01 Februari 2009

Menelusuri Perkampungan Kuna di Way Kanan


KONSEPSI DAN STRUKTUR PEMUKIMAN DI SITUS BATU PUTIH, GUNUNG TERANG, TULANG BAWANG, LAMPUNG


Nanang Saptono



PENDAHULUAN

Situs Batu Putih merupakan salah satu situs di kawasan Tulangbawang yang berada di aliran Way Kanan. Penelitian di situs Batu Putih pertama kali dilakukan Balai Arkeologi Bandung pada tahun 2000. Pada penelitian itu diperoleh keterangan bahwa situs Batu Putih merupakan lokasi Kampung Gunung Terang lama. Kondisi situs pada waktu itu banyak ditumbuhi rumput-rumputan hingga tingginya sekitar 2 m. Pada tepi sebelah selatan Way Kanan terdapat tanggul alam yang membujur dari arah timur laut (tepi Way Kanan) ke arah barat daya. Semakin ke arah barat daya tanggul alam tersebut semakin tinggi.


Pada bagian barat daya, di puncak tanggul alam, terdapat makam Minak Pangeran Buay Sugih. Keadaan makam tanpa jirat dan sebelumnya juga tanpa nisan. Nisan yang ada sekarang merupakan nisan baru. Makam dilengkapi cungkup dari bahan bilik bambu. Di sekitar makam Minak Pangeran Buay Sugih, terutama di sebelah selatannya terdapat beberapa makam yang merupakan makam masyarakat. Indikator bekas pemukiman yang terdapat di situs Batu Putih berupa sebaran fragmen artefak (Saptono, 2000: 20). Dilihat dari temuan arkeologis dan data historis yang ada, masyarakat pendukung situs Batu Putih berasal dari kurun waktu setelah abad ke-16.


Pada tahun 2004 Balai Arkeologi Bandung mengadakan penelitian di Kampung Gunung Terang. Salah satu keterangan tradisi lisan yang didapatkan dalam penelitian itu yaitu mengenai proses perpindahan masyarakat Kampung Gunung Terang. Sumber ini memang kurang valid, namun hingga sekarang sumber sejarah Gunung Terang yang validitasnya tinggi belum ditemukan. Dalam tradisi lisan tersebut diceritakan bahwa masyarakat Gunung Terang sebelum bermukim di Way Kanan, Tulangbawang, mula-mula bermukim di Way Besai, Sekala Berak, kemudian pindah ke Batu Putih, Way Kanan. Ketika itu di seberang sungai sebelah hilir terdapat perkampungan orang Melayu, karena lokasi Batu Putih dinilai tidak tepat lalu mengekspansi kampung Melayu dan pemukiman pindah ke Kampung Melayu. Sejak itu Batu Putih ditinggalkan (Saptono, 2004: 44).


Tradisi lisan ini menggambarkan bahwa permukiman di Batu Putih bersifat sementara dan tidak berlangsung lama. Alasan perpindahan ke Gunung Terang karena Batu Putih dinilai tidak tepat. Sementara itu bila dilihat dari fakta arkeologis yang terdapat di situs Batu Putih, misalnya berupa ragam fragmen keramik asing dan fetur makam Minak Pangeran Buay Sugih, tergambar bahwa permukiman berlangsung dalam kurun waktu lama dalam arti sudah berada pada fase menetap.


Berdasarkan hal tersebut, pada tahun 2005 Balai Arkeologi Bandung mengadakan penelitian di situs Batu Putih. Penelitian itu untuk mengungkap permasalahan menyangkut pola pemukiman di Batu Putih. Permasalahan ini dikaitkan dengan penilaian pada tradisi lisan masyarakat bahwa Batu Putih tidak tepat untuk pemukiman. Pada beberapa kasus, penilaian tidak tepat ini dapat dilihat dari aspek konsepsi dapat juga dari aspek sumber daya alam yang kurang memadai. Permasalahan lainnya berkaitan dengan kurun waktu permukiman. Gambaran permukiman di Batu Putih secara sementara menurut tradisi lisan kurang didukung fakta arkeologis. Gambaran sementara inilah yang perlu mendapat penjelasan baik dari sisi historis maupun arkeologis.


Pengungkapan permasalahan di atas, bertujuan pada paradigma rekonstruksi kehidupan manusia masa lampau dan penyusunan sejarah budaya (Binford, 1972: 80 - 81). Pada kasus situs Batu Putih, rekonstruksi kehidupan dan penyusunan sejarah budaya dibatasi pada masalah permukiman yaitu dalam rangka mendapatkan gambaran mengenai struktur dan pola pemukiman. Berdasarkan struktur dan pola pemukiman tersebut, diharapkan dapat diketahui konsepsi tentang pemukiman yang berlaku pada masyarakat Gunung Terang khususnya, serta strategi adaptasi lingkungan. Tujuan berikutnya adalah mendapatkan gambaran kurun waktu permukiman di Batu Putih. Berdasarkan dua hal tersebut akan dijawab permasalahan sekitar permukiman di Batu Putih dan perpindahannya ke Gunung Terang.


Dalam kaitannya dengan tingkat permukiman, permasalahan situs Batu Putih menyangkut pemukiman pada jenjang semimikro. Pemukiman pada tingkat ini dipengaruhi beberapa faktor antara lain: lingkungan dan teknologi mata pencaharian, organisasi keluarga dan kekerabatan, kelompok kelas, agama dan etnik, spesialisasi, nilai dan orientasi, serta kosmologi (Mundardjito, 1990: 21 – 26).



DATA ARKEOLOGI SITUS BATU PUTIH


Proses Pengumpulan

Pengumpulan data di situs Batu Putih dilakukan dengan teknik survei permukaan dan ekskavasi disertai wawancara dengan masyarakat. Di areal situs dilakukan ekskavasi. Survey lokasi objek penelitian, khususnya terhadap lingkungan, dilakukan dengan menggunakan bantuan peta topografi. Peta topografi yang dipergunakan yaitu peta topografi lembar 30 daerah Gedongratu, skala 1 : 100.000, edisi 1942 yang diterbitkan oleh Djawatan Geologi Bandung. Di setiap objek dilakukan plotting lokasi dengan menggunakan GPS dan peta topografi. Ekskavasi dilakukan sebanyak lima kotak gali masing-masing berukuran 1 x 1 m. Kotak gali tersebut diberi kode Kotak LU I hingga LU V. Ekskavasi dilakukan dengan teknik spit berinterval 10 cm.


Data non artefaktual yang bersifat etnohistori didapatkan melalui wawancara dengan beberapa informan yang mengetahui seluk-beluk situs. Selain itu juga didapatkan dari berbagai sumber pustaka. Pengumpulan data etnohistori dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data arkeologis. Hal ini dimaksudkan agar hubungan antara data arkeologis dengan data etnohistoris jelas terlihat.


Survei

Kawasan Batu Putih secara administratif termasuk dalam wilayah Kampung Gunung Terang, Kecamatan Gunung Terang. Menurut cerita sejarah yang disampaikan Bapak Thoyib, keramat Batu Putih berhubungan dengan riwayat lima moyang yaitu Patih Trio Terbumi yang dimakamkan di Negeri Besar, Minak Trio Bumi dimakamkan di Gunung Terang, Minak Serio Bumi dimakamkan di Bakung, Minak Buay Sugih dimakamkan di Batu Putih, dan Minak Kemala yang makamnya ada di Negeri Batin.


Moyang-moyang yang tinggal di perkampungan Batu Putih pada suatu saat merasa perlu untuk memperluas wilayah. Perluasan ditujukan ke Kampung Melayu yang terdapat di seberang sungai. Moyang-moyang Batu Putih kemudian membangun perkampungan di dekat Kampung Melayu yang sekarang menjadi Kampung Gunung Terang. Keramat Batu Putih kemudian ditinggalkan.


Menurut keterangan Bapak Alwi Syahbana – Ketua Lembaga Musyawarah Masyarakat Adat Kampung Gunung Terang – yang didasarkan pada cerita orang-orang tua dahulu, perkampungan di Batu Putih tidak sebagaimana lazimnya kampung orang Lampung. Kampung di Batu Putih berjajar memotong sungai tidak mengikuti aliran sungai. Sehingga dinilai tidak baik untuk pemukiman. Oleh karena itulah maka pindah ke Gunung Terang sekarang.


Kawasan Batu Putih berada di sebelah selatan Way Kanan, pada posisi 04°24’50,9” LS dan 105°03’57” BT. Geografis kawasan Batu Putih merupakan pedataran bergelombang dengan bukit-bukit kecil berada di sebelah selatan. Salah satu bukit kecil tersebut bernama Gunung Kerikil. Di kawasan ini terdapat beberapa sungai kecil yang bermuara di Way Kanan. Sungai-sungai tersebut adalah Way Kermeting yang mengalir di bagian paling hulu (barat). Ke arah hilir terdapat aliran Way Mejelapai. Ke arah hilir lagi terdapat aliran sungai kecil yang dinamakan Kali Gendi. Situs Batu Putih berada di antara Way Mejelapai dan Kali Gendi.




Pengamatan pada situs Batu Putih mendapatkan gambaran bahwa luas situs sekitar 250 X 300 m. Situs diapit dua cekungan yang disebut dengan istilah kandungan. Di sebelah hulu bernama Kandungan Potat dan di sebelah hilir bernama Kandungan Semidi. Pada tepi sebelah selatan Way Kanan terdapat tanggul alam yang membujur dari arah timur laut (tepi Way Kanan) ke arah barat daya. Semakin ke arah barat daya tanggul alam tersebut semakin meninggi.


Pada kawasan situs terdapat beberapa fakta arkeologis yaitu fetur makam, tumulus, dan sebaran artefak. Pada bagian barat laut situs, pada tanggul alam, terdapat beberapa makam dengan tokoh utama Minak Buay Sugih. Di sekitar makam ini dijumpai pula beberapa makam.


Fetur tumulus ada dua, pertama terletak di sebelah timur makam berjarak sekitar 50 m. Tumulus ini berdiameter sekitar 3 m dengan tinggi sekitar 1,5 m. Tumulus kedua terdapat di sebelah timur tumulus pertama berjarak sekitar 150 m. Tumulus ini lebih kecil bila dibandingkan dengan tumulus pertama. Pada bagian tengah lahan terdapat kawasan genangan banjir (flood plain/back swamp). Sebaran artefak ditemukan di tepian back swamp sebelah timur, memanjang dari utara ke selatan.





Situasi Situs Batu Putih


Bapak Thoyib yang menghuni Batu Putih, sejak sekitar tahun 1977 telah menemukan beberapa benda yang dianggap “aneh”. Benda-benda tersebut adalah pecahan keramik menggambarkan kepala manusia berwarna kehijauan berukuran panjang 3,5 cm lebar 3 cm dan tebal 2 cm, beberapa batuan seperti kalsedon, nodule, dan andesit, fosil moluska, manik bahan perunggu, dua beliung persegi dari batuan kalsedon. Beliung pertama berwarna merah kecoklatan berukuran panjang 8 cm, lebar bagian pangkal 3 cm, lebar bagian ujung 4 cm, tebal 3 cm. Beliung kedua berwarna putih dan coklat kekuningan berukuran panjang 6,5 cm, lebar bagian pangkal 2,7 cm, lebar bagian ujung 3,8 cm, dan tebal 1,3 cm



Ekskavasi


Kotak LU I

Kotak LU I berada di bagian timur laut situs. Permukaan tanah pada kotak ini cenderung rata, bagian sisi barat lebih rendah daripada sisi utara. Keadaan permukaan kotak ditumbuhi semak dan ilalang. Setelah dibersihkan terlihat tanah berwarna kehitaman. Pada permukaan kotak tidak ditemukan artefak. Ekskavasi di kotak ini dilakukan hingga kedalaman 45 cm. Kondisi tanah terdiri dua lapisan. Lapisan pertama berupa humus bercampur pasir berwarna hitam. Ketebalan lapisan ini berkisar antara 15 hingga 20 cm. Lapisan tanah selanjutnya berupa tanah liat berwarna kekuningan yang dijumpai hingga akhir ekskavasi. Artefak sangat jarang ditemukan. Sedikit fragmen keramik asing ditemukan pada lapisan tanah humus.



Kotak LU II

Kotak gali kedua berada di sebelah selatan kotak LU I berjarak sekitar 83 m. Sebagaimana kotak LU I, Kotak LU II juga merupakan lahan yang banyak ditumbuhi semak dan ilalang. Permukaan tanah pada kotak ini cenderung rata. Bagian sisi utara kotak lebih tinggi dari sisi selatan. Ekskavasi dilakukan hingga kedalaman 40 cm. Keadaan tanah terdiri tiga lapis. Lapisan pertama berupa tanah humus berpasir berwarna kehitaman gembur, tekstur halus sampai kasar. Kondisi tanah seperti ini setebal sekitar 20 cm. Di bawah lapisan tanah ini merupakan tanah berpasir berwarna kecoklatan, tekstur halus sampai kasar agak padat dengan ketebalan sekitar 10 cm. Lapisan tanah selanjutnya berupa lempung pasiran berwarna putih. Tekstur halus sampai sedang dalam kondisi padat. Pada beberapa bagian terselingi tanah liat berwarna kemerahan. Ekskavasi di kotak ini tidak ditemukan data berupa artefak maupun non artefak.



Kotak LU III

Di sebelah barat kotak LU II berjarak sekitar 15 m, dibuka kotak LU III. Permukaan tanah pada kotak ini cenderung rata. Bagian sisi selatan kotak lebih rendah dari sisi utara. Keadaan permukaan kotak ditumbuhi semak dan ilalang. Setelah dibersihkan terlihat tanah berwarna kehitaman. Pada permukaan kotak terdapat artefak berupa pecahan keramik, tembikar, dan bata.

Ekskavasi dilakukan hingga kedalaman 40 cm. Lapisan tanah pertama berupa humus berpasir berwarna kehitaman dengan tekstur halus sampai kasar. Lapisan tanah seperti ini ketebalannya sekitar 10 cm. Pada lapisan ini terdapat artefak berupa fragmen keramik dan bata.


Di bawah lapisan humus terdapat lapisan tanah berwarna coklat kekuningan bertekstur halus sampai kasar. Kondisi tanah seperti ini hingga kedalaman 40 cm. Benda arkeologis yang ditemukan berupa pecahan keramik berada pada kedalaman 20 cm hingga 30 cm.



Kotak LU IV

Di sebelah barat agak ke utara kotak LU III berjarak sekitar 20 m digali kotak LU IV. Permukaan tanah pada kotak ini cenderung rata. Bagian sisi barat kotak gali lebih rendah dari sisi timur. Keadaan permukaan kotak ditumbuhi semak dan ilalang. Setelah dibersihkan terlihat tanah berwarna kehitaman. Pada permukaan kotak terlihat banyak artefak berupa pecahan keramik. Artefak tersebut terkonsentrasi di sisi utara kotak gali.

Ekskavasi pada kotak ini juga dilakukan hingga kedalaman 40 cm. Sebagaimana pada kotak gali yang lain, pada kotak gali ini lapisan tanah juga terdiri dari dua lapis. Lapisan tanah bagaian atas merupakan humus berpasir berwarna kehitaman, tekstur halus sampai kasar. Lapisan tanah humus pada kotak ini dijumpai hingga kedalaman 20 cm. Pada lapisan tanah ini banyak ditemukan fragmen keramik dan tembikar.






Konsentrasi temuan artefak pada Kotak LU IV Spit 1


Ekskavasi pada kedalaman antara 20 cm hingga 30 cm, tanah humus berwarna hitam berseling dengan tanah berwarna putih kecoklatan mengandung kerikil. Tekstur tanah sedang sampai kasar. Benda arkeologis berupa pecahan keramik masih mendominasi di samping fragmen logam, tembikar, dan limbah produksi manik. Pada akhir kedalaman 30 cm keadaan tanah mulai berubah berwarna kemerahan.


Ekskavasi hingga kedalaman 40 cm. Keadaan tanah berupa lempung berwarna coklat kemerahan sedikit padat. Tekstur halus sampai kasar. Pada kedalaman spit ini tidak ada temuan berupa artefak maupun non artefak.



Kotak LU V

Kotak gali LU V berada di sebelah barat daya kotak LU IV berjarak sekitar 15 m. Lahan ini banyak ditumbuhi tanaman keras. Permukaan tanah pada kotak ini cenderung rata. Bagian sisi barat kotak gali lebih rendah dari sisi timur. Keadaan permukaan kotak tertutup sampah daun kering. Setelah dibersihkan terlihat tanah berwarna kehitaman. Pada permukaan kotak terlihat adanya jejak aktivitas masyarakat memasang jerat.


Ekskavasi dilakukan hingga kedalaman 40 cm. Ekskavasi hingga mencapai kedalaman 20 cm, kondisi tanah berupa humus berpasir berwarna kehitaman, tekstur halus sampai kasar. Pada lapisan ini ditemukan sampah moderen seperti paku, arang, dan pecahan bata. Artefak yang ditemukan berupa pecahan keramik dan tembikar.


Ekskavasi pada kedalaman antara 20 cm hingga 30 cm, keadaan tanah humus sedikit mengalami perubahan warna yaitu hitam kecoklatan mengandung kerikil. Tekstur tanah sedang sampai kasar. Pada lapisan ini dijumpai pecahan keramik dan tembikar dalam jumlah sedikit.


Selanjutnya, pada kedalaman hingga 40 cm, keadaan tanah berupa lempung berwarna coklat kekuningan sedikit padat. Tekstur halus sampai kasar. Pada kedalaman lapisan ini tidak ada temuan berupa artefak maupun non artefak.




PERMUKIMAN DI SITUS BATU PUTIH

Pemukiman berkembang dari yang sangat sederhana hingga ke bentuk yang sangat kompleks. Mula-mula, pada masyarakat yang sudah menetap bentuk tempat tinggalnya berupa desa-desa kecil dengan beberapa tempat tinggal yang dibangun secara tidak beraturan. Perkembangan selanjutnya, ketika jumlah populasi bertambah, tempat tinggal dibangun di atas tiang dengan ukuran lebih besar. Perubahan ini sejalan dengan perkembangan masyarakat yang mulai mengenal pengelompokkan dan sistem komunal (Soejono, 1990: 197). Perubahan pola pemukiman yang sejalan dengan sistem sosial ini menurut V. Gordon Childe berlangsung pada masa paleolitik hingga neolitik. Transformasi yang terjadi tersebut bersifat evolutif dan progresif. Masyarakat pemburu-peramu yang nomadik dalam masa paleolitik berkembang pesat menjadi masyarakat hortikultularis yang menetap pada masa neolitik (Kaplan dan Manners, 2002: 59). Masyarakat Lampung pada umumnya pada awalnya menempati pemukiman yang berada di tepi sungai atau dekat sungai. Tempat tinggal pada pemukiman tersebut dibangun secara mengelompok rapat dan hampir-hampir tidak ada halaman. Pola semacam ini disebabkan semua kegiatan orang Lampung berada di ladang. Kampung merupakan tempat istirahat dan berkumpul para anggota kerabat untuk upacara adat, dan sebagainya (Hadikusuma, 1977/1978: 17). Dengan demikian secara umum pola pemukiman masyarakat lampung adalah over bounded city, yaitu suatu pemukiman yang wilayah teritorialnya lebih luas dari wilayah perkampungan (Yunus, 2000: 113). Dengan pola semacam ini kampung sebagai pemukiman masyarakat Lampung akan relatif kecil.


Pola pemukiman di situs Batu Putih dapat dilacak berdasarkan sebaran tinggalan yang ada. Hasil survei dan ekskavasi menunjukkan bahwa tinggalan arkeologi di situs Batu Putih sangat beragam baik berupa artefak maupun non artefak. Secara fisik, pemukiman di Batu Putih berada di antara Kandungan Potat dan Kandungan Semedi. Sisi utara merupakan aliran sungai utama yaitu Way Kanan. Berdasarkan tinggalan yang ada, kawasan pemukiman Batu Putih terbagi dalam dua zona yaitu zona sakral dan zona profan. Zona sakral ditandai dengan makam keramat dan tumulus. Zona ini berada di bagian utara pemukiman.


Makam keramat yang terdapat di Batu Putih dengan tokoh yang dikeramatkan Minak Buay Sugih menggambarkan mengandung makna tertentu. Minak Buay Sugih merupakan salah satu dari lima moyang masyarakat Gunung Terang. Pengkeramatan makam merupakan salah satu permanensi etnografis dalam penghormatan leluhur. Dalam beberapa tradisi, kematian tidak diakui. Mati sebagai salah satu rangkaian proses biologis yang menimpa makhluk hidup, disamarkan dengan istilah “kembali ke alam dewa”, “hilang”, “sirna” dan sebagainya. Makam tidak diartikan sebagai kubur tetapi merupakan tempat bersemayam “astana” atau “tempat ketenangan” (Ambary, 1998: 42). Tokoh yang bersemayam di makam dirasakan masih berada di lingkungan kerabat dan generasi penerusnya. Penempatan makam Minak Buay Sugih pada puncak tanggul alam juga menyiratkan suatu tradisi pemujaan kepada arwah leluhur sebagaimana nekropolis raja-raja Mataram di Imogiri dan raja-raja Cirebon di komplek makam Gunung Jati di Gunung Sembung (Ambary, 1998: 43).


Dua tumulus yang terdapat di ujung barat dan timur situs menggambarkan adanya konsepsi tentang gunung suci. Pada beberapa kampung di sekitar Batu Putih terdapat juga tradisi yang berkaitan dengan konsepsi gunung suci. Di kampung Gunung Katon terdapat Gunung Nuri. Kampung Gunung Terang meniliki Gunung Srigandaw sebagai gunung suci. Tumulus dapat merupakan replika dari gunung suci. Quaritch Wales dalam kajiannya menarik suatu simpulan tentang kaitan konsep gunung suci (Mahameru) dengan kekuatan dan kesuburan (Quaritch Wales, 1953: 88). Keberadaan dua tumulus di Batu Putih memberikan suatu gambaran bahwa lokasi tersebut dijaga dua kekuatan yang juga memberikan kesuburan.


Berdasarkan temuan hasil survei dan ekskavasi, zona profan terlihat berada di sisi timur pedataran limpah banjir (back swam). Pemukiman di Batu Putih berpola memanjang mengikuti tepian sebelah timur pedataran limpah banjir. Pola demikian terlihat ada usaha dalam konservasi lahan sumber daya (Yunus, 2000: 113). Lahan sumber daya berupa pedataran limpah banjir dapat difungsikan sebagai rawa atau kolam untuk menjebak ikan yang disebut lebung. Pada musim hujan di mana air sungai besar melimpah, lebung akan terisi air dan ikan akan memasuki lebung. Ketika musim kemarau, air kembali ke sungai besar. Pada saat itu di pintu masuk lebung dipasang jebakan dan perburuan ikan di lebung dilakukan. Sampai sekarang pola penangkapan ikan dengan sistem pemanfaatan lebung masih berlanjut dikelola secara tradisional (Djausal, 1996: 3). Pada beberapa kasus misalnya pada suku Indian Kwakiutl dan Nootka, mereka merupakan masyarakat pemburu dan peramu yang handal. Hal ini karena mereka tinggal di lingkungan alami yang kaya sehingga mereka mampu mencapai suatu taraf kecanggihan yang tidak ada bandingnya di kalangan masyarakat pemburu dan peramu lain. Beberapa antropolog berpendapat bahwa suku-suku Indian yang tinggal di kawasan Pasifik ini tidak tepat disebut pemburu dan peramu tetapi lebih mengena disebut “petani ikan” (Kaplan dan Manners, 2002: 105). Dengan mendasarkan pada kasus ini, masyarakat Batu Putih mungkin juga bisa dikatakan sebagai masyarakat “petani ikan” yang berkembang karena dukungan sumberdaya alam.


Dengan memperhatikan keberadaan masyarakat Melayu yang menghuni di wilayah seberang sungai dan tradisi lisan tentang moyang masyarakat Batu Putih, tergambar bahwa masyarakat Batu Putih merupakan suatu struktur sosial yang merupakan organisasi keturunan segmentaris (segmentary lineage organization). Masyarakat ini bertempat tinggal pada pemukiman setingkat semacam pedukuhan yang dihuni oleh rumpun keturunan minimal. Masyarakat semacam ini sering melakukan perpindahan wilayah, dan secara konsisten memperluas wilayahnya. Perpindahan dan perluasan ini di antaranya didasari oleh sumberdaya alam (Kaplan dan Manners, 2002: 109). Dengan demikian alasan perpindahan masyarakat dari Batu Putih ke Gunung Terang yang dapat dikatakan menginvasi masyarakat Melayu cenderung berkaitan dengan masalah sumberdaya alam penunjang kehidupan.


Ekskavasi yang dilakukan pada lima kotak gali, kotak LU IV menunjukkan tingkat hunian yang sangat tinggi. Temuan berupa fragmen keramik, tembikar, dan limbah industri manik kaca. Selanjutnya ekskavasi pada kotak LU V menunjukkan adanya aktifitas spesifik. Temuan berupa fragmen tembikar dari tipe tempayan, menunjukkan aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan di dapur. Dengan demikian lokasi ini merupakan bagian belakang pemukiman. Artefak berupa fragmen keramik kebanyakan berasal dari Cina masa dinasti Song (abad ke-10 – 13), Yuan (abad ke-13 – 14), Ming (abad ke-14 – 17), dan Qing (abad ke-17 – 20). Selain itu juga terdapat keramik Thailand periode Shukothai (abad ke-13 – 14), Annam (abad ke-15), Jepang (abad ke-20), dan Eropa (abad ke-19 – 20).




SIMPULAN

Situs Batu Putih di Kampung Gunung Terang merupakan satu situs bekas kampung yang memiliki konsep dan pola spesifik yaitu menyangkut pembagian ruang secara tegas antara zona sakral dan zona profan. Zona sakral menempati kawasan punggung tanggul alam sejajar sungai utama. Sedangkan zona profan menempati tepian kawasan genangan banjir (flood plain/back swamp).


Pola pemukiman tidak sebagaimana umumnya pemukiman di Lampung yaitu sejajar dengan sungai utama, tetapi secara tegak lurus dengan sungai utama. Orientasi pemukiman terlihat tidak pada sungai utama tetapi pada tepian pedataran limpah banjir. Berdasarkan data hasil survei dan ekskavasi terlihat bahwa pemukiman di Batu Putih berlangsung dalam waktu lama. Faktor utama penyebab pindahnya ke Kampung Gunung Terang karena mulai berkurangnya sumberdaya alam yang bisa dieksploitasi.


Catatan:

In memoriam Drs. W. Anwar Falah, Kamis 19 Oktober 2006. Beliau pernah bertugas sebagai peneliti di Balai Arkeologi Bandung yang merintis penelitian arkeologi daerah Lampung.


DAFTAR PUSTAKA

Ambary, Hasan Muarif

1998 Menemukan Peradaban: Arkeologi dan Islam di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Binford, Lewis R

1972 An Archaeological Perspectives. New York: Seminar Press.

Djausal Anshori

1996 “Pendekatan Lingkungan Dalam Pembangunan Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang”. Makalah pada Seminar Pembangunan Masyarakat Tulangbawang. Bandar Lampung, 29 – 30 Maret 1996. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang (belum diterbitkan).

Hadikusuma, Hilman et al.

1977/1978 Adat Istiadat Daerah Lampung. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kaplan, David dan Robert A. Manners

2002 Teori Budaya. Penerjemah Landung Simatupang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mundardjito

1990 “Metode Penelitian Permukiman Arkeologi”. Dalam Monumen Karya Persembahan Untuk Prof. Dr. R. Soekmono, Lembaran Sastra, Seri Penerbitan Ilmiah No. 11. Edisi Khusus. Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Depok. Hlm. 19 30.

Quaritch Wales, H.G.

1953 The Mountain of God: A Study In Early Religion and Kingship. London: Bernard Quaritch, Ltd.

Saptono, Nanang

2000 Laporan Hasil Penelitian Arkeologi Pemukiman Masa Islam Daerah Tulangbawang, Propinsi Lampung. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.

2004 “Struktur ‘Kota’ Kuna Gunung Terang, Tulangbawang, Lampung”. Dalam Agus Aris Munandar (ed.), Teknologi dan Religi Dalam Perspektif Arkeologi. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 42 – 54.

Soejono, RP (ed.)

1990 “Jaman Prasejarah di Indonesia”. Dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Yunus, Hadi Sabari

2000 Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



Catatan: Tulisan ini diterbitkan di buku berjudul "Widyasancaya", hlm. 91 - 102. Editor, Agus Aris Munandar. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 2006.

Tidak ada komentar: