. Aktifitas ritual masyarakat memberi gambaran sekitar penghormatan kepada tokoh tertinggi.


Beberapa situs permukiman di Tulangbawang tidak ada yang meninggalkan jejak berupa bangunan megalitik. Adanya sistem organisasi yang terlihat hingga sekarang adalah pengelolaan sumberdaya alam berupa lebak lebung oleh pemerintah adat marga. Sistem demikian ini berlangsung secara turun temurun dari generasi ke generasi. Situs-situs permukiman kuna di Tulangbawang banyak yang berada dekat dengan lebak lebung. Pemilihan lokasi yang demikian ini menunjukkan bahwa pada masa itu lebak lebung juga sudah dikelola.



Daftar Pustaka


Berkes, Fikret. 1985. The Common Property Resource Problem and the Creation of Limited Property Rights. Dalam Human Ecology, Vol. 13, No. 2, hlm. 187 – 208.


Carneiro, Robert L. 1970. A Theory of the Origin of the State. Dalam Science 169, hlm. 733 – 738.


Childe, V. Gordon. 1979. The Urban Revolution. Dalam Gregory L. Possehl (ed.) Ancient Cities of the Indus. Durham: Carolina Academic Press.


Cortesão, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprin Limited.


Djausal, Anshori. 1996. Pendekatan Lingkungan Dalam Pembangunan Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang. Makalah dalam Seminar Pembangunan Masyarakat Tulangbawang. Bandar Lampung, 29 – 30 Maret 1996. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang.


Hadikusuma, Hilman. 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandung: Mandar Maju.


Hardin, Garrett. 1968. The Tragedy of the Commons. Dalam Science 162, hlm. 1243 – 1248.


Iskandar, Johan. 2001. Manusia Budaya dan Lingkungan. Bandung: Humaniora Utama Press.


Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.


Saptono, Nanang. 2004. Struktur “Kota” Kuna Gunung Terang, Tulangbawang, Lampung. Dalam Agus Aris Munandar (ed.), Teknologi dan Religi Dalam Perspektif Arkeologi, hlm. 42 – 54. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.


Saptono, Nanang. 2006. Konsepsi dan Struktur Pemukiman di Situs Batu Putih, Gunung Terang, Tulangbawang, Lampung. Dalam Agus Aris Munandar (ed.), Widyasancaya, hlm. 91 – 102. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.


Saptono, Nanang. 2008. Keletakan Antara Tiyuh dan Umbul Pada Permukiman Masyarakat Lampung. Dalam Kresno Yulianto (ed.), Dinamika Permukiman Dalam Budaya Indonesia, hlm. 45 – 64. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.


Tjandrasasmita, Uka. 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.

Welcome, R.L. 1985. River Fisheries. FAO Technical paper 262. FAO. Rome.


Catatan:

Tulisan ini merupakan bagian dari buku berjudul Dari Masa Lalu ke Masa Kini: Kajian Budaya Materi, Tradisi, dan Pariwisata. Editor Dr. Wanny Rahardjo Wahyudi. Jatinangor: Alqa Print, 2010. Halaman 5 – 16.