PRASASTI BATU BEDIL DAN LINGKUNGANNYA DI PULAU PANGGUNG, KABUPATEN TANGGAMUS, LAMPUNG
Endang Widyastuti
Pendahuluan
Latar Belakang
Prasasti merupakan sumber sejarah yang memberikan keterangan tentang peristiwa politik, birokrasi, religi, dan kondisi masyarakat lainnya. Prasasti biasanya dikeluarkan oleh penguasa baik pada tingkat pusat pemerintahan maupun penguasa daerah. Di daerah Lampung tidak pernah ditemukan suatu indikator sebagai pusat pemerintahan pada tingkat kerajaan dari masa Hindu-Buddha (Klasik). Beberapa tinggalan dari masa klasik menunjukkan bahwa masyarakat pendukungnya bukan dari pusat kerajaan namun merupakan masyarakat yang berada di bawah satu kerajaan. Berdasarkan prasasti yang pernah ditemukan menunjukkan bahwa daerah Lampung pada masa klasik berada di bawah penguasaan Kerajaan Sriwijaya. Prasasti Palas Pasemah yang ditemukan di tepi Sungai Pisang, anak Way Sekampung, Lampung Selatan menyiratkan bahwa Lampung berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.
Menurut Boechari (1979) berdasarkan perbandingan bentuk huruf dengan prasasti-prasasti lainnya, Prasasti Palas Pasemah diduga berasal dari akhir abad ke-7 M. Prasasti tersebut berisi tentang penaklukan daerah Lampung dan kutukan-kutukan kepada yang berani memberontak kepada Sriwijaya. Prasasti yang isinya mirip dengan Prasasti Palas Pasemah ditemukan di Kota Kapur, Bangka (Sumadio, 1990: 58 – 59)
Selain Prasasti Palas Pasemah, di daerah Lampung terdapat beberapa prasasti lain, yaitu Prasasti Bungkuk (Jabung) yang berasal dari akhir abad ke-7 M, Prasasti Hujung Langit (Bawang) dari akhir abad ke-10 M, Prasasti Tanjung Raya I dari sekitar abad ke-10 M, Prasasti Tanjung Raya II (Batu Pahat) dari sekitar abad ke-14 M, Prasasti Ulu Belu dari abad ke-14 M, Prasasti angka tahun (1247 Saka) dari Pugung Raharjo, Prasasti Batu Bedil dari sekitar abad ke-10 M yang ditemukan di Pulau Panggung, dan Prasasti Sumberhadi dari sekitar abad ke-16 M (Djafar dan Falah, 1995).
Prasasti Batu Bedil ditemukan di Dusun Batu Bedil, Pulau Panggung, Kabupaten Tanggamus. Prasasti dituliskan pada sebongkah batu berukuran panjang 185 cm, lebar 72 cm, tebal 55 cm. Prasasti terdiri 10 baris dengan tinggi huruf sekitar 5 cm. Kondisi huruf sudah aus namun pada beberapa bagian masih bisa terbaca. Pada baris pertama terbaca Namo Bhagawate dan pada baris kesepuluh terbaca Swâhâ. Namo Bhagawate sebagai permulaan dan Swâhâ sebagai penutup memberi dugaan bahwa prasasti itu berkaitan dengan mantra. Bahasa yang digunakan adalah Sansekerta. Prasasti ini tidak berangka tahun. Berdasarkan paleografisnya menunjukkan berasal dari akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10 (Soekmono, 1985).
Masalah
Cara penulisan prasasti dan penempatannya mungkin mengandung maksud tertentu. Penulisan Prasasti Palas Pasemah jelas ditujukan kepada masyarakat sebagai peringatan. Penempatan pada tepi Sungai Pisang menunjukkan bahwa lokasi tersebut pada waktu itu mempunyai peranan penting.
Menurut catatan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Lampung di daerah Pulau Panggung juga ditemukan tinggalan berupa kompleks megalitik. Dengan demikian terlihat bahwa di daerah Pulau Panggung terdapat masyarakat yang sudah mengenal sistem religi yang didukung sistem organisasi. Berkaitan dengan data tersebut muncul permasalahan bagaimanakah watak situs dimana terdapat Prasasti Batu Bedil, apakah sebagai situs pemujaan atau situs pemukiman. Selanjutnya akan dilihat juga bagaimana hubungan antara situs dan lingkungan budayanya.
Tujuan
Berkaitan dengan data yang pernah dilaporkan serta dalam kaitannya dengan permasalahan yang mengemuka, kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi watak situs berdasarkan tinggalan yang ada. Berdasarkan telaah tersebut diharapkan pula dapat diketahui gambaran kehidupan masyarakat yang tercermin dari hubungan antara situs dan lingkungannya.
Metode Penelitian
Penelitian terhadap Prasasti Batu Bedil dan lingkungannya dilaksanakan dengan menerapkan tipe penelitian eksploratif. Data yang dikumpulkan berupa monumen tinggalan arkeologis, artefak-artefak, dan bentang lahan sekitar prasasti. Strategi penelitian melalui observasi lapangan. Selain itu untuk menjaring data juga dilakukan wawancara dengan masyarakat, suatu bentuk wawancara yang bersifat terbuka dan tertutup.
Hasil Penelitian
Gambaran Umum Daerah
Wilayah Kecamatan Pulau Panggung terdiri dari beberapa desa. Jarak antara satu desa dengan desa lainnya relatif jauh. Secara umum dapat dikatakan merupakan daerah yang berpenduduk jarang. Pemukiman penduduk hanya berada di sepanjang tepi jalan.
Bentang alam daerah berupa pedataran bergelombang. Secara umum ketinggian berkisar antara 300 – 400 m dpl. Lahan selain dimanfaatkan untuk pemukiman kebanyakan berupa kebun, ladang, dan sawah.
Sungai yang mengalir di daerah ini antara lain adalah Sungai Ulok Ngaherong beserta anak-anak sungainya dan Sungai Ilahan. Sungai Ulok Ngaherong menyatu dengan Sungai Ilahan. Sungai Ilahan menyatu dengan Way Sekampung.
Deskripsi Objek
Di Kecamatan Pulau Panggung terdapat beberapa situs antara lain berada di Desa Gunung Meraksa dan Desa Batu Bedil Hilir.
- Desa Gunung Meraksa
Di desa Gunung Meraksa terdapat dua situs, yaitu situs Batu Bedil dan situs Gelombang.
1. Situs Batu Bedil
Situs Batu Bedil berada di dataran tinggi ± 370 m dpl (pembacaan dengan GPS Garmin V). Dataran ini merupakan rangkaian paling ujung selatan dari Bukit Barisan yang membentang di atas patahan Way Semangka. Di sebelah selatan situs mengalir Sungai Ilahan yang merupakan anak Sungai Sekampung, sedangkan di sebelah utara situs mengalir sungai kecil yang disebut Sungai Anak. Di antara situs dan kedua sungai tersebut terdapat lereng curam dengan kemiringan 45° – 60°. Situs Batu Bedil terletak tepi jalan yang menghubungkan Desa Talang Padang dan Desa Air Bakoman. Sekitar situs pada umumnya masih merupakan kebun penduduk yang ditanami kopi.
Situs Batu Bedil merupakan kompleks yang terdiri dari sejumlah menhir dan satu prasasti. Kompleks Batu bedil menempati lahan seluas sekitar 100 x 500 m. Meskipun demikian sebagian besar lahan tersebut masih merupakan milik penduduk. Sekarang di lokasi ini telah dibuat taman oleh Pemerintah Daerah Lampung di dua tempat yaitu disebut Kompleks Batu Bedil I atau kompleks megalitik dan prasasti, serta Kompleks Batu Bedil II. Kompleks Batu Bedil I berada di sebelah barat dan Kompleks Batu Bedil II berada di sebelah timur. Kedua lokasi tersebut berjarak sekitar 100 m.
- Batu Bedil I
Kompleks Batu Bedil I atau kompleks megalitik dan prasasti berada pada lahan seluas 100 x 50 m. Kompleks ini berada di lahan datar yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya. Oleh Pemerintah Daerah Lampung, di lahan ini telah dibuat taman yang dilengkapi dengan jalan setapak, tempat beristirahat, dan rumah informasi. Kompleks Batu Bedil I atau Kompleks Megalitik dan Prasasti juga telah di pagar kawat. Pemagaran ini dilakukan oleh P3SPL (Proyek Pelaksana Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Lampung) pada tahun 1991. Pintu masuk lahan berada di sebelah selatan. Pada lahan ini selain terdapat prasasti juga terdapat sekelompok menhir yang membentuk formasi segiempat. Selain itu di lokasi ini juga terdapat sebaran batu-batu besar.
Prasasti berada pada titik koordinat 05°18,637’ LS dan 104°42,041’ BT (pembacaan dengan GPS Garmin V). Prasasti dituliskan pada sebongkah batu berukuran panjang 185 cm, lebar 72 cm, tebal 55 cm. Tulisan prasasti digoreskan pada bagian batu yang menghadap ke utara. Prasasti terdiri 10 baris dengan tinggi huruf sekitar 5 cm. Tulisan tersebut berada dalam satu bingkai. Pada bagian bawah bingkai terdapat goresan membentuk padma atau bunga teratai. Kondisi huruf sudah aus sehingga banyak huruf yang sudah tidak terbaca lagi.
Di sebelah barat prasasti terdapat 14 menhir yang membentuk formasi segi empat. Menhir-menhir tersebut merupakan batu alam yang tidak menunjukkan tanda-tanda pengerjaan oleh manusia. Selain menhir di lahan ini juga terdapat sejumlah batu besar. Dilihat dari bentuknya batu-batu tersebut kemungkinan sebagai menhir maupun dolmen. Berdasarkan pengamatan terhadap permukaan tanah didapatkan adanya temuan artefaktual berupa pecahan keramik dan tembikar.
Sebaran batu yang terdapat di daerah Batu Bedil ini juga dapat ditemukan di beberapa lokasi di luar lahan berpagar. Di sebelah barat pagar Kompleks Prasasti berjarak sekitar 50 m terdapat batu lumpang, yang oleh masyarakat dinamakan Batu Lesung. Selain itu di dekat Batu Lesung juga terdapat 3 batu datar. Selain itu di sebelah selatan pagar berjarak sekitar 50 m terdapat sebaran batu alam yang mengelompok. Sebaran batu tersebut berada di kebun kopi milik penduduk setempat.
Situasi kompleks Batu Bedil I
- Batu Bedil II
Kompleks Batu Bedil II berada di sebelah timur Kompleks Batu Bedil I berjarak sekitar 100 m. Kompleks Batu Bedil II menempati lahan seluas sekitar 50 X 40 m. Kompleks Batu Bedil II sekarang ini juga telah dibuat menjadi taman. Di lokasi ini telah dibuatkan tempat istirahat dan diberi pagar kawat oleh P3SPL pada tahun 1993. Pada bagian tengah lahan terdapat jalan setapak. Tinggalan yang terdapat di Kompleks Batu Bedil II adalah batu bergores, meja batu (dolmen), batu lumpang, dan sejumlah menhir.
Batu bergores di lokasi ini berada di sudut barat daya lahan. Goresan berupa garis-garis sejajar terdapat pada kedua ujung batu. Di sebelah utara batu bergores berjarak sekitar 5 m terdapat satu batu datar yang patah pada ujungnya. Pada bagian bawah batu datar terdapat batu-batu kecil yang seolah-olah menyangga batu datar tersebut.
Selain batu bergores dan dolmen, di lahan ini juga terdapat dua lumpang batu. Kedua lumpang batu tersebut terletak saling berdekatan di bagian barat lahan situs. Kedua lumpang batu tersebut terbuat dari bahan batuan breksi.
Selain itu di lokasi ini terdapat sebaran sejumlah batu tegak. Batu-batu tersebut merupakan batu alam yang tidak menunjukkan adanya pengerjaan oleh manusia. Salah satu batu tegak berukuran tinggi 220 cm, merupakan batu yang tertinggi di lokasi tersebut. Batu tegak inilah yang oleh masyarakat disebut Batu Bedil. Menurut masyarakat pada batu tersebut dahulu sering terdengar adanya bunyi letusan.
- Temuan serta
Berdasarkan wawancara dengan penduduk diperoleh keterangan adanya temuan beliung persegi. Beliung persegi tersebut dalam kondisi utuh, terbuat dari bahan kalsedon. Warna dasar beliung merah tua dengan bercak-bercak biru, putih dan coklat. Pada bagian tajaman menunjukkan pemangkasan dengan cara monofacial. Pada bagian tajaman tidak menunjukkan adanya bekas pemakaian (perimping). Menurut keterangan, beliung persegi tersebut ditemukan di antara kompleks Batu Bedil I dan kompleks Batu Bedil II. Sekarang beliung persegi tersebut disimpan oleh Bapak Zaenuddin, seorang penduduk yang tinggal di sekitar situs.
2. Situs Gelombang
Situs Gelombang berada di sebelah selatan Sungai Ilahan. Oleh masyarakat lahan situs sekarang digunakan sebagai perkebunan kopi. Penamaan situs Gelombang diberikan oleh masyarakat karena melihat keadaan tanah yang bergelombang. Setelah dilakukan pengamatan ternyata keadaan tanah yang bergelombang tersebut disebabkan oleh adanya parit-parit yang digali di permukaan tanah.
Parit 1 berada di kebun milik Bapak Bustaman. Parit melintang dari timur ke barat. Parit 1 berukuran panjang 28,50 m, lebar 4 m, kedalaman 0,5 m. Parit 1 berada di sebelah selatan tebing berjarak 97 m. Di sebelah selatan parit 1 terdapat parit 2. Jarak parit 1 dan parit 2 adalah 110 m. Parit 2 berada di kebun milik Bapak Tomo. Parit 2 berukuran panjang 36,80 m, lebar 6,50 m, dan dalam 1 m. Di antara parit 1 dan parit 2 terdapat dua batu datar yang berjajar barat – timur.
Berdasarkan pengamatan terhadap permukaan tanah didapatkan artefak berupa fragmen keramik dan tembikar. Selain itu di lokasi ini ditemukan batu-batu berbentuk silindris menyerupai gandik. Permukaan batu kasar dan tidak menunjukkan adanya bekas pemakaian.
- Temuan serta
Di lokasi ini pernah ditemukan piring keramik yang sekarang disimpan oleh Bapak Bustaman, seorang penduduk yang tinggal di sekitar situs. Piring tersebut dalam keadaan pecah sebagian. Ciri-ciri morfologis artefak tersebut adalah sebagai berikut: piring berkaki, warna bahan kekuningan, glasir tebal, warna hijau seladon. Berdasarkan ciri-ciri keramik tersebut secara kronologis berasal dari Cina masa dinasti Sung (abad ke-10 - 14).
- Desa Batu Bedil Hilir
Di desa Batu Bedil Hilir terdapat situs Batu Gajah. Situs ini berada di tepi jalan yang menghubungkan Desa Talang Padang dengan Air Bakoman, tepatnya berada pada koordinat 05°18,117’ LS dan 104°40,991’ BT (pembacaan dengan GPS Garmin V). Situs berada di tengah pemukiman penduduk yang cukup padat. Situs berada pada lahan datar seluas kurang lebih 750 m2. Lahan ini dibatasi pagar kawat yang dibuat tahun 1994 oleh P3SPL. Pada lahan ini terdapat Batu Gajah, Batu Kerbau dan sejumlah menhir.
Batu Gajah merupakan monolit yang berukuran tinggi 94 cm, lebar 201 cm, tebal 164 cm, berbahan tufa. Pada sisi batu yang menghadap ke selatan terdapat goresan yang membentuk kepala gajah. Kepala gajah digambarkan secara lengkap dengan belalai, gading, mata, dan kuping. Belalai digambarkan menjuntai ke bawah. Pada sisi kiri dan kanan batu tersebut terdapat goresan-goresan yang membentuk badan serta kaki.
Batu Kerbau berada di sebelah barat Batu Gajah. Batu Kerbau berukuran tinggi 100 cm, lebar 140 cm, tebal 135 cm, berbahan tufa. Batu Kerbau menghadap ke selatan. Muka digambarkan secara lengkap dengan mulut, hidung dan mata. Goresan pada sisi selatan membentuk kepala kerbau dengan tanduk yang melingkar. Di belakang kepala terdapat tonjolan. Pada bagian ini terdapat dua cekungan masing-masing dengan diameter sekitar 5 cm, kedalaman sekitar 5 cm.
Selain Batu Gajah dan Batu Kerbau di lahan ini juga terdapat sejumlah menhir yang tidak menunjukkan adanya pengerjaan. Menhir yang terdapat di situs Batu Gajah berjumlah 12 batu. Pada bagian paling utara berjajar dua batu yang berjarak kurang lebih 8 m. Di selatan kedua batu tersebut berjajar 5 batu dari timur ke barat. Batu ketiga berada paling timur berjarak sekitar 1 m dari pagar. Di sebelah barat batu tersebut berjarak sekitar 4,5 m terdapat batu keempat. Batu kelima berjarak sekitar 4 m dari batu keempat. Di sebelah barat batu kelima berjarak sekitar 5 m terdapat batu keenam. Sedang batu ketujuh berada paling barat berjarak sekitar 5,70 m dari batu keenam. Batu kedelapan dalam kompleks batu gajah ini berada di sebelah selatan batu keenam berjarak sekitar 9,50 m. Selanjutnya batu kesembilan berada di sebelah barat daya batu kedelapan berjarak sekitar 10 m. Di sebelah barat batu ke sembilan berjarak sekitar 3,45 m terdapat batu kesepuluh dan kesebelas. Kedua batu ini berjajar utara selatan, dan terletak saling berdekatan. Batu kedua belas berada di sudut barat daya berjarak 6,90 m dari sudut pagar.
Pembahasan
Lampung pada masa klasik merupakan wilayah kekuasaan Sriwijaya. Prasasti Palas Pasemah yang ditemukan di tepi Way Pisang, berisi tentang peringatan penaklukan daerah tersebut. Selain peringatan, prasasti ini juga berisi kutukan-kutukan kepada yang berani memberontak kepada Sriwijaya. Menurut Boechari (1979) berdasarkan perbandingan bentuk hurufnya, prasasti Palas Pasemah berasal dari akhir abad ke-7 M. Dilihat isinya, penempatan prasasti ini mempunyai alasan tertentu. Peringatan dan kutukan pada prasasti, pasti ditujukan kepada masyarakat penghuni daerah itu.
Prasasti dengan isi yang berbeda pernah ditemukan di daerah Rebangpugung, Kotaagung, Lampung Selatan. Prasasti yang disebut prasasti Ulubelu, (abad ke-15 M). Prasasti ini berisi mantra berupa permintaan tolong kepada dewa-dewa utama yaitu Betara Guru (Siwa), Brahma, dan Wisnu. Selain itu juga kepada dewa penguasa air, tanah, dan pohon agar menjaga keselamatan dari semua musuh (Lasmidara, 2003).
Prasasti Batu Bedil ditemukan tidak jauh dari prasasti Ulubelu. Tulisan pada prasasti Batu Bedil sudah sangat aus sehingga sulit dibaca. Berdasarkan perbandingan hurufnya, prasasti Batu Bedil diperkirakan berasal dari akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10. Beberapa kata yang terbaca adalah Namo Bhagawate pada baris pertama dan Swâhâ pada baris kesepuluh. Menurut Soekmono berdasarkan kata-kata tersebut menunjukkan bahwa prasasti Batu Bedil berisi tentang mantra agama Buda atau Siwa (Soekmono, 1985: 49 – 50). Dengan demikian Prasasti Batu Bedil dan Prasasti Ulu Belu menunjukkan adanya persamaan yaitu berisi tentang mantra.
Lokasi ditemukannya Prasasti Batu Bedil berada pada lahan yang dibatasi dua sungai. Tinggalan arkeologis yang ditemukan di kawasan antara dua sungai tersebut terdiri tiga klaster. Klaster pertama adalah Batu Bedil I berupa sekumpulan menhir, batu datar, dan prasasti. Klaster kedua adalah Batu Bedil II dengan tinggalan berupa menhir, dolmen, batu bergores, dan lumpang batu. Batu Bedil I dan Batu Bedil II mungkin merupakan satu kesatuan. Aktivitas masyarakat sekarang mengakibatkan terpisahnya antara Batu Bedil I dan Batu Bedil II. Klaster ketiga adalah situs Batu Gajah. Di situs ini terdapat tinggalan berupa menhir, batu gajah, dan batu kerbau.
Antara isi prasasti Batu Bedil dengan tinggalan arkeologis yang lain terlihat ada kesesuaian yaitu menyangkut aspek religi. Menhir, batu gajah, dan batu kerbau menunjukkan tinggalan yang ada kaitannya dengan kepercayaan tradisi megalitik. Menhir ialah batu tegak yang sudah dikerjakan atau belum dan diletakkan dengan sengaja di suatu tempat untuk memperingati arwah nenek moyang dan pengharapan kesejahteraan bagi yang masih hidup (Soejono, 1990: 213). Menhir dapat berdiri tunggal maupun berkelompok membentuk formasi tertentu.
Menhir yang ditemukan di daerah Pulau Panggung ini membentuk formasi segi empat. Susunan menhir dengan formasi segi empat juga ditemukan di daerah lain, misalnya di Pugungraharjo (Soejono, 1990: 218). Menhir seringkali juga ditemukan bersama-sama dengan bangunan megalitik lainnya seperti bangunan berundak, dolmen, lesung batu, dan arca-arca megalitik.
Arca megalitik yang terdapat di Pulau Panggung berbentuk gajah dan kerbau. Arca-arca megalitik yang menggambarkan binatang juga ditemukan di daerah lain misalnya di Palembang (Soekmono, 1985: 6) dan di Dataran Tinggi Pasemah (Sugiyanto, 2000: 41). Penggambaran gajah dan kerbau tersebut menunjukkan adanya hubungan antara manusia dengan binatang tersebut. Pembuatan arca binatang merupakan pengharapan agar hubungan tersebut dapat berlangsung dengan baik. Dengan demikian dapat menjamin kehidupan manusia menjadi lebih tenang dan tenteram. Selain itu gajah dan kerbau dapat juga diartikan sebagai lambang kendaraan bagi arwah (Sugiyanto, 2000: 43).
Sementara itu situs yang berada di luar kawasan yang dibatasi dua sungai adalah situs Gelombang. Situs ini merupakan situs pemukiman yang dibatasi fetur benteng tanah dan parit. Unsur religi yang terdapat di situs ini berupa dua batu datar. Berdasarkan analisis temuan keramik, diketahui bahwa keramik yang ada berasal dari Cina, Thailand, dan Vietnam. Secara kronologis keramik tersebut menunjukkan berasal dari dinasti Tang (abad ke-7 – 10 M), Sung-Yuan (abad ke-10 – 14 M), Thailand dan Vietnam (abad ke-16 M), dan dinasti Qing (abad ke-17 – 20 M). Jumlah keramik terbanyak yang ditemukan di situs ini berasal dari Cina masa dinasti Sung-Yuan (abad ke-10 – 14 M) (Triwuryani, 1998: 4; Adhyatman, 1990: 333).
Berdasarkan uraian terdahulu dapat diketahui bahwa masyarakat pendukung budaya di daerah Pulau Panggung berasal dari sekitar abad ke-10 M. Kajian dari sisi paleografis pada prasasti juga menunjukkan dari sekitar abad ke-10 M. Sementara itu penanggalan Situs Gelombang berdasarkan analisis terhadap temuan keramik diketahui berawal dari sekitar abad ke-7 M, dan mencapai puncaknya pada sekitar abad ke-10 – 14 M. Selanjutnya situs tersebut masih terus dipergunakan sampai awal ke-20 M.
Adanya prasasti yang berisi mantra menunjukkan bahwa masyarakat pendukung budaya di Pulau Panggung sudah menganut agama Hindu atau Buda, namun masih mengagungkan kepercayaan kepada arwah leluhur. Kepercayaan kepada arwah leluhur ditunjukkan dengan adanya tinggalan berupa menhir, batu gajah, dan batu kerbau. Penempatan prasasti di lokasi tersebut selaras dengan lingkungan masyarakat pendukungnya khususnya dari sisi religi.
Simpulan
Berdasarkan analisis tinggalan artefak keramik asing terlihat bahwa kehidupan masyarakat Pulau Panggung pada masa lampau berlangsung pada sekitar abad ke-10 M. Masyarakat pada waktu itu bermukim di tiga klaster yaitu Batu Bedil, Batu Gajah, dan Gelombang. Berdasarkan besaran situs dan ragam temuan, klaster Batu Bedil merupakan yang terbesar.
Prasasti Batu Bedil berdasarkan paleografisnya diperkirakan berasal dari abad ke-10 M. Penempatan prasasti di klaster Batu Bedil menunjukkan pada lokasi pusat pemukiman. Isi prasasti menunjukkan religi yang berlatarkan pada agama Hindu-Buda. Memperbandingkan antara prasasti Batu Bedil dan Ulu Belu, kemungkinan religi yang berkembang selain Hindu-Buda, juga terdapat unsur tradisi megalitik. Beberapa tinggalan yang ada juga menunjukkan bangunan tradisi megalitik. Dengan demikian penempatan prasasti Batu Bedil sesuai dengan lingkungan budaya yang berkembang pada waktu itu. Kemungkinan prasasti tersebut dikeluarkan oleh penguasa setempat.
Daftar Pustaka
Adhyatman, Sumarah
1990 Antique Ceramics found in Indonesia. Jakarta: Ceramic Society of Indonesia.
Boechari
1979 “An Old Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampong)”. Dalam Pra Seminar Penelitian Sriwijaya. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Hlm. 19 – 40.
Djafar, Hasan dan W. Anwar Falah
1995 “Prasasti Batu dari Sumberhadi Daerah Lampung Tengah (Suatu Informasi)”. Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung No. 1/ April/1995. Bandung: Balai Arkeologi Bandung. Hlm. 1 – 3.
Lasmidara, Ira
2003 “Napak Tilas Aksara Nusantara”. Dalam SKH Republika, 2 Februari 2003. Hlm. 9.
Soejono, R.P. (ed)
1990 “Jaman Prasejarah di Indonesia” Dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, P.N. Balai Pustaka.
Soekmono, R.
1985 “Kisah Perjalanan ke Sumatra Selatan dan Jambi”. Dalam Satyawati Suleiman et al. Amerta 3. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Sugiyanto, Bambang
2000 “Hubungan Manusia dan Binatang Pada Budaya Megalitik Pasemah (Tinjauan atas Arca Megalitik dan Lukisan Dinding Kubur)”. Dalam Jurnal Arkeologi Siddhayatra Volume 5 Nomor 2 November 2000. Palembang: Balai Arkeologi Palembang. Hlm. 41 – 44.
Sumadio, Bambang (ed)
1990 “Jaman Kuna” Dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, P.N. Balai Pustaka.
Triwuryani, Rr.
1998 “Pola Tata Letak Situs Tradisi Megalitik di DAS Sekampung”. Makalah pada Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi, Cipayung 16-20 Februari 1998. (belum diterbitkan).
Catatan: Tulisan ini diterbitkan di buku berjudul "HASTALELEKA: Kumpulan Karya Mandiri Dalam Kajian Paleoekologi, Arkeologi, Sejarah Kuna, dan Etnografi", hlm. 41 - 50. Editor: Agus Aris Munandar. Penerbit: ALQAPRINT, Jatinangor: 2005.