Masyarakat Lampung mempunyai banyak cerita yang berkaitan dengan sejarah. Dalam berbagai kesempatan kami mendapatkan cerita yang ditulis oleh para penuturnya. Kami menyadari bahwa cerita tersebut akan banyak versinya sesuai dengan penutur masing-masing. Dengan demikian sangat wajar apabila terjadi perbedaan antara penutur satu dengan penutur lainnya. Perbedaan adalah kekayaan khasanah untuk lebih mengenal Lampung. Tabik pai.
SEJARAH ASAL MULA ADAT PEPADUN
Disusun oleh:
SUTAN PUSETES ADAT
Tanjungkarang, 26 Juni 1973
SUTAN PUSETES ADAT
Tanjungkarang, 26 Juni 1973
KATA PENDAHULUAN
Hingga sekarang belum ada buku sejarah daerah Lampung yang khusus mengungkapkan asal mula yang mendiami daerah ini. Oleh sebab itu kami memberanikan menyelidiki sampai ke daerah pedalaman guna mencari bahan-bahan sejarah yang dapat kami kumpulkan ala kadarnya untuk dijadikan Sejarah Lampung.
Adapun yang menjadi pedoman ialah bahwa kita rakyat negara yang merdeka harus mengetahui, menginsapi bahwa nenek moyang kita bukan orang yang biadab, bukanlah orang-orang yang masih telanjang, tetapi nenek moyang kita ialah bangsa yang sudah mempunyai peradaban untuk menuju masyarakat yang teratur. Kita harus mengetahui dan menyadari bahwa kita rakyat Indonesia umumnya dan masyarakat Lampung khususnya benar-benar terdiri dari salah satu bangsa yang ada di Indonesia.
Kepercayaan orang-orang Hindu dan Agama Islam yang menjadi penegak kultur kita seharusnya sekarang lebih diketahui oleh pemuda-pemuda kita dari pada di zaman lampau agar mereka menaruh perhatian yang lebih besar kepadanya dan memberikan penghargaan yang sebaik-baiknya karena generasi muda inilah yang akan meneruskan perjuangan dan akan mempertahankan adat istiadat daerah Lampung.
Menurut penjelasan, Islam masuk Lampung pada abad ke-16 M bersama dengan aturan-aturan piagam Gilas istilah siba pepadun. Menghargai permaisuri (kaum wanita) yang dapat larangan cerai atau rimih (lemah) oleh kaum laki-laki.
Maka semenjak itulah wanita dianggap penegak rumah tangga yang dilarang berkeliaran (ngeluyur) kesana kemari.
Sekianlah kata pendahuluan kami dalam sejarah singkat daerah Lampung ini kami bersedia menerima kritik dan sanggahan para pembaca dengan kedua belah tangan terbuka demi untuk melengkapi sejarah Lampung ini terima kasih sebesar-besarnya.
Adapun yang menjadi pedoman ialah bahwa kita rakyat negara yang merdeka harus mengetahui, menginsapi bahwa nenek moyang kita bukan orang yang biadab, bukanlah orang-orang yang masih telanjang, tetapi nenek moyang kita ialah bangsa yang sudah mempunyai peradaban untuk menuju masyarakat yang teratur. Kita harus mengetahui dan menyadari bahwa kita rakyat Indonesia umumnya dan masyarakat Lampung khususnya benar-benar terdiri dari salah satu bangsa yang ada di Indonesia.
Kepercayaan orang-orang Hindu dan Agama Islam yang menjadi penegak kultur kita seharusnya sekarang lebih diketahui oleh pemuda-pemuda kita dari pada di zaman lampau agar mereka menaruh perhatian yang lebih besar kepadanya dan memberikan penghargaan yang sebaik-baiknya karena generasi muda inilah yang akan meneruskan perjuangan dan akan mempertahankan adat istiadat daerah Lampung.
Menurut penjelasan, Islam masuk Lampung pada abad ke-16 M bersama dengan aturan-aturan piagam Gilas istilah siba pepadun. Menghargai permaisuri (kaum wanita) yang dapat larangan cerai atau rimih (lemah) oleh kaum laki-laki.
Maka semenjak itulah wanita dianggap penegak rumah tangga yang dilarang berkeliaran (ngeluyur) kesana kemari.
Sekianlah kata pendahuluan kami dalam sejarah singkat daerah Lampung ini kami bersedia menerima kritik dan sanggahan para pembaca dengan kedua belah tangan terbuka demi untuk melengkapi sejarah Lampung ini terima kasih sebesar-besarnya.
Tanjungkarang, 26 Juni 1973
Wassalam pengarang,
PESAWIK ST. PUSETES ADAT
ASAL – ADAT PEPADUN
Wassalam pengarang,
PESAWIK ST. PUSETES ADAT
ASAL – ADAT PEPADUN
Pada abad ke-15 H (? Mungkin M -) ada suatu daerah tak asing lagi dan cukup dikenal oleh penduduk daerah Lampung Utara. Daerah ini dikenal permulaan sejarah ialah Ratu Ampat yang mengepalai tiap-tiap suku atau kelompok besar pada waktu itu. Sekitar daerah Lampung belum dikatakan mempunyai penduduk asli atau dengan kata lain manusia-manusia yang sudah ada peradabannya.
Masing-masing keratuan itu datangnya dari ampat penjuru daerah, yaitu:
1. Ratu Dipuncak berikut anak buahnya datang dari Kerajaan Silah Inderapura
2. Ratu Dipugung berikut anak buahnya datang dari Kerajaan Pagarruyung, Jambi
3. Ratu Dibalau berikut anak buahnya datang dari Kerajaan Sriwijaya, Palembang
4. Ratu Darah Putih berikut anak buahnya datang dari Kerajaan Pejajaran, Jawa Barat.
Menurut keputusan Ratu Ampat mereka sepakat menetapkan adat/peraturan yang harus dipakai mereka masing-masing ialah adat Sebatin (Keturunan) Ratu Tunggal dan harus menggawo ke Sriwijaya dan Pagarruyung masing-masing mendapat Kandang Orang dan Payung Keratuan Warna Putih.
Adapun yang menjadi alat perhubungan waktu itu ialah perahu-perahu dayung kekuting dan kapal kayu, yang terpilih kayu-kayu yang dapat tahan lama dengan air. Oleh sebab itu yang menjadi hubungan lalu-lintas diutamakan air sungai. Dengan demikian mereka terus menetapkan pembagian daerah masing-masing untuk dijadikan daerah kekuasaan atau wilayah keratuan:
1. Ratu Dipuncak menurut air Way Abung dan sekitarnya
2. Ratu Dipugung menurut air Way Komering
3. Ratu Dibalau menurut air Way Pubiyan/Sekampung
4. Ratu Darah Putih menurut air Way Semangka/dan daerah Pesisir.
Setelah pembagian daerah tersebut mengusulkan pula ketetapan yang diikrarkan bersama yaitu:
1. Daerah : Daerah Lampung
2. Bahasa : Bahasa Lampung
3. Tulisan : Tulisan Lampung
4. Adat : Adat Lampung (Sebatin)
Menjelang perpisahan mereka makan bersama dan mandi bersama serta mereka menangkap seekor penyu yang sangat besar berwarna putih yang berada di lubuk pancuran way dari Gunung Pesagi (Bukit Pesagi).
Sebagai tanda perpisahan penyu tersebut dagingnya dimasak untuk dimakan mereka dan kulitnya dijadikan kekuhan / tong-tong yang dibunyikan setelah mereka berangkat meninggalkan tempat perpisahan sebagai tanda persatuan. Setelah merek berangkat menuju daerah yang telah ditetapkan dan diiringi oleh anak buahnya masing-masing keratuan serta membawa alat-alat keratuan yang telah mereka peroleh dari Magau.
Maka di pihak Ratu Dipuncak memilih tempat di Canguk pinggir Way Abung di dekat Kampung Sekipi daerah Tanjung Raja sekarang. Pada abad ke-16 M di zaman cucu Ratu Dipuncak suasana bertambah banyak penduduk yang datang dari daerah lain misalnya dari Kerajaan Pagarruyung, Silah Indrapura, dan Kerajaan Sriwijaya. Kebanyakan dari mereka yang datang menjadi tamu pihak Ratu Dipuncak. Mereka yang datang ini mendapat instruksi dari keluarga Nunyai pihak Ratu Dipuncak harus mematuhi semua adat peraturan yang telah berlaku daerah setempat. Di antara mereka yang datang dari pihak Beliyuk dan Selagai dari Kerajaan Langkat, tidak mau mematuhi semua peraturan dari pihak Nunyai dan kawan-kawannya. Malahan mereka bertindak sendiri seakan-akan menandingi keratuan Nunyai tersebut. Oleh sebab itu pihak Nunyai merasa tersinggung di daerahnya sudah ada yang akan mendirikan kekuasaan keratuan. Juga ia mendapat cerita dari penyelidikan secara resmi bahwa Beliyuk dan Selagai sudah menggawo ke Pagarruyung dan mendapat dendan penganggu (pakaian keratuan).
1. Payung Keratuan warna putih
2. Kendang Ralang warna putih
3. Awan telapah warna putih
Maka pihak Nunyai, Unyi, Subing, dan Nuban mupakat dengan anggota lain juga yaitu Kunang, Anak Tuha, Nyerupa, Buku Jadi, Tambapupus dan Masyarakat merampas dendan penganggu kepunyaan Beliyuk dan Selagai yang berasal dari Kerajaan Langkat merasa tersinggung. Mereka tidak akan memberikannya, malahan mereka memberikan tantangan yang dipelopori oleh Raja Segulung alias Kuwau. Musuh yang terkenal banyak mujizat / ilmu kebatinannya. Bahwa ia akan mempertahankannya samapai di mana saja dan apa saja yang akan terjadi: sebab kita sama-sama pendatang, kamu datang di zaman nenek, kami datang di zaman bapak.
Karena mereka sama-sama ingin mempertahankan kekayaan masing-masing maka terjadilah pertempuran yang terkenal sangat dahsyat di daerah Abung. Memang sakti sama sakti, tetapi pihak Nunyai orangnya lebih banyak maka barang pakaian yang didapat pihak Beliyuk Magau dapat dirampas dan dibawa oleh Nunyai ke tempat Nunyai.
Tetapi Riu Segulung terus memburunya sampai ke dalam istana Nunyai. Tetapi tidak diduga ia tertipu sehingga tidak dapat keluar lagi karenanya masuk daerah larangan pintu tertutup. Perang masih berjalan terus dan dikomandokan oleh pe......a (?) dan kawan-kawannya di daerah Gilas, Way Pisang. Kebetulan pada waktu itu pertempuran ada dua tempat yaitu:
I. Di sekitar Way Tulang Bawang Tegamoan dan pengikutnya melawan kerajaan Tulang Bawang Menggala daerah Rantau Tejang.
II. Sepanjang Way Pisang pihak Beliyuk dan Selagai diserbu pihak
1. Nunyai
2. Nubang
3. Unyi
4. Subing
5. Anak Tuha
6. Nyerupa
7. Kunang
8. Bungku Jadi
9. Tambapupus, dan
10. Masyarakat.
Pada saat ini kerajaan Tulang Bawang merasa lemah maka ia memberi laporan atau minta bantuan dengan Maulana Hasannuddin dari Banten. Oleh beliau diutus hulubalang serta berpuluh-puluh prajurit lainnya yang dikepalai oleh Damai (nama samaran).
Mereka masuk dari muara Way Tulang Bawang yang menjadi daerah pertempuran. Setelah sampai di daerah Rantau Tejang memang kedapatan kapal dari Kerajaan Tulang Bawang Menggala sudah karam/tenggelam dan rakyatnya sudah beratus-ratus yang mati. Maka oleh Damai diperintahkan berhenti perang kepada kedua belah pihak, karena saya diutus oleh Sultan Banten membawa perdamaiannya. Itu Islam yang mengatur manusia di muka bumi.
Oleh pihak Tegamoan dia minta mukjizat keberanian dari Damai untuk memberhentikan peperangan. Oleh Damai diberi peremek balung, yaitu satu ilmu untuk melemahkan lawan. Sehingga semua anggota mereka merasa tidak berdaya baru mereka menyatakan tunduk dengan perintah Damai yang bersendikan Agama Islam. Seketika saja seluruh daerah Way Tulang Bawang aman kembali. Maka Damai memerintahkan sebahagian prajurit yang menjadi pengiringnya untuk kembali ke Banten, karena pandangannya tidak perlu, keadaan Lampung telah aman.
Kecuali Damai dan Ubai akan meneruskan perjalanan ke daerah pedalaman Abung. Menurut kabar yang diterima di sana ada keributan perlu diamankan juga. Ketika mereka sampai di daerah Sungkai mereka bertemu dengan kepala-kepala kebuayan Sungkai yang menerangkan bahwa ada pertempuran di daerah Way Kanan sepanjang Way Pisang di Gilas. Pertempuran tersebut antara Abung Nunyai dengan kawan-kawannya menyerbu pihak Beliyuk dan Selagai. Lebih jelas mereka menunjuk Putih untuk berbicara langsung dengan Damai yang sengaja Putih mereka sembunyikan karena takut mendapat sasaran dari serangan Nunyai dan kawan-kawannya.
Ketika itu Putih terus menghadap Damai minta pertulungan dengan sepenuhnya karena Kerajaan Beliyuk telah dirampas dan orangnya mereka tahan dan dibunuh. Sehingga mereka bertindak sewenang-wenang menurut kemauan mereka sendiri maka selesai wawancara Damai dan Ubai menuju daerah pertempuran. Damai memerintahkan berhenti peperangan tetapi pihak Nunyai merasa dirinya kuat dan tidak mempedulikan semua perintah Damai maka terpaksa Damai dan Ubai turun tangan memasuki kancah pertempuran yang sedang berkecamuk. Komando perang pihak Beliyuk dipimpinj langsung oleh Damai untuk menekan yang merasa dirinya menang dan gagah ketika itu.
Baru beberapa hari pertempuran berjalan, banyak hulu balang dan rakyat pihak Nunyai ditahan oleh Damai. Beliyuk dan tidak dapat bergerak semua tulang-tulang mereka jadi sakit seperti orang kena penyakit lumpuh. Semua mereka yang sudah ditahan dikumpulkan sepanjang pinggir Way Pisang sehingga mereka tersebut memenuhi Tuju Rantau. Terpaksa mereka mundur banyak yang getu melawan kesaktian Damai. Maka hulu balang pihak Bungkujadi merobah siasat. Mereka membalik melemparkan membantu makanan yang sudah masuk di tempat pertempuran pihak Damai dan kawan-kawannya. Karena kejadian tersebut maka pihak Damai menyelidiki latar belakang yang memberi bantuan makanan dengan Beliyuk. Setelah penyelidikan dilakukan ternyata dari Bungkujadi yang memberi bantuan sehingga hulu balangnya memberikan penjelasan dengan selengkapnya. Maka di waktu diadakan perjanjian Sai dengan perjanjian satu pihak Nunyai semakin terdesak dan rakyatnya sudah penuh 7 (tujuh) rantau sepanjang Way Pisang. Maka Nunyai dan kawan-kawannya menjadi penuh karena menderita kekalahan. Oleh sebab itu mereka memajukan usul perdamaian dengan syarat-syarat sebagai berikut.
- Nunyai akan mengakui Keratuan Beliyuk serta semua tawanan-tawanan pimpinan Beliyuk, Riu Segulung alias Kuwau serta pengikutnya akan dikembalikan
- Nunyai akan memberi putri untuk diistrikan oleh Damai dari hulu balang Beliyuk serta diberi tanah keratuan di daerah Gilas
- Nunyai minta telinga manusia yaitu telinga tawanan-tawanan Beliyuk sebanyak 7 (tujuh) dulang gono surat perdamaian yang akan diresmikan kemudian. Isi perjanjian:
- (1). Ia bersedia menyerahkan semua tawanan yang didapat dalam pertempuran sebanyak 7 (tujuh) rantau, dengan sehat bukan sekedar telinganya saja
- (2). Mulai sekarang semua kebuayan daerah Lampung harus tunduk peraturan Sultan Banten dengan syarat selalu datang menghadap minta pepadun yang menghargai kaum isteri wanita sebagai permaisuri tidak dapat dicerai haknya keratuan, maka sering disebut isinuwo.
- (3). Gawi Irau atau pejaan perkawinan Damai dengan disaksikan tiap-tiap kebuayan yang terlibat dalam pertempuran, serta yang ikut dan taat dengan Sultan Banten.
1. Nuban
2. Nunyai
3. Unyi
4. Subing
5. Kunang
6. Anak Tuha
7. Nyerupa
8. Beliyuk
9. Selagai
10. Bungkujadi
11. Manyarakat
12. Tambapupus
Yang tetap mengadakan keputusan-keputusan dengan jalan carem (mupakat) dan disaksikan oleh 12 kebuayan lainnya yaitu:
a. Tulang Bawang 4 (empat) kebuayan
b. Way Kanan 5 (lima) kebuayan
c. Way Sungkai 3 (tiga) kebuayan.
Mereka juga 12 kebuayan. Maka jumlah seluruhnya 12 + 12 = 24 kebuayan sudah sama-sama mengikrarkan akan siba ke Banten. Mulai saat itulah penterapan pangkal tolak semua kebuayan diberi kekuasaan kerajaan. Adat memakai pengakuk pak likur (24) tiap-tiap kebuayan.
Kecuali Beliyuk dobel dari pak likur menjadi pak likur dawo (48) karena ia memegang perdamaian. Kejadian ini kira-kira tahun 1560 s.d. 1570 M. Antara lain isi keputusan tersebut:
- Adat siba ke Sultan yaitu pepadun, meningkatkan derajat kaum wanita yang dikenal istilah salah lanang lanang maru. Salah wadun lanang maru. Karena waktu itu perempuan sangat lemah dianggap remeh oleh kaum laki-laki sebentar-sebentar diambil, sebentar-sebentar dicerai sebagai permainan laki-laki tidak mempunyai harga dianggap makhluk hina pada masa itu.
- Tiap-tiap kebuayan diberi alat-alat kerajaan masing-masing kecuali pepadun yang jadi ikutan adat, harus siba ke Banten tidak dibolehkan mengambil dari kebuayan lain sebagai podemin adat baru dianggap penuh kerajaannya.
- Hukum adat terdiri dari 8 selir, 4 tajui, cepalo 12 untuk menjaga tata tertib adat kemudian menyusul peraturan-peraturan adat pepadun yang diputuskan oleh 12 kebuayan dengan carem (mupakat)
- Pekerjaan manusia-manusia adat Lampung / penyimbang-penyimbang pepadun diajaibkan adat titi-Gemati supaya nemah kebuayan:
- a. Gadis dan bujang / gadis / nguten nyerah ngasah. Maka menjadi/bujang/ gadis/bumi/pepadun atau disebut penganggik.
- b. Perkawinan gadis ngejuk/bubai/diulah oleh kebuayan namanya Riu/ kampung. 3. Keluarga sendiri, 4. Jalan sendiri/nyekak.
1. Diulah kebuayan ngekuruk turun mandi,
2. Kampung ngakuruk saja,
3. Perkawinan biasa selaku Lampung jajar.
- c. Setelah tua anak meningkat pegawo bumi (pengeran) maka ia mepahau/penyembahan, baru naik pepadun namanya Sutan.
- d. Meninggal dunia diadakan perayaan selawat. Sereno bumi. Nuwo dan Nambok orang tuanya yang sudah meninggal. Maka tiap-tiap penyimbang yang sudah diakui ia syah oleh kubuayan diharuskan tiap-tiap meliwati dari a s.d. tersebut di atas mengadakan perayaan potong kerbau, cangget gawi mengundang kebuayan-kebuayan yaitu namanya nemok dan diberi makan/minum serta diberi oleh-oleh. Setelah kembali ke tempat masing-masing membagi dau adat.
Semua peraturan-peraturan yang akan diterapkan, mulai diulah oleh 12 kebuayan. Suasana aman dan tenteram maka pihak Beliyuk terdiri Minak Belanang Damai, Ubai, dan Pemuka terus menuju Bungkujadi di pinggir Way Sekampung meneruskan perjanjian yang sudah dirintis oleh hulu balang Raja Asuk Abung Perebo dan prajurit Nilem Dilem yang meresmikan muwari/saudara Beliyuk dengan Bungkujadi, di Way Sekampung di pinggir pekon ...... Nenyukken tebing nyerah apali hidup menjatuhkan batu di sungai sebagai Sumpah Beliyuk dan Bungkujadi.
Minak Belanang Damai tidak lama di Lampung karena dapat pindahan Beliyuk baru mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Minak Riu Natal. Kelemahan Beliyuk sudah diketahui yaitu berpantangan. Malawan perang tahu (orang sudah tua keno patik) menjadikan Beliyuk lemah lunglai tidak berdaya. Kebocoran rahasia ini oleh Beliyuk sendiri dengan isterinya yang asal dari putri Nunyai ibu dari anaknya Minak Riu Natal. Karena suatu ketika mereka berupberolan, sengaja atau tidak sengaja isterinya bertanya serta membujuk rayu suaminya yang gagah perkasa tidak dapat dilawan oleh musuh pada waktu itu. Maka Minak Belanang Damai mengungkapkan rahasia kesaktiannya tidak dapat berhadapan atau melawan/dipegang oleh orang tua keno perang (patik orang tua) itulah yang dapat mengusir aku dalam peperangan. Rupanya isteri beliau walaupun sudah isteri dengan Minak Belanang Damai tetapi masih ingat dengan asal keluarganya dari Nunyai. Maka isteri beliau itulah yang memberi laporan kepada pihak saudara-saudara Nunyai.
Setelah pihak Nunyai mendapat keterangan-keterangan yang boleh mengalahkan Minak Belanang Damai maka Nunyai tanpa kompromi lagi dengan kebuayan lain ia memerintahkan anak buahnya sendiri menyerang ke tempat Minak Belanang Damai pagi-pagi buta. Pasukan dari Nunyai sudah datang menyerbu dan mereka membawa orang yang kena parang tua, ditutup dengan sarau di depan rumah Minak Belanang Damai. Beliyuk baru bangun dari tidur sudah ditantang oleh musuh dan Beliyuk berkata dengan keras lebih dari kalian dapat saya kalahkan. Karena Beliyuk tidak menduga bahwa ada parang tua. Maka Beliyuk nyapang parang tua Beliyuk terkejut sehingga senjata Beliyuk terlepas dari tangannya dan Beliyuk seperti asap beterbang ke angkasa dan hilang lenyap dari pandangan musuh.
Senjata Beliyuk yang tertinggal itu dipungut oleh musuh dan diserahkan kepada pihak Nunyai. Senjata itulah Beliyuk kehilangan hulu balang yang ditakuti oleh lawan. Maka kerajaan Beliyuk dirampas kembali oleh Nunyai tetapi mendapat tantangan dari Bungkujadi ia akan mempertahankan dengan Sultan Banten. Bila ia tidak patuh dengan Piagam Gilas dan berikut kebuayan turut menentang pula tindakan Nunyai sehingga ia terpaksa tunduk dengan keputusan kebuayan. Oleh sebab itu ia haruskan turut siba ke Banten untuk mendapatkan alat-alat pepadun dan dendan penganggu lainnya, bila tidak ia akan disingkirkan dari adat pepadun. Maka kemenangan pihak Nunyai tidak berhasil sebab semua kebuayan lainnya tidak mau mengakuinya.
Setelah Minak Riu Natal anak dari Minak Belanang Damai menginjak di sana maka senjata ayahnya diserahkan oleh pihak Nunyai kepadanya untuk dijadikan pusaka turun temurun cucu beliau. Senjata tersebut dikagumi oleh penduduk sekitarnya sampai saat ini masih memberikan mukjizat kepada masyarakat karena sering mengeluarkan/menunjukkan bukti-bukti kesaktian atau di luar kebiasaan tidak dapat diterima oleh akal manusia biasa.
Demikian keadaan daerah Lampung pada abad ke-15 – 16 M yang telah lalu berarti sekitar 450 tahun yang lampau. Setelah abad ke-17 selesai seluruhnya tiap-tiap kebuayan siba papadun yang menjadi pedamen adat atau dengan kata lain istilah bumi tempat adat berpicak seperti diuraikan di atas. Tetapi ketika itu kerajaan Banten telah dikuasai oleh Kompeni Belanda menjadi kota Banten. Maka di Lampung huru hara / tidak aman karena banyak ditatangi rempah besar-besaran baik harta atau jiwa manusia yang terkenal dengan nama Bajao atau politik penjajahan Belanda dan Inggris. Oleh sebab itu selama abad ke-18 – 19 mempertahankan diri tidak mau dijajah Belanda dan Inggris. Sehingga sekarang masih banyak menunjukkan fakta/bukti gigihnya perlawanan penduduk Lampung antara lain terhadap bekas-bekas senjata mariem dan pertahanan di sekeliling desa yang disebut pegiki (siring besar keliling kampung untuk menahan musuh).
Karena Belanda mengadakan serangan-serangan dari darat dan laut maka terpaksa rakyat Lampung menjadi lemah baik moril ataupun materiel, karena diblokade seluruhnya. Sebagai bahan perbandingan baiklah kita bayangkan kejadian yang baru lalu yaitu peperangan di Lampung lebih kurang 8 (delapan) tahun lamanya yaitu dari tahun 1942 s.d. 1950 baru kira-kira 30 tahun yang lalu dapat kita tanyakan pada diri kita sendiri yang sudah ikut berjuang zaman Jepang sampai alam merdeka kebanyakan rakyat Lampung menderita mati kelaparan dan sulit pakaian sampai memakai karung atau gakap yaitu kulit kayu kibang dan memakai lampu dari damar getah kayu kayung atau meranti.
Banyak pula orang tua sampai membuang anaknya sebaliknya anak membuang orang tua sendiri dikarenakan kesulitan yang luar biasa karena tekanan musuh sehingga hancurlah akhlak Lampung yang terkenal tinggi. Apalagi di abad ke-18 – 19 keadaan begitu lama hampir terjerumus menjadi orang hutan (kubu) karena sudah beranak cucu tidak bebas, merembet pula dengan adat aturan yang sengaja dikacaukan musuh.
Mulai pertengahan abad ke-19 M kompeni Belanda telah menduduki Telukbetung oleh sebab itu, Subing mengambil garis kebijaksanaan untuk meneramkan di daerah Abung/Seputih perlu mengadakan setiap kedua kompeni Belanda di Gunung Sugih untuk mengamankan seluruh perampokan-perampokan yang diadakan oleh bajau-bajau di sekitar daerah Abung/Seputih. Setelah keamanan terjamin maka penduduk membangun kembali baik moril maupun materiil begitupun adat dan aturan yang hampir hilang di masa bajau beroperasi. Sedang pengambilan adat asli belum pulih kembali masih terhalang oleh kompeni Belanda pada saat itu.
Ketika masuk abad ke-20 maka terjadi perang dunia I dan II terus melepaskan diri dari penjajahan. Pada tanggal 17 Agustus 1945 kita memproklamirkan kemerdekaan seluruh bangsa dan satu tanah air Indonesia dari Sabang sampai Merauke menjadi satu bangsa dan satu tanah air Indonesia dengan istilah Bhineka Tunggal Ika walaupun berbeda-beda tetap satu juga.
Demikianlah keterangan yang saya kumpulkan secara singkat ala kadarnya yang saya ketahui sampai tahun 1950 atau 23 tahun yang lalu dan saya mohon kebijaksanaan para pembaca yang telah mengerti akan sejarah untuk dapat memberikan sokongan keterangan agar dapat memperhalus kata-kata dapat lebih menaruh perhatian dan ilmu anak-anak kita di masa yang akan datang. Atas perhatian para pembaca tidak lupa pengarang ucapkan terima kasih.
PENJELASAN PENUTUP
- Riwayat Damai didapat dari tambu/babak orang-orang tua yang sudah lanjut umurnya. Masa itu yang saya terima sekitar tahun 1935 s.d 1942 antara lain: a) Raja Sebuai, b) Radin Muhammad, c) Hi. Muhammad ..., d) Pasirah Ratu, dan e) Kemala Semarga. Kesemuanya asli keturunan dari Damai tambahan pula semasa saya lagi duduk di bangku Sekolah Verlegs hool klas terakhir. Orang tua saya sendiri pernah memberi keterangan secara terperinci tentang asal-usul keturunan kami dari Sultan Banten. Sudah mencapai sebelas keturunan serta memperlihatkan buku sejarah yang ditulis dengan surat Lampung di atas kulit kayu alim. Merupakan buku sejarah dengan amanatnya harus dirahasiakan tidak boleh orang lain tahu tetapi buku tersebut saya simpan berikut biseluit beliau menjadi Penghulu Kampung Banjar Ratu, menjabat selama 22 (dua puluh dua) tahun kesemuanya saya simpan di dalam peti besi ditaruh dalam rumah kami Kampung Banjar Ratu. Maka pada tahun 1949 terjadi penggeledahan oleh Macan Loreng tentara Belanda agresi kedua diambil mereka turut peti besi tersebut.
- Pada waktu itu tahun 1970 saya bersama dengan Muhammad Hasan Gelar Sutan Pengeran Sangun Ratu mengunjungi pemuka-pemuka rakyat Bungkukjadi minta bahan/hadat dan sebab musabab menjadi saudara Beliyuk dengan Bungkukjadi, yang sampai saat ini masih dipatuhi kedua belah pihak antara lain memberi penjelasan.
- Mengenai a) Pangiran Dipuncak, b) Pangiran Siwo Gilas, dan c) Sutan Perdana Raja masa dan waktu kejadian-kejadian saya petik dari buku Sejarah Indonesia I karangan Hindu Haryu Suwitu, dan Sejarah Indonesia II karangan Anwar Sanusi dan Sejarah Indonesia I suindura pelajaran SMA N, serta tingginya Gunung Pesagi 2.232 m dari buku Ilmu Bumi Propinsi Lampung karangan R. Adam Basati tahun 1965 mengutip dari panggih-panggih kekuasaan-kekuasaan yang dipakai waktu cangget yang merupakan bentuk asli dan pengumpulan.
- Data-data dari tokoh-tokoh adat sejarah Pepadun.
- Pada tahun 1973 maka terpikir oleh saya semua keterangan-keterangan yang saya ketahui harus dibukukan serta mendapat bahan-bahan salinan antara lain: a. Muhammad Hasan Gelar Sutan Pengeran Sangun Ratu, Tanjung Ratu alias Beliyuk. b. Samsuddin Usman gelar Sutan Sepahit Lidah, Blambangan Pager buay Nunyai c. Tuan Besar Buay Bara Sakti, Way Kanan
- d. Muhammad Saleh Kertajaya, buay Pemuka Way Kanan, e. Dilambung gelar Pengeran Pesirah Mega, Karta buay Bulan Udik
- Akhir kata menurut pendapat pengarang secara logika/ilmiah bahwa kemungkinan nama samaran Damai adalah Sutan Banten Hasannuddin sendiri dengan alasan: a. Damai nikah dengan putri Nunyai Indrapura, b. Damai mendapat daerah Gilas (Lampung Utara, Way Kanan), c. Damai menetapkan adat pepadun waktu Piagam Gilas. Hasannuddin larang menanamkan kekuasaannya di Lampung dengan bukti sampai saat ini (tahun 1973) masih tetap adat pepadun ditaati dan diagungkan. d. Damai tidak ada makam/kuburan karena sewaktu beliau hampir tewas oleh serangan musuh ia menghilang dan tidak ada seorang pun yang mengetahui karena perginya sedang senjatanya tinggal menjadi barasan sampai saat ini. e. Riwayat Damai diambil dari tambu/baban orang tua. Riwayat Maulana Hasannuddin diambil dari Sejarah Nasional tersebut di atas.
SEJARAH/CERITERA WAKTU SIBA KE BANTEN MENDAPATKAN HADIYAH LAWANG KORI (PINTU GERBANG) YANG ADA SEKARANG INI DI KAMPUNG GEDONGWANI
Untuk pertama-tama mengambil kesimpulan waktu siba ke Banten Pulau Jawa sebagai berikut: Tahun 1526 Penglima Tentara Demak nama Syarif Hidayat Patillah alias Sunan Gunung Jati alias Toh Abu menduduki Sunda Kelapa terputuslah hubungan dengan Portugis dan Raja Sunda. Tahun 1528 Hidayat Fathillah diterima dengan baik oleh Minak Raja Jalan Batu kepala Kedatuan Pugung di Meninting (sekarang dalam Kecamatan Jabung).
Hidayat Pataillah dikawinkan oleh Ratu Pugung dengan putrinya bernama Putri Sinar Alam. Tahun 1530 Hidayat Fathillah ditetapkan sebagai Sultan Banten oleh pemerintahan Demak untuk dapat menguasai kota-kota dan pelabuhan-pelabuhan di Pantai Jawa Barat. Lebih kurang tahun 1532 maka Sultan Banten (Hidayat Fathillah) mengadakan penyebaran-penyebaran di seluruh daerah Lampung memerintah siba (menghadap) beliau ke Banten.
Maka sampailah kabar itu kepada Buay Selagai di Abung Kotabumi (Lampung Utara) sekarang, yang kampung waktu itu bernama Gedung Kuripan yang terletak sekarang ini di perbatasan Kecamatan Padang Ratu dan Kecamatan Kotabumi, Lampung Utara. Dengan keputusan musyawarah sekeluarga besar pada masa tersebut pada waktu itu ialah bernama Ratudinata, untuk menghadap siba ke Banten.
Setelah itu Ratudinata dengan beberapa anak buahnya mempersiapkan perbekalan, perahu atau rakit untuk pergi berlayar menghadap Sultan Banten di Jawa. Mula-mula berangkat berlayar dari Way Cagem terus menuju laut, setelah sampai di tengah laut, dihalang-halangi oleh bajak laut yang maksudnya hendak merampok. Sebelum mereka sampai di perahu/di rakit Ratudinata, beliau sudah mengetahui kira-kira maksud bajak laut yang tidak baik itu, oleh beliau Ratudinata mengajari anak buahnya cara-cara tanya jawab menghadapi bajak laut sebagai berikut:
1. Bila ditanya nanti siapa juragan perahu, harus dijawab: Raden Tabu.
2. Siapa anak buahnya, dijawab: Selamat, Datang, Balik, Baghang.
3. Apa muatan perahu, dijawab: Kemiri, Tenggalung, Rotan, Penjalin.
4. Sudah tahu peraturan berlayar, dijawab: Ada angin berlayar, tidak ada angin berlabuh.
Maka setelah diajari sedemikian itu Ratudinata pergi tidur dalam kelambu sehingga tidak lama kemudian sampailah rombongan bajak laut mendekati perahu Ratudinata, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti tersebut di atas. Oleh karena mendengar jawaban-jawaban yang diucapkan oleh anak buah Ratudinata dengan secara tegas, apa-apa yang telah diajari oleh Ratudinata, maka dengan itu pula tanggapan bajak laut disangka perahu/rakit Ratudinata itu, adalah rombongan bajak laut pula.
Justru itu bajak laut jahanam mundurlah berangsur-angsur menjauhi perahu Ratudinata. Selamatlah perjalanan perahu itu untuk meneruskan perjalanan siba dan sampailah di pelabuhan Banten dengan selamat. Ratudinata dan anak buahnya meneruskan perjalanan untuk menghadap ke Sultan Banten dengan dikawal oleh pengawal-pengawal beliau dan setelah sampai kepada beliau Sultan Banten, Ratudinata ditanya oleh Sultan Banten, anak dari mana? dan dijawab oleh Ratudinata: “Saya dari Lampung Kampung Gedung Kuripan”. Maka kata Sultan Banten: “Jelma Lampung gedung iyuak wani”
Maka di dalam hati Ratudinata sebagai hasil pertama direncanakan sepulangnya dari siba ini, kita akan merubah nama Kampung Gedung Kuripan menjadi “Gedung Wani”. Selama lebih kurang satu bulan di Banten Ratudinata diangkat menjadi anak dan diberi nama oleh beliau “Raden Cakradinata” (Pangeran Cakradinata). makam/ keramat beliau ini sekarang ada di Kampung Gedungwani. Selama beliau berada di Banten, diajarkan suatu ilmu pengetahuan, pertanian, perdagangan, peternakan, dan lain-lain ialah syahadat yang berbunyi “Asyhadualla ila haillallah Muhammad ... maka setelah mendapat ilmu tersebut Raden Cakradinata mohon izin akan kembali ke Lampung.
Setelah Raden Cakradinata akan berangkat ke Lampung, oleh beliau Sultan Banten sebagai tanda pengakuan anak angkat beliau diberi sebuah Pintu Gerbang atau Lawang Kori yang sekarang masih berada di Kampung Gedungwani. Maka di dalam perjalanan pulang ke Lampung beliau Raden Cakradinata di tengah laut dihalangi oleh ular besar perahu beliau, maka untuk mencoba ilmu yang dari Sultan Banten oleh beliau dibacakan syahadat dan kulhu wallah .............., maka ular tersebut dipegangnya menjadi tumbak yang istilah Lampung PAYAN ULAR, yang sekarang barang ini masih ada. Setelah itu beliau meneruskan perjalanannya pulang menuju muara Way Ghaghem, akan tetapi oleh angin muara tersebut masuk muara Way Sekampung dengan maksud menuju Abung Kotabumi, akan tetapi masuk di hilir Tegineneng dihalangi air terjun, terpaksa tidak dapat meneruskan perjalanan sehingga mundur dari situ lebih kurang 3 km dan mencoba membuat kampung sementara yang sekarang tempat tersebut adalah LIMAU SAGHAKAN, kira-kira di daerah Pancur sekarang ini.
Setelah berusaha mengadakan pertanian, perkebunan di tempat tersebut tanahnya tandus tidak subur, tanah kerikil dan batu. Maka oleh Raden Cakradinata (Pn. Cakradinata) setelah berusaha lebih kurang 3 tahun mundur kembali ke arah perbatasan Kecamatan Jabung sekarang yang di daerah itu diberi nama Gedungwani, karena lebih kurang 50 tahun berusaha perkebunan, pertanian tanah tersebut tidak cocok dengan perkebunan lada, karena tanah pasir dapat ditanami padi saja. Sehingga terpaksa pindah lagi lebih kurang 4 km dan terus membikin kampung lagi kembali yang sampai sekarang diberi nama Gedungwani, dan cocok perkebunan lada, kopi, dan lain-lain walaupun ada pergeserannya tetapi masih di daerah Gedungwani.
Setelah diketahui penduduk dari Abung datang dari siba di Banten berangsur-angsurlah pindah ke Gedungwani yang ada sekarang ini, Kampung Negeri Katen dan Kampung Nyampir. Selama Lawang Kori berada di Kampung Gedungwani dipakai menurut acara adat Lampung sebagai berikut:
1. Kalau mendapat menantu baru dan perayaan secara adat, dan sekurang-kurangnya memotong kerbau, maka Lawang kori tersebut dihiasi dan pintunya dibuka untuk dilewati menantu tersebut.
2. Bila mendapat menantu laki-laki dan melaksanakan acara adat atau sujud (menantu laki-laki mendatangi rumah mertua) pertama-tama dihiasi pula untuk dilewati menantu laki-laki.
3. Hampir tiap-tiap tahun didatangi oleh mahasiswa dari Jawa, luar Jawa, dan pernah pula didatangi pula wakil Panglima dari Daerah Sumatera Selatan Palembang Letkol Herlian bersama Ir. Indera Cahaya pada tahun 1957.
4. Pernah pula didatangi oleh turis Jerman Barat tahun 1953 pada waktu itu Wedana Sukadana Ratu Pengadilan.
5. Pada masa Kolonial Belanda, Lawang Kori tersebut pernah akan dibeli dengan harga sangat mahal, namun oleh Datuk-Datuk pada waktu itu tidak dibolehkan, dan bila tuan memaksa saja akan mengambil Lawang Kori ini, maka seluruh kami khususnya Kampung Gedungwani dan umumnya BUAY SELAGAI akan mengikuti ke mana tuan bawa Lawang Kori ini.
Hidayat Pataillah dikawinkan oleh Ratu Pugung dengan putrinya bernama Putri Sinar Alam. Tahun 1530 Hidayat Fathillah ditetapkan sebagai Sultan Banten oleh pemerintahan Demak untuk dapat menguasai kota-kota dan pelabuhan-pelabuhan di Pantai Jawa Barat. Lebih kurang tahun 1532 maka Sultan Banten (Hidayat Fathillah) mengadakan penyebaran-penyebaran di seluruh daerah Lampung memerintah siba (menghadap) beliau ke Banten.
Maka sampailah kabar itu kepada Buay Selagai di Abung Kotabumi (Lampung Utara) sekarang, yang kampung waktu itu bernama Gedung Kuripan yang terletak sekarang ini di perbatasan Kecamatan Padang Ratu dan Kecamatan Kotabumi, Lampung Utara. Dengan keputusan musyawarah sekeluarga besar pada masa tersebut pada waktu itu ialah bernama Ratudinata, untuk menghadap siba ke Banten.
Setelah itu Ratudinata dengan beberapa anak buahnya mempersiapkan perbekalan, perahu atau rakit untuk pergi berlayar menghadap Sultan Banten di Jawa. Mula-mula berangkat berlayar dari Way Cagem terus menuju laut, setelah sampai di tengah laut, dihalang-halangi oleh bajak laut yang maksudnya hendak merampok. Sebelum mereka sampai di perahu/di rakit Ratudinata, beliau sudah mengetahui kira-kira maksud bajak laut yang tidak baik itu, oleh beliau Ratudinata mengajari anak buahnya cara-cara tanya jawab menghadapi bajak laut sebagai berikut:
1. Bila ditanya nanti siapa juragan perahu, harus dijawab: Raden Tabu.
2. Siapa anak buahnya, dijawab: Selamat, Datang, Balik, Baghang.
3. Apa muatan perahu, dijawab: Kemiri, Tenggalung, Rotan, Penjalin.
4. Sudah tahu peraturan berlayar, dijawab: Ada angin berlayar, tidak ada angin berlabuh.
Maka setelah diajari sedemikian itu Ratudinata pergi tidur dalam kelambu sehingga tidak lama kemudian sampailah rombongan bajak laut mendekati perahu Ratudinata, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti tersebut di atas. Oleh karena mendengar jawaban-jawaban yang diucapkan oleh anak buah Ratudinata dengan secara tegas, apa-apa yang telah diajari oleh Ratudinata, maka dengan itu pula tanggapan bajak laut disangka perahu/rakit Ratudinata itu, adalah rombongan bajak laut pula.
Justru itu bajak laut jahanam mundurlah berangsur-angsur menjauhi perahu Ratudinata. Selamatlah perjalanan perahu itu untuk meneruskan perjalanan siba dan sampailah di pelabuhan Banten dengan selamat. Ratudinata dan anak buahnya meneruskan perjalanan untuk menghadap ke Sultan Banten dengan dikawal oleh pengawal-pengawal beliau dan setelah sampai kepada beliau Sultan Banten, Ratudinata ditanya oleh Sultan Banten, anak dari mana? dan dijawab oleh Ratudinata: “Saya dari Lampung Kampung Gedung Kuripan”. Maka kata Sultan Banten: “Jelma Lampung gedung iyuak wani”
Maka di dalam hati Ratudinata sebagai hasil pertama direncanakan sepulangnya dari siba ini, kita akan merubah nama Kampung Gedung Kuripan menjadi “Gedung Wani”. Selama lebih kurang satu bulan di Banten Ratudinata diangkat menjadi anak dan diberi nama oleh beliau “Raden Cakradinata” (Pangeran Cakradinata). makam/ keramat beliau ini sekarang ada di Kampung Gedungwani. Selama beliau berada di Banten, diajarkan suatu ilmu pengetahuan, pertanian, perdagangan, peternakan, dan lain-lain ialah syahadat yang berbunyi “Asyhadualla ila haillallah Muhammad ... maka setelah mendapat ilmu tersebut Raden Cakradinata mohon izin akan kembali ke Lampung.
Setelah Raden Cakradinata akan berangkat ke Lampung, oleh beliau Sultan Banten sebagai tanda pengakuan anak angkat beliau diberi sebuah Pintu Gerbang atau Lawang Kori yang sekarang masih berada di Kampung Gedungwani. Maka di dalam perjalanan pulang ke Lampung beliau Raden Cakradinata di tengah laut dihalangi oleh ular besar perahu beliau, maka untuk mencoba ilmu yang dari Sultan Banten oleh beliau dibacakan syahadat dan kulhu wallah .............., maka ular tersebut dipegangnya menjadi tumbak yang istilah Lampung PAYAN ULAR, yang sekarang barang ini masih ada. Setelah itu beliau meneruskan perjalanannya pulang menuju muara Way Ghaghem, akan tetapi oleh angin muara tersebut masuk muara Way Sekampung dengan maksud menuju Abung Kotabumi, akan tetapi masuk di hilir Tegineneng dihalangi air terjun, terpaksa tidak dapat meneruskan perjalanan sehingga mundur dari situ lebih kurang 3 km dan mencoba membuat kampung sementara yang sekarang tempat tersebut adalah LIMAU SAGHAKAN, kira-kira di daerah Pancur sekarang ini.
Setelah berusaha mengadakan pertanian, perkebunan di tempat tersebut tanahnya tandus tidak subur, tanah kerikil dan batu. Maka oleh Raden Cakradinata (Pn. Cakradinata) setelah berusaha lebih kurang 3 tahun mundur kembali ke arah perbatasan Kecamatan Jabung sekarang yang di daerah itu diberi nama Gedungwani, karena lebih kurang 50 tahun berusaha perkebunan, pertanian tanah tersebut tidak cocok dengan perkebunan lada, karena tanah pasir dapat ditanami padi saja. Sehingga terpaksa pindah lagi lebih kurang 4 km dan terus membikin kampung lagi kembali yang sampai sekarang diberi nama Gedungwani, dan cocok perkebunan lada, kopi, dan lain-lain walaupun ada pergeserannya tetapi masih di daerah Gedungwani.
Setelah diketahui penduduk dari Abung datang dari siba di Banten berangsur-angsurlah pindah ke Gedungwani yang ada sekarang ini, Kampung Negeri Katen dan Kampung Nyampir. Selama Lawang Kori berada di Kampung Gedungwani dipakai menurut acara adat Lampung sebagai berikut:
1. Kalau mendapat menantu baru dan perayaan secara adat, dan sekurang-kurangnya memotong kerbau, maka Lawang kori tersebut dihiasi dan pintunya dibuka untuk dilewati menantu tersebut.
2. Bila mendapat menantu laki-laki dan melaksanakan acara adat atau sujud (menantu laki-laki mendatangi rumah mertua) pertama-tama dihiasi pula untuk dilewati menantu laki-laki.
3. Hampir tiap-tiap tahun didatangi oleh mahasiswa dari Jawa, luar Jawa, dan pernah pula didatangi pula wakil Panglima dari Daerah Sumatera Selatan Palembang Letkol Herlian bersama Ir. Indera Cahaya pada tahun 1957.
4. Pernah pula didatangi oleh turis Jerman Barat tahun 1953 pada waktu itu Wedana Sukadana Ratu Pengadilan.
5. Pada masa Kolonial Belanda, Lawang Kori tersebut pernah akan dibeli dengan harga sangat mahal, namun oleh Datuk-Datuk pada waktu itu tidak dibolehkan, dan bila tuan memaksa saja akan mengambil Lawang Kori ini, maka seluruh kami khususnya Kampung Gedungwani dan umumnya BUAY SELAGAI akan mengikuti ke mana tuan bawa Lawang Kori ini.
Sukadana, 5 Nopember 1976
Disusun oleh,
ttd
(M. Yusuf P.R.)
NIP 130006984
Disusun oleh,
ttd
(M. Yusuf P.R.)
NIP 130006984
RIWAYAT SINGKAT NEGERI KATON SELAGAI LINGGA
DALAM ADAT LAMPUNG PEPADUN
ABUNG SEWO MEGO PUBIAN TELU SUKU
DALAM ADAT LAMPUNG PEPADUN
ABUNG SEWO MEGO PUBIAN TELU SUKU
Oleh:
Suttan Bandar Negeri Katon
Suttan Bandar Negeri Katon
Negeri Katon
Juli 2006
Juli 2006
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah berkenan memberikan ridhanya, yang pada kesempatan ini, penulis sebagai mantan Kepala Kampung Negeri Katon Kecamatan Selagai Lingga Kabupaten Lampung Tengah sejak 1989 - 1999 merasa perlu merangkaikan tulisan dengan cara yang sangat sederhana sebagai upaya mengagumi warisan kepurbakalaan yang ditinggalkan oleh nenek moyang Marga Selagai Lingga.
Satu kesan menarik warisan yang tetap hidup dalam masyarakat adalah adat dan budaya, namun kian hari dengan proses percepatan pembangunan adat dan budaya bergeser dengan sendirinya tanpa disadari oleh masing-masing individu para Punyimbang Adat dalam Kampung Negeri Katon khususnya di kalangan muda dan mudi terjadi apabila seorang pemudi sekolah di luar Kampung seperti ke Bandar Lampung pulang Kampung bersama seorang pria, maka bujang-gadis pelaksanaannya bergeser meninggalkan cara lama dari belakang rumah kini berkunjung dari depan laksanakan tamu biasa, akhirnya tinggalah cara-cara adat orang Lampung.
Bukan berarti cara-cara adat lama harus dipertahankan sedemikian rupa, namun perlu ditata sehingga adat budaya dapat bertahan dan menerima masukan budaya luar yang positif, sebagai contoh lagi banyaknya orang Lampung dalam keluarga kecil tidak berbahasa Lampung sehingga dimungkinkan 40 - 50 tahun ke depan Lampung tinggalah nama tanpa makna khususnya dalam wilayah Negeri Katon Selagai Lingga, sebagai satu wilayah yang memiliki Dam Irigasi Way Pengubuan.
Tidak menutupi kemungkinan suatu saat jalan antara Gunung Sugih – Pekurun dilebarkan sehingga lintas ke Palembang dari Bandar Lampung akan melalui Dam irigasi Way Seputih – Way Pengubuan dan Way Rarem, apabila sejarah adat dan budaya tidak dimantapkan yang didukung oleh data purbakala maka masyarakat adat akan menjadi penonton dalam pembangunan pariwisata di 3 (tiga) Dam tersebut sehingga penulis merasa terpanggil untuk membuka tabir Negeri Katon Selagai Lingga yang tentunya di kalangan muda kurang mengetahuinya.
Akhirnya terimakasih kepada seluruh aparat Kampung Tua Selagai Lingga, semoga tulisan ini bermanfaat guna mengenali riwayat nenek moyang, keritik dan saran guna penyempurnaannya dari segala pihak sangat diharapkan. Mohon maaf atas kekurangannya.
Satu kesan menarik warisan yang tetap hidup dalam masyarakat adalah adat dan budaya, namun kian hari dengan proses percepatan pembangunan adat dan budaya bergeser dengan sendirinya tanpa disadari oleh masing-masing individu para Punyimbang Adat dalam Kampung Negeri Katon khususnya di kalangan muda dan mudi terjadi apabila seorang pemudi sekolah di luar Kampung seperti ke Bandar Lampung pulang Kampung bersama seorang pria, maka bujang-gadis pelaksanaannya bergeser meninggalkan cara lama dari belakang rumah kini berkunjung dari depan laksanakan tamu biasa, akhirnya tinggalah cara-cara adat orang Lampung.
Bukan berarti cara-cara adat lama harus dipertahankan sedemikian rupa, namun perlu ditata sehingga adat budaya dapat bertahan dan menerima masukan budaya luar yang positif, sebagai contoh lagi banyaknya orang Lampung dalam keluarga kecil tidak berbahasa Lampung sehingga dimungkinkan 40 - 50 tahun ke depan Lampung tinggalah nama tanpa makna khususnya dalam wilayah Negeri Katon Selagai Lingga, sebagai satu wilayah yang memiliki Dam Irigasi Way Pengubuan.
Tidak menutupi kemungkinan suatu saat jalan antara Gunung Sugih – Pekurun dilebarkan sehingga lintas ke Palembang dari Bandar Lampung akan melalui Dam irigasi Way Seputih – Way Pengubuan dan Way Rarem, apabila sejarah adat dan budaya tidak dimantapkan yang didukung oleh data purbakala maka masyarakat adat akan menjadi penonton dalam pembangunan pariwisata di 3 (tiga) Dam tersebut sehingga penulis merasa terpanggil untuk membuka tabir Negeri Katon Selagai Lingga yang tentunya di kalangan muda kurang mengetahuinya.
Akhirnya terimakasih kepada seluruh aparat Kampung Tua Selagai Lingga, semoga tulisan ini bermanfaat guna mengenali riwayat nenek moyang, keritik dan saran guna penyempurnaannya dari segala pihak sangat diharapkan. Mohon maaf atas kekurangannya.
Negeri Katon, 24 Juli 2006
Penulis,
SUTTAN BANDAR
Penulis,
SUTTAN BANDAR
RIWAYAT SINGKAT NEGERI KATON SELAGAI LINGGA
Riwayat
Meriwayatkan Negeri Katon dalam bahasa Jawa “Katon = Kelihatan” berarti Negeri Kelihatan sebagai contoh Gunung Katon di Tulangbawang artinya Gunung Kelihatan tidak terlepas Negeri Katon berarti meriwayatkan nenek moyang; masyarakat Adat Lampung Selagai Lingga yang terdiri dari Kampung Tanjung Ratu, Negeri Katon dan Negeri Agung sebagai kampung yang terhulu mengikuti aliran Way Pengubuan.
Selagai Lingga sebagai salah satu pembentuk unsur Abung Sewo Megou, Pubian Telu Suku dengan Panggih Selagai berbunyi. “Rimas sakou ngeberan, lem Abung Sewo Megou, Betten lagi Rasuan, You sangon menou Sibou”, dan Abung Sewo Megou terdiri dari Marga Nunyai Glr. Minak Trio Deso, Marga Unyi, Marga Subing, Marga Nuban, Marga Buay Bulan (kedudukannya diganti Buay Nyerupa); Marga Beliyuk, Marga Selagai, Marga Buay Kunang dan Marga Anak Tuha, sedangkan Lampung beradat Pepadun, yaitu Abung Sewo Megou, Pubian Telu Suku, Way Kanan, Sungkai dan Tulangbawang.
Penyebaran nenek Moyang dari Sekalou Berak Pesagi (Kenali) nenek moyang mendapat “Samang” dijadikan Bekasem yang akan dapat dibuka setelah unsur dari Sekalou Berak keturunannya menyatu kembali, kemudian mendapat “Kura-kura”, Kura-kura tulangnya dijadikan kentongan, yang memukul kentongan lebih dulu Buay Anak Tuha sebagai pertanda meninggalkan Sekalou Berak, kemudian menyusul Buay Selagai menepati aliran Way Pengubuan.
Diperkirakan tahun 1350 M terdapat nama poyang yaitu “RANGGA MASANG” bermukim di Gedongratu dan Tanjung Langit sebelah hilir Kampung Selagai sekarang menyatu dengan Buay Marga Beliyuk (Tanjung Ratu dan Banjar Ratu Belambangan) generasi selanjutnya dari Rangga Masang terdiri dari tiga keturunan:
1. RIO SIDANG PENATU (Menurunkan masyarakat Tanjung Ratu Selagai)
2. RIO NGEMULA JADI (Menurunkan masyarakat Negeri Katon)
3. RIO SIDANG PENATIH (Menurunkan masyarakat Negeri Agung).
Di tahun 1500-an M keturunan Rangga Masang meninggalkan Gedongratu dan Tanjung Langit pindah mendekatkan diri dengan Buay Kunang di Way Rarem Pekurun mendirikan pemukiman antara Way Galing dan Way Kelawas, yaitu Gedong Raja Pekurun Buay Selagai Dendeng. Dalam abad Kerajaan Banten nama Rangga Masang muncul kembali, Banten pernah mengajak main bola besi (bola Gassou) melawan Selagai, melalui pelabuhan Meringgai ke Banten di bawah Pimpinan Rangga Masang, Suttan Jimat Tuha dan Minak Becil. Pertandingan dilangsungkan di Kerajaan Banten kemenangan ada di pihak Selagai, kemenangan itu karena tendangan bola besi yang ditendang oleh Rangga Masang ke atas cukup tinggi ditendang ke dalam tanah setelah diukur Sultan Banten, bola besi masuk tanah sampai 2000-an meter.
Kemenangan Selagai mengakibatkan Sultan Banten bermaksud menukar separo wilayah Kerajaan Banten dengan Rangga Masang, namun oleh Rangga Masang tawaran Sultan Banten ditolak karena tak ingin kehilangan Selagai Lingga dan Makam Rangga Masang diperkirakan adanya di wilayah kantor Irigasi Way Pengubuan yang disebut TALANG KERAMAT, di sebelah udik Gunung Karto Sano Cabang Empat, sebagai satu gunung pemukiman asal Bandar Putih Way Kunang Buay Marga Beliyuk.
Meluasnya pengaruh Banten ke Lampung nenek moyang Selagai berangkat Sibou menghadap Raja Banten melalui Kuala Way Seputih, sekembalinya dari Banten mendapat berbagai peralatan Adat salah satunya Lawang Kuri, yang terdapat di Gedong Wani antara Way Sekampung dan Way Gerem Lampung Timur.
Peralatan Adat dari Banten berada di Gedong Wani, karena peralatan Adat dibawa oleh nenek moyang Gedong Wani yang mendapat Gelar Raden Cakra Dinata, kembali ke Lampung tidak memasuki aliran Way Seputih, sedangkan yang tua dari Buay Selagai tetap kembali memasuki Kuala Way Seputih yang menetap di hulu Way Pengubuan, ketika itu pemukiman dipindahkan dari Gedongraja Pekurun menjadi Tanjung Ratu, Negeri Katon dan Negeri Agung, juga dapat diduga dari pihak Banten bermukim di Buay Selagai di sekitar Gunung Ayak hulu Way Kapuan.
Pemukiman Tanjung Ratu, Negeri Katon dan Negeri Agung semula sebelah hulu dari tempat yang sekarang atau sebelah hulu Dam Irigasi Way Pengubuan, diperkirakan tahun 1700 M saat itu hidup seorang nama Ratu Sandaran Bumi di Tanjung Ratu Selagai sebagai moyang yang berasal dari aliran Way Tulangbawang dan Makam Ratu Sandaran Bumi tidak ada di wilayah Selagai, mungkin kembali ke wilayah Tulangbawang karena di hulu Way Pengubuan dan Way Seputih maupun Way Cappang Kanan dan Cappang Kiri (Hulu Way Rarem) kegiatan sehari-harinya berburu Badak dan menangkap Ayam Hutan, saat itu pula pasukan Bugis masuk akan menyerang Kampung-kampung di sepanjang Way Pengubuan ke hulu.
Selagai Lingga sebagai salah satu pembentuk unsur Abung Sewo Megou, Pubian Telu Suku dengan Panggih Selagai berbunyi. “Rimas sakou ngeberan, lem Abung Sewo Megou, Betten lagi Rasuan, You sangon menou Sibou”, dan Abung Sewo Megou terdiri dari Marga Nunyai Glr. Minak Trio Deso, Marga Unyi, Marga Subing, Marga Nuban, Marga Buay Bulan (kedudukannya diganti Buay Nyerupa); Marga Beliyuk, Marga Selagai, Marga Buay Kunang dan Marga Anak Tuha, sedangkan Lampung beradat Pepadun, yaitu Abung Sewo Megou, Pubian Telu Suku, Way Kanan, Sungkai dan Tulangbawang.
Penyebaran nenek Moyang dari Sekalou Berak Pesagi (Kenali) nenek moyang mendapat “Samang” dijadikan Bekasem yang akan dapat dibuka setelah unsur dari Sekalou Berak keturunannya menyatu kembali, kemudian mendapat “Kura-kura”, Kura-kura tulangnya dijadikan kentongan, yang memukul kentongan lebih dulu Buay Anak Tuha sebagai pertanda meninggalkan Sekalou Berak, kemudian menyusul Buay Selagai menepati aliran Way Pengubuan.
Diperkirakan tahun 1350 M terdapat nama poyang yaitu “RANGGA MASANG” bermukim di Gedongratu dan Tanjung Langit sebelah hilir Kampung Selagai sekarang menyatu dengan Buay Marga Beliyuk (Tanjung Ratu dan Banjar Ratu Belambangan) generasi selanjutnya dari Rangga Masang terdiri dari tiga keturunan:
1. RIO SIDANG PENATU (Menurunkan masyarakat Tanjung Ratu Selagai)
2. RIO NGEMULA JADI (Menurunkan masyarakat Negeri Katon)
3. RIO SIDANG PENATIH (Menurunkan masyarakat Negeri Agung).
Di tahun 1500-an M keturunan Rangga Masang meninggalkan Gedongratu dan Tanjung Langit pindah mendekatkan diri dengan Buay Kunang di Way Rarem Pekurun mendirikan pemukiman antara Way Galing dan Way Kelawas, yaitu Gedong Raja Pekurun Buay Selagai Dendeng. Dalam abad Kerajaan Banten nama Rangga Masang muncul kembali, Banten pernah mengajak main bola besi (bola Gassou) melawan Selagai, melalui pelabuhan Meringgai ke Banten di bawah Pimpinan Rangga Masang, Suttan Jimat Tuha dan Minak Becil. Pertandingan dilangsungkan di Kerajaan Banten kemenangan ada di pihak Selagai, kemenangan itu karena tendangan bola besi yang ditendang oleh Rangga Masang ke atas cukup tinggi ditendang ke dalam tanah setelah diukur Sultan Banten, bola besi masuk tanah sampai 2000-an meter.
Kemenangan Selagai mengakibatkan Sultan Banten bermaksud menukar separo wilayah Kerajaan Banten dengan Rangga Masang, namun oleh Rangga Masang tawaran Sultan Banten ditolak karena tak ingin kehilangan Selagai Lingga dan Makam Rangga Masang diperkirakan adanya di wilayah kantor Irigasi Way Pengubuan yang disebut TALANG KERAMAT, di sebelah udik Gunung Karto Sano Cabang Empat, sebagai satu gunung pemukiman asal Bandar Putih Way Kunang Buay Marga Beliyuk.
Meluasnya pengaruh Banten ke Lampung nenek moyang Selagai berangkat Sibou menghadap Raja Banten melalui Kuala Way Seputih, sekembalinya dari Banten mendapat berbagai peralatan Adat salah satunya Lawang Kuri, yang terdapat di Gedong Wani antara Way Sekampung dan Way Gerem Lampung Timur.
Peralatan Adat dari Banten berada di Gedong Wani, karena peralatan Adat dibawa oleh nenek moyang Gedong Wani yang mendapat Gelar Raden Cakra Dinata, kembali ke Lampung tidak memasuki aliran Way Seputih, sedangkan yang tua dari Buay Selagai tetap kembali memasuki Kuala Way Seputih yang menetap di hulu Way Pengubuan, ketika itu pemukiman dipindahkan dari Gedongraja Pekurun menjadi Tanjung Ratu, Negeri Katon dan Negeri Agung, juga dapat diduga dari pihak Banten bermukim di Buay Selagai di sekitar Gunung Ayak hulu Way Kapuan.
Pemukiman Tanjung Ratu, Negeri Katon dan Negeri Agung semula sebelah hulu dari tempat yang sekarang atau sebelah hulu Dam Irigasi Way Pengubuan, diperkirakan tahun 1700 M saat itu hidup seorang nama Ratu Sandaran Bumi di Tanjung Ratu Selagai sebagai moyang yang berasal dari aliran Way Tulangbawang dan Makam Ratu Sandaran Bumi tidak ada di wilayah Selagai, mungkin kembali ke wilayah Tulangbawang karena di hulu Way Pengubuan dan Way Seputih maupun Way Cappang Kanan dan Cappang Kiri (Hulu Way Rarem) kegiatan sehari-harinya berburu Badak dan menangkap Ayam Hutan, saat itu pula pasukan Bugis masuk akan menyerang Kampung-kampung di sepanjang Way Pengubuan ke hulu.
Bugis Masuk Way Pengubuan
Pada saat pasukan Bugis memasuki aliran Way Pengubuan sampai di Kampung Terbanggi sekarang, tidak sanggup masuk Kampung karena di tepi Way Pengubuan sekitar pemukiman Terbanggi, pasukan Bugis melihat tunggul penebangan kayu-kayu besar tersisa tiga sampai empat meter, pasukan Bugis meyakinkan orang-orang Terbanggi tinggi badannya diatas 3-4 meter, sehingga pasukan Bugis melanjutkan perjalanan ke hulu menuju Tanjung Ratu dan Negeri Agung Selagai karena tidak sanggup masuk Kampung Terbanggi disangkanya orang Terbanggi setinggi lebih dari 3-4 meter.
Pasukan Bugis sudah terdengar memasuki aliran Way Pengubuan, nenek moyang Tanjung Ratu dan Negeri Agung telah menyiapkan tempat-bertamu dengan lantai dan dinding ruangan tamu terdiri dari kayu Katimbul = Jelateng sebagai kayu yang gatal, juga disiapkan alat nyirih atau nginang.
Setelah Bugis tiba di Tanjung Ratu dan Negeri Agung, dipersilahkan menduduki tempat, yang telah disediakan dan disuguhi alat nginang/nyirih, seketika itu pula gambir untuk nginang berubah menjadi besi dan oleh nenek moyang Tanjung Ratu dan Negeri Agung gambir besi tersebut digigit untuk nginang sedangkan pasukan Bugis tak dapat melakukan hal yang demikian, sehingga tidak terjadi perang dan Bugis melanjutkan perjalanan ke hulu dalam keadaan lapar menuju Negeri Katon, yang berada di Takkit Tabu Tegantung hulu Way Pengubuan.
Di Negeri Katon Rio Ngemula Jadi yang hidup sekitar abad 15 menurunkan Lingga Glr. Minak Lingga Gemeti, kebuayannya di abad 17 masuknya serangan Bugis juga telah siap tempat sebagaimana di Tanjung Ratu dan Negeri Agung dan Pasukan Bugis berhadapan dengan Ratu Sandaran Bumi, sebagian pasukan Bugis tetap di perahu mereka.
Nenek moyang Tanjung Ratu, Negeri Katon, Negeri Agung saat itu menyiapkan kayu gelondongan sebagai langkah jika terjadi perang gelondongan kayu didorong ke tepi sungai agar menimpa perahu-perahu pasukan Bugis, namun tidak terjadi perang karena Ratu Sandaran Bumi saat menerima tokoh-tokoh Bugis mengambil pusaka Tombak Bugis langsung digigitnya hampir putus.
Melihat keadaan Ratu Sandaran Bumi yang mampu merusak pusaka Tombak Bugis, akhirnya Pasukan Bugis yang memang sudah kegatalan mulai dari Tanjung Ratu, Negeri Agung hingga Negeri Katon karena duduk dan menyandar di kayu Katimbul (Jelateng) terpaksa Bugis tidak dapat melakukan perang sehingga kembali ke hilir dengan kelaparan, dan tinggalah seorang pasukan Bugis yang diserahkan kepada Ratu Sandaran Bumi asal Tulangbawang sebagai poyang yang menyelamatkan Selagai dari serangan Bugis; dan nama seorang Bugis yang tinggal sudah tak terdengar di masyarakat.
Selain Ratu Sandaran Bumi; seorang Pasukan Bugis di Selagai Lingga tcrdapat juga poyang pendatang yaitu Mas Minang dari Padang, dan Raja Gawang datang satu keluarga 6 (enam) jiwa dari pemukiman Cahaya Negeri Cangok Sekipi, menetap di Selagai Lingga, Ratu Sandaran Bumi dan seorang Bugis menikah dengan wanita dari Tanjung Ratu Selagai, sedangkan Mas Minang menikah dengan wanita dari Negeri Katon dari unsur nenek moyang pendatang inilah yang mendirikan pemukiman nama GEDONG HARTA Selagai Lingga.
Ratu Sandaran Bumi menetap di Tanjung Ratu berburu badak liar dan menangkap ayam hutan, badak liar di hulu Way Pengubuan, Way Seputih (Putih), Cappang Kanan dan Cappang Kiri dalam riwayat terdiri dari Badak bercula warna putih, warna hitam dan bercula warna merah, berburu sampai Gunung Tanggamus Kota Agung.
Berburu Ayam Hutan Ratu Sandaran Bumi memasang PIKAT BERUGA (Ayam Hutan) kemudian saling bersaut-sautan dengan ayam hutan lain, suatu saat ayam hutan dan pikat milik Ratu Sandaran Bumi lidak bersuara, oleh Ratu Sandaran Bumi dilihatnya mengapa pikat tak bersuara ? Ternyata duduk di dekat pikat ayam hutan (Beruga) seorang yang banyak bulu. Setelah ditanya Ratu Sandaran Bumi orang tersebut selalu menjawab “Gou” akhirnya orang tersebut dibawa Ratu Sandaran Bumi pulang ke Tanjung Ratu Selagai, dengan diberinama, "Ratu Baruga" (Ratu Ayam Hutan) untuk kemudian dinikahkan dan mempunyai dua keturunan masing-masing menetap di Negeri Agung dan Gedong Harta.
Pasukan Bugis sudah terdengar memasuki aliran Way Pengubuan, nenek moyang Tanjung Ratu dan Negeri Agung telah menyiapkan tempat-bertamu dengan lantai dan dinding ruangan tamu terdiri dari kayu Katimbul = Jelateng sebagai kayu yang gatal, juga disiapkan alat nyirih atau nginang.
Setelah Bugis tiba di Tanjung Ratu dan Negeri Agung, dipersilahkan menduduki tempat, yang telah disediakan dan disuguhi alat nginang/nyirih, seketika itu pula gambir untuk nginang berubah menjadi besi dan oleh nenek moyang Tanjung Ratu dan Negeri Agung gambir besi tersebut digigit untuk nginang sedangkan pasukan Bugis tak dapat melakukan hal yang demikian, sehingga tidak terjadi perang dan Bugis melanjutkan perjalanan ke hulu dalam keadaan lapar menuju Negeri Katon, yang berada di Takkit Tabu Tegantung hulu Way Pengubuan.
Di Negeri Katon Rio Ngemula Jadi yang hidup sekitar abad 15 menurunkan Lingga Glr. Minak Lingga Gemeti, kebuayannya di abad 17 masuknya serangan Bugis juga telah siap tempat sebagaimana di Tanjung Ratu dan Negeri Agung dan Pasukan Bugis berhadapan dengan Ratu Sandaran Bumi, sebagian pasukan Bugis tetap di perahu mereka.
Nenek moyang Tanjung Ratu, Negeri Katon, Negeri Agung saat itu menyiapkan kayu gelondongan sebagai langkah jika terjadi perang gelondongan kayu didorong ke tepi sungai agar menimpa perahu-perahu pasukan Bugis, namun tidak terjadi perang karena Ratu Sandaran Bumi saat menerima tokoh-tokoh Bugis mengambil pusaka Tombak Bugis langsung digigitnya hampir putus.
Melihat keadaan Ratu Sandaran Bumi yang mampu merusak pusaka Tombak Bugis, akhirnya Pasukan Bugis yang memang sudah kegatalan mulai dari Tanjung Ratu, Negeri Agung hingga Negeri Katon karena duduk dan menyandar di kayu Katimbul (Jelateng) terpaksa Bugis tidak dapat melakukan perang sehingga kembali ke hilir dengan kelaparan, dan tinggalah seorang pasukan Bugis yang diserahkan kepada Ratu Sandaran Bumi asal Tulangbawang sebagai poyang yang menyelamatkan Selagai dari serangan Bugis; dan nama seorang Bugis yang tinggal sudah tak terdengar di masyarakat.
Selain Ratu Sandaran Bumi; seorang Pasukan Bugis di Selagai Lingga tcrdapat juga poyang pendatang yaitu Mas Minang dari Padang, dan Raja Gawang datang satu keluarga 6 (enam) jiwa dari pemukiman Cahaya Negeri Cangok Sekipi, menetap di Selagai Lingga, Ratu Sandaran Bumi dan seorang Bugis menikah dengan wanita dari Tanjung Ratu Selagai, sedangkan Mas Minang menikah dengan wanita dari Negeri Katon dari unsur nenek moyang pendatang inilah yang mendirikan pemukiman nama GEDONG HARTA Selagai Lingga.
Ratu Sandaran Bumi menetap di Tanjung Ratu berburu badak liar dan menangkap ayam hutan, badak liar di hulu Way Pengubuan, Way Seputih (Putih), Cappang Kanan dan Cappang Kiri dalam riwayat terdiri dari Badak bercula warna putih, warna hitam dan bercula warna merah, berburu sampai Gunung Tanggamus Kota Agung.
Berburu Ayam Hutan Ratu Sandaran Bumi memasang PIKAT BERUGA (Ayam Hutan) kemudian saling bersaut-sautan dengan ayam hutan lain, suatu saat ayam hutan dan pikat milik Ratu Sandaran Bumi lidak bersuara, oleh Ratu Sandaran Bumi dilihatnya mengapa pikat tak bersuara ? Ternyata duduk di dekat pikat ayam hutan (Beruga) seorang yang banyak bulu. Setelah ditanya Ratu Sandaran Bumi orang tersebut selalu menjawab “Gou” akhirnya orang tersebut dibawa Ratu Sandaran Bumi pulang ke Tanjung Ratu Selagai, dengan diberinama, "Ratu Baruga" (Ratu Ayam Hutan) untuk kemudian dinikahkan dan mempunyai dua keturunan masing-masing menetap di Negeri Agung dan Gedong Harta.
Asal Kampung Gedong Harta
Ratu Sandaran Bumi menurunkan, “Gaya Mega, Minak Beraja Niti, Bibas dan Singo”, saat akan mendirikan nama Gedong Harta menjadi suatu Kampung (Anek) sesuai dengan Hukum Adat yang berlaku dibutuhkan pemotongan kerbau yang tidak sedikit, sesuai dengan ternak yang dipotong dalam setiap Gawi Adat Lampung.
Gaya Mega mencari kerbau yang akan dibeli ke Tanjung Ratu Belambangan, ketika sampai di Tanjung Ratu, ditunjukkan kerbau yang akan dijual pada suatu tempat di hutan, kemudian Gaya Mega ditewaskan, mungkin makamnya adalah Keramat Bandar di Gedongratu Tua yang disebut Segaya Ngadika Guru, dekat Tanjung Langit, pemukiman awal di tepi Way Pengubuan sebelah hilir kantor Dam Irigasi Way Pengubuan.
Oleh adik Gaya Mega nama Minak Beraja Niti, niat membangun Kampung Gedong Harta tetap dilanjutkan, Minak Beraja Niti dua kali bertapa di, “Takkit Sesudu wilayah Takkit Tabu Tegantung”. Bertapa pertama selama 44 hari. Bertapa kedua juga 44 hari akhirnya mendapat ramalan satu ucapan yang berbunyi “JUYYAH” untuk disebutkan sebagai amalan.
Kata Juyyah sebagai satu kata Minak hasil bertapa di Takkit Sesudu (Gunung Sesendok) diucapkan Minak Beraja Niti sambil menghadap hutan rimba Takkit Tebak, kemudian datanglah 77 ekor kerbau guna persiapan melaksanakan Gawi Adat Lampung sebagai pengesahan nama Gedong Harta menjadi suatu Anek dalam lingkungan Selagai Lingga.
Jam 16 sore mulai dilakukan pemotongan kerbau, keseluruhannya yang dipotong berjumlah 60 ekor namun yang tersa kerbau setelah dimakan oleh para Punyimbang Adat hanya 10 ekor kerbau saja, sedangkan yang lain tidak dapat dimakan karena telah terasa bermacam-macam rasa, tersisa 17 ekor dipelihara, kemudian secara Adat Lampung nama Gedong Harta disahkan oleh para Punyimbang Adat khususnya dalam Buay Selagai, dan umumnya dalam lingkungan Abung Sewo Megou menjadi suatu Anek sejajar dengan Anek Tanjung Ratu, Anek Negeri Katon dan Anek Negeri Agung sehingga Selagai terdiri dari empat Kampung Tua.
Di abad 19 nenek Suttan Bandar Negeri Katon (Mantan Kepala Kampung Negeri Katon 1989-1999) nama Hi. Maarif pernah berburu badak bertemu dengan Badak Cula Merah pengejaran sampai Kota Agung yang akhirnya Badak Cula Merah masuk lautan.
Selain itu 17 ekor kerbau milik Buay Ratu Sandaran Bumi ditambah 2 (dua) ekor kerbau milik Buay Sidang Penatu Tanjung Ratu dan 1 (satu) ekor lagi milik Buay Rio Sidang Penatih Negeri Agung, jumlah seluruhnya 20 ekor hilang dari hulu Way Pengubuan yaitu dari pemadangan, setelah dilakukan pengejaran ternyata telah berada di Wilayah Semong Kota Agung, yang hingga kini belum tertangkap.
Gaya Mega mencari kerbau yang akan dibeli ke Tanjung Ratu Belambangan, ketika sampai di Tanjung Ratu, ditunjukkan kerbau yang akan dijual pada suatu tempat di hutan, kemudian Gaya Mega ditewaskan, mungkin makamnya adalah Keramat Bandar di Gedongratu Tua yang disebut Segaya Ngadika Guru, dekat Tanjung Langit, pemukiman awal di tepi Way Pengubuan sebelah hilir kantor Dam Irigasi Way Pengubuan.
Oleh adik Gaya Mega nama Minak Beraja Niti, niat membangun Kampung Gedong Harta tetap dilanjutkan, Minak Beraja Niti dua kali bertapa di, “Takkit Sesudu wilayah Takkit Tabu Tegantung”. Bertapa pertama selama 44 hari. Bertapa kedua juga 44 hari akhirnya mendapat ramalan satu ucapan yang berbunyi “JUYYAH” untuk disebutkan sebagai amalan.
Kata Juyyah sebagai satu kata Minak hasil bertapa di Takkit Sesudu (Gunung Sesendok) diucapkan Minak Beraja Niti sambil menghadap hutan rimba Takkit Tebak, kemudian datanglah 77 ekor kerbau guna persiapan melaksanakan Gawi Adat Lampung sebagai pengesahan nama Gedong Harta menjadi suatu Anek dalam lingkungan Selagai Lingga.
Jam 16 sore mulai dilakukan pemotongan kerbau, keseluruhannya yang dipotong berjumlah 60 ekor namun yang tersa kerbau setelah dimakan oleh para Punyimbang Adat hanya 10 ekor kerbau saja, sedangkan yang lain tidak dapat dimakan karena telah terasa bermacam-macam rasa, tersisa 17 ekor dipelihara, kemudian secara Adat Lampung nama Gedong Harta disahkan oleh para Punyimbang Adat khususnya dalam Buay Selagai, dan umumnya dalam lingkungan Abung Sewo Megou menjadi suatu Anek sejajar dengan Anek Tanjung Ratu, Anek Negeri Katon dan Anek Negeri Agung sehingga Selagai terdiri dari empat Kampung Tua.
Di abad 19 nenek Suttan Bandar Negeri Katon (Mantan Kepala Kampung Negeri Katon 1989-1999) nama Hi. Maarif pernah berburu badak bertemu dengan Badak Cula Merah pengejaran sampai Kota Agung yang akhirnya Badak Cula Merah masuk lautan.
Selain itu 17 ekor kerbau milik Buay Ratu Sandaran Bumi ditambah 2 (dua) ekor kerbau milik Buay Sidang Penatu Tanjung Ratu dan 1 (satu) ekor lagi milik Buay Rio Sidang Penatih Negeri Agung, jumlah seluruhnya 20 ekor hilang dari hulu Way Pengubuan yaitu dari pemadangan, setelah dilakukan pengejaran ternyata telah berada di Wilayah Semong Kota Agung, yang hingga kini belum tertangkap.
Terkait Pubian Telu Suku
Selagai Lingga semula wilayahnya sampai ke Tanjung Kemala sebagai batas dengan Marga Anak Tuha, masuknya nenek moyang Pubian Telu Suku yaitu Tombou Pupus, Menyerakat dan Buku Jadi wilayah Pubian bermukim antara Marga Anak Tuha dan Marga Selagai Lingga secara adat sah terdiri dari Kampung Segala Mider, Negeri Kepayungan, Tanjung Kemala, Negeri Ratu, Gunung Aji dan Gunung Raya, hidup berdampingan telah sejak lama saling bahu membahu dengan Marga Anak Tuha dan Marga Selagai Lingga, yaitu bertempat di Way Seputih.
Dari keterangan Adam Glr. Suttan Juragan dan M. Nonya Glr. Suttan Turunan Segala Mider Kec. Pubian, bahwa Segala Mider dari Buay Tombou Pupus bernama Pemuka Menang, Negeri Kepayungan dari Buay Nyerakat, Tanjung Kemala dan Negeri Ratu dari Buay Pemuka Pati, Gunung Aji dari Buay Buku Jadi dan Gunung Raya dari Buay Nuat.
Tombou Pupus terdiri dari Pemuka Menang, Pemuka Pati. Pemuka Halom Bawok, dan Pemuka Salina serta Buay Nuat, dan Buay Nuat di Pubian pendatang, jelasnya Pubian Batin Telu Suku adalah pembentuk unsur enam Kampung di atas, nenek moyang asalnya juga dari Sekalou Berak pindah ke “Olok Giem Way Seputih”, kemudian pindah di aliran Way Seputih tepatnya yang disebut “Olok Napal” di Way Seputih, Segala Mider.
Disebut Olok Napal karena terdapat bekuan-bekuan tanah membentuk seperti batu membendung Way Seputih, di masa generasi Tuan Seburung Kumbang Pubian, dengan seorang Melayu memakai Rantai Besi terjadi adu kesaktian di atas napal yang membendung Way Seputih, akhirnya napal terpecah beberapa bagian tetap berada di tengah Way Seputih sebagai pemukiman awal nenek moyang Pubian Telu Suku, Makam Tn. Seburung Kumbang dan makam Rantai Besi ada di Segala Mider, bahkan Rantai Besi masih tersimpan di keturunannya nama Bahsan bin Sam, sedangkan di Negeri Kepayungan terdapat Makam Muli Pejurit dan Keramat Agung.
Di dalam sastra lisan Pubian Telu Suku disebutkan, bahwa “Sidang Belawan Anyar, Juragan Menang Pilih, Sebatin Duduk Bandar, Megung Cap Way Putih”, artinya Pemegang Cap/Stempel Way Putih (Seputih) sebagai satu sungai dalam riwayat mata airnya di hulu keluar dari kemaluan wanita yang telah menjadi batu.
Dari keterangan Adam Glr. Suttan Juragan dan M. Nonya Glr. Suttan Turunan Segala Mider Kec. Pubian, bahwa Segala Mider dari Buay Tombou Pupus bernama Pemuka Menang, Negeri Kepayungan dari Buay Nyerakat, Tanjung Kemala dan Negeri Ratu dari Buay Pemuka Pati, Gunung Aji dari Buay Buku Jadi dan Gunung Raya dari Buay Nuat.
Tombou Pupus terdiri dari Pemuka Menang, Pemuka Pati. Pemuka Halom Bawok, dan Pemuka Salina serta Buay Nuat, dan Buay Nuat di Pubian pendatang, jelasnya Pubian Batin Telu Suku adalah pembentuk unsur enam Kampung di atas, nenek moyang asalnya juga dari Sekalou Berak pindah ke “Olok Giem Way Seputih”, kemudian pindah di aliran Way Seputih tepatnya yang disebut “Olok Napal” di Way Seputih, Segala Mider.
Disebut Olok Napal karena terdapat bekuan-bekuan tanah membentuk seperti batu membendung Way Seputih, di masa generasi Tuan Seburung Kumbang Pubian, dengan seorang Melayu memakai Rantai Besi terjadi adu kesaktian di atas napal yang membendung Way Seputih, akhirnya napal terpecah beberapa bagian tetap berada di tengah Way Seputih sebagai pemukiman awal nenek moyang Pubian Telu Suku, Makam Tn. Seburung Kumbang dan makam Rantai Besi ada di Segala Mider, bahkan Rantai Besi masih tersimpan di keturunannya nama Bahsan bin Sam, sedangkan di Negeri Kepayungan terdapat Makam Muli Pejurit dan Keramat Agung.
Di dalam sastra lisan Pubian Telu Suku disebutkan, bahwa “Sidang Belawan Anyar, Juragan Menang Pilih, Sebatin Duduk Bandar, Megung Cap Way Putih”, artinya Pemegang Cap/Stempel Way Putih (Seputih) sebagai satu sungai dalam riwayat mata airnya di hulu keluar dari kemaluan wanita yang telah menjadi batu.
Kesimpulan
Selagai lingga berasal dari moyang Rangga Masang, apakah Rangga Masang di Abad 13-14 ataukah di abad Banten, yang Makamnya disebut Talang Keramat Tujuh wilayah Kantor Irigasi Way Pengubuan (Gcdongratu) beluM diketahui dan Keramat Tujuh terdiri dari Suttan Jimat Tuha, Makam Jebi, Rangga Masang, Minak Merajalela, Minak Mekecil, Budak Kecik Bujang Layaran dan Ngadiko Datuk, sedangkan Suttan Jumat Tuha; Minak Mekecil Makam Jebi adalah Paman Rangga Masang.
Masyarakat Selagai, Pubian, Anak Tuha, Beliyuk, Nunyai ataupun Subing dapat diduga pernah bermukim di aliran Way Pengubuan semasa nenek moyang yaitu pada wilayah kantor Irigasi Way Pengubuan dibuktikan adanya makam-makam nenek moyang di atas di samping ada pula Makam Minak Trio Deso maupun Makam Datu Di Puncak, dan masyarakat Selagai sering berziarah ke Makam tersebut khususnya Makam Talang Keramat (Keramat Tujuh). Namun walau demikian yang paling penting adalah terangkatnya kembali segala peninggalan nenek moyang khususnya di aliran Way Pengubuan (Ngubeu) karena mungkin kata Pengubuan adalah suatu tempat nenek moyang, "NGUBEU" berkumpul yaitu Abung Sewo Megou, Pubian Telu Suku bahkan di abad 17 dari Tulangbawang datang Ratu Sandaran Bumi sebagai moyang yang berjuang penuh mengatasi serangan Bugis di Selagai Lingga, kemudian keturunannya dengan dukungan tokoh-tokoh Tanjung Ratu, Negeri Katon, Negeri Agung berhasil mendirikan Anek Gedong Harta, sebagai sebuah nama yang kiranya perlu untuk dimaknai, sedangkan Negeri Katon terdiri dari Suku Bilik Gabon (Suttan Bandar), Bilik Bandar (Suttan Di Lambung Gunung), dan Bilik Lelok (Tn. Sidi Maruhum), Bilik Gabou perintis yang disebut Lingga Pura sekarang, Bilik Bandar perintis Marga Jaya, Gedong Aji dirintis oleh Gedong Harta.
Di Takkit Sesudu adanya Makam Minak Beraja Niti Buay Ratu Sandaran Bumi, sedangkan Buay Rangga Masang, Ngemula Jadi atau Lingga dari Gedong Raja Pekurun pindah di wilayah Keramat Beling di tepi Way Negeri Cahya cabang Way Pengubuan lebih kurang 1 Km di hulu Dam Way Pengubuan, kemudian pindah ke Kagungan Ratu Ogan Jaya, kemudian ke Takkit Tabu Tegantung yaitu Ombol Anak Tuha atau Balai Panjang milik Suku/Bilik Gabou Negeri Katon baru pindah ke Negeri Katon sekarang, disebut Keramat Beling karena pada sore hari jam 17 ke 18 batu-batu di Makam tersebut berkilap seperti beling kaca pemilik wilayahnya adalah nama Pi’ei Glr. Raja Jurai bin Sahak Negeri Katon.
Disebut Takkit Tabu Tegantung yaitu wilayah yang berdekatan dengan Gedong Harta Tua karena lokasi di hilir jembatan lama ada disebut Jung Batu. Jung Batu bertali (Wail) naik ke Gunung kecil di atas gunung ada Batu Bulat juga diikat tali (Wait) laksanakan buah Maja (Tabu) Tegantung, selanjutnya dari Takkit Tabu Tegantung ke Keramat Beling dan ke Gunung Dempo di masa lalu ada Rusa berbulu hitam dan berbulu emas dalam riwayat perjalanan Rusa emas menjadikan wilayah Selagai, mempunyai tambang emas, namun kebenarannya belum diketahui dan oleh karenanya disebut Gedong Harta sebagai Kampung akhir dalam Selagai Lingga Kabupaten Lampung Tengah di Gunung Sugih.
Masyarakat Selagai, Pubian, Anak Tuha, Beliyuk, Nunyai ataupun Subing dapat diduga pernah bermukim di aliran Way Pengubuan semasa nenek moyang yaitu pada wilayah kantor Irigasi Way Pengubuan dibuktikan adanya makam-makam nenek moyang di atas di samping ada pula Makam Minak Trio Deso maupun Makam Datu Di Puncak, dan masyarakat Selagai sering berziarah ke Makam tersebut khususnya Makam Talang Keramat (Keramat Tujuh). Namun walau demikian yang paling penting adalah terangkatnya kembali segala peninggalan nenek moyang khususnya di aliran Way Pengubuan (Ngubeu) karena mungkin kata Pengubuan adalah suatu tempat nenek moyang, "NGUBEU" berkumpul yaitu Abung Sewo Megou, Pubian Telu Suku bahkan di abad 17 dari Tulangbawang datang Ratu Sandaran Bumi sebagai moyang yang berjuang penuh mengatasi serangan Bugis di Selagai Lingga, kemudian keturunannya dengan dukungan tokoh-tokoh Tanjung Ratu, Negeri Katon, Negeri Agung berhasil mendirikan Anek Gedong Harta, sebagai sebuah nama yang kiranya perlu untuk dimaknai, sedangkan Negeri Katon terdiri dari Suku Bilik Gabon (Suttan Bandar), Bilik Bandar (Suttan Di Lambung Gunung), dan Bilik Lelok (Tn. Sidi Maruhum), Bilik Gabou perintis yang disebut Lingga Pura sekarang, Bilik Bandar perintis Marga Jaya, Gedong Aji dirintis oleh Gedong Harta.
Di Takkit Sesudu adanya Makam Minak Beraja Niti Buay Ratu Sandaran Bumi, sedangkan Buay Rangga Masang, Ngemula Jadi atau Lingga dari Gedong Raja Pekurun pindah di wilayah Keramat Beling di tepi Way Negeri Cahya cabang Way Pengubuan lebih kurang 1 Km di hulu Dam Way Pengubuan, kemudian pindah ke Kagungan Ratu Ogan Jaya, kemudian ke Takkit Tabu Tegantung yaitu Ombol Anak Tuha atau Balai Panjang milik Suku/Bilik Gabou Negeri Katon baru pindah ke Negeri Katon sekarang, disebut Keramat Beling karena pada sore hari jam 17 ke 18 batu-batu di Makam tersebut berkilap seperti beling kaca pemilik wilayahnya adalah nama Pi’ei Glr. Raja Jurai bin Sahak Negeri Katon.
Disebut Takkit Tabu Tegantung yaitu wilayah yang berdekatan dengan Gedong Harta Tua karena lokasi di hilir jembatan lama ada disebut Jung Batu. Jung Batu bertali (Wail) naik ke Gunung kecil di atas gunung ada Batu Bulat juga diikat tali (Wait) laksanakan buah Maja (Tabu) Tegantung, selanjutnya dari Takkit Tabu Tegantung ke Keramat Beling dan ke Gunung Dempo di masa lalu ada Rusa berbulu hitam dan berbulu emas dalam riwayat perjalanan Rusa emas menjadikan wilayah Selagai, mempunyai tambang emas, namun kebenarannya belum diketahui dan oleh karenanya disebut Gedong Harta sebagai Kampung akhir dalam Selagai Lingga Kabupaten Lampung Tengah di Gunung Sugih.
Penutup
Selagai Lingga terdiri dari Kampung Lama Tanjung Ratu, Negeri Katon, Negeri Agung dan Gedong Harta dalam adat Abung sembilan Marga, Pubian Telu Suku, merasa perlu mengungkapkan riwayat singkat Selagai Lingga yang oleh Pemerintah telah dibangun lebih kurang tahun 1978 satu Dam Irigasi yaitu Dam Irigasi Way Pengubuan, hendaknya kedepan Dam Irigasi Way Pengubuan tidak hanya berfungsi mengairi lahan pertanian yang meningkatkan pendapatan Petani di hilir tapi rnasyarakat Selagai Lingga khususnya Negeri Katon menginginkan Dam Irigasi Way Pengubuan dapat dijadikan objek wisata yang mampu mendatangkan nilai tambah pendapatan Kampung-kampung di Kecamatan Selagai Lingga terkhusus Negeri Katon.
39 komentar:
dasarnya penulis apa ?
Dasar penulisan berdasarkan cerita turun-temurun. Sangat wajar bila terjadi banyak versi. Terima kasih atas tanggapannya.
terimakasih atas tulisan-tulisan yang bermanfaat bagi pelestarian budaya lampung terutama mengenai sejarah dan asal usul ulun lampung, pada kesempatan ini saya mohon informasi seandainya ada saudara-saudara saya yang memiliki riwayat mengenai keberadaan Buay Teregak, wassalam.
Terima Kasih atas sebagian infonya..
Saya asli keturunan orang lampung dari Tiyuh Pubian Tuha LamTeng..
Tp pengetahuan saya ttg Lampung msh sangat tebatas bahkan bs dikatakan blm mengerti sepenuhnya,, jd Saya sangat ingin sekali mengetahui serta mempelajari riwayat/sejarah Ulun Lampung,,
Saya berharap dan terus mendukung admin dari blog ini dan jg dr semua pihak2 lainnya yg sangat mencintai Lampung untuk terus berbagi pengetahuannya ttg sejarah Lampung,, jgn sampai sejarah Lampung kita hilang..
dari: adhyatma semana pubian
email: poebian_182@yahoo.co.id
Terima Kasih atas sebagian infonya..
Saya asli keturunan orang lampung dari Tiyuh Pubian Tuha LamTeng..
Tp pengetahuan saya ttg Lampung msh sangat tebatas bahkan bs dikatakan blm mengerti sepenuhnya,, jd Saya sangat ingin sekali mengetahui serta mempelajari riwayat/sejarah Ulun Lampung,,
Saya berharap dan terus mendukung admin dari blog ini dan jg dr semua pihak2 lainnya yg sangat mencintai Lampung untuk terus berbagi pengetahuannya ttg sejarah Lampung,, jgn sampai sejarah Lampung kita hilang..
dari: adhyatma semana pubian
email: poebian_182@yahoo.co.id
Terimakasih, semoga kekayaan adat dan budaya Lampung lebih banyak lagi yang bisa diungkap.
Saya Asli Putra Lampung Tengah Pubian Tiyuh Tuha, Tanjung Kemala- Negeri Ratu (Pemuka Pati). Saya dari Keluarga Rulung Gedung Batin, Pengetahuan saya tentang Sejarah Sesepuh/tokoh adat dari Silsilah Kebuaiyan Rulung Gedung Batin-Pemuka Pati dari mana dan di mana Letak Keberadaan Makam/Keramat dari Tua-tua raja Rulung Gedung Batin itu sendiri. Terima Kasih.
Terimakasih dan mohon maaf kepada D-yon Alpa. Karena berbagai keterbatasan, hingga sekarang kami belum sempat mengeksplor sejarah dan peninggalan-peninggalan Pubian. Semoga di masa-masa mendatang ada kesempatan.
ASS.WR WB mohon maaf cuna pingin mengetahui sejarah adat lampung marga selagai .saya sali marga selagai yang berada di lampung timur .dan sekarang banyak sekali perebutan kedudukan yang paling tuha sedangkan mereka mengatakan bahwa marga selagai ada delapan sodara empat sodara di di selagay lingga
dan empat sodara berada di lampung timur teppat nya di desa
1 gedung wani {yang paling tua}
2 negri katon
3 di desa nyampir ini ada dua sodara yang satu selagai buay randaw dan yang satu selagai buay liyeh
mohon kebenaran nya karena kami sangat butuh imformasi nya kalwa bapak mengetahui nya terima kasih
Cerita yang sangat bagus, walaupun saya belum baca semuanya namun saya simpulkan kalau artikelnya sangat bagus sekali.
Masukkan komentar Anda...saya ucapkan bnyak trima kasih atas info dan atas smua yang sdah di tetap kan diatas,dri smua yg sy baca setidak nya saya tau asal usul nenek moyang kami dan asal usul kmpung saya gedong harta.
Buay tergak ada dua yg pertama datang di marga anak tuha adalah ratu buay tergak kampung negara aji baru kec anak tuha...itu yg termasuk didalam pepadun pertama wai seputih...atau pepadun waleu posisi buay tergak di sesat pepadun waleu di sako tuho...setelah itu menyusul st pukuk(Buay tergak yg ke2)yg datang/nyusul ke marga anak tuha di negara aaji tuha.jadi jeng tuho adat pepadun di marga anak tuha pertama menjadi 13.....itulah sekelumit tetang buay tergak yang ada di anak tuha....lebih jelasnya silahkan datang ke kampung haduyangratu Kec padangratu marga anak tuha..
Buay tergak ada dua yg pertama datang di marga anak tuha adalah ratu buay tergak kampung negara aji baru kec anak tuha...itu yg termasuk didalam pepadun pertama wai seputih...atau pepadun waleu posisi buay tergak di sesat pepadun waleu di sako tuho...setelah itu menyusul st pukuk(Buay tergak yg ke2)yg datang/nyusul ke marga anak tuha di negara aaji tuha.jadi jeng tuho adat pepadun di marga anak tuha pertama menjadi 13.....itulah sekelumit tetang buay tergak yang ada di anak tuha....lebih jelasnya silahkan datang ke kampung haduyangratu Kec padangratu marga anak tuha..
Di way lima pesawaran dan limau cukuhbalak ada Buay Khandau (Randaw) yang masuk Marga (Bandakh) Limau. Nama kampungnya yaitu KURIPAN & BANJAR NEGERI.
Untuk Buay Liyoh (Liyeh) itu ada di Padang Cermin Ratai Pesawaran dan Marga Ratu Kalianda (mengikut keturunan Ratu Darah Putih).
Dalam tambo waylima tersebut nama SELAGAI sebagai salah satu dari 12 putra putri UMPU KESAKTIAN (RATU KUALA SAKHA) bin SANGHYANG SAKTI NYATA.
Keduabelas putra putri tersebut :
Dari istri pertama (Ranau) :
1. TUNGAU
Dari istri kedua (Teratas, Negeri Kuala Sakha) :
1. BABOK
2. KHANDAU
3. HALOM
4. SELAGAI
5. SEKHA
6. JAHIK
7. CUMBU
8. KHASAU
9. KHUKHING
10. BAMBAN
11. LIYOH
Tabik, salam kemuakhian...
itu semua gk ada yg akurat...itu adek nya bro..
Kok keratun pemanggilan gk ada ya, setau saya salah satu empat keratun itu termasuk d dalam nya keratun pemanggilan itu yg menutun kan buay aji dll
Dan setau saya keratun pugung itu satu krn ratu darah putih itu yg jurai dr keratun pugung
maaf pesawik suttan itu dari mana ? saya org beliuk
maaf pesawik suttan itu dari mana ? saya org beliuk
Buay teregak hidup berdsmpingan dengan pubian... Salah satu ya di bandar lampung. Buay teregak hidup berdampingan dengan buay nuat marga balau
Buay teregak tidak termasuk dalam abung siwo migo. Tp buay teregak, termasuk klain atau suku abung.. .. Pubian dan abung tidak bisa di pisahkan, dimana ada pubian di situ ada abung. Dan sebalik ya
Assalamualaikum..Terima kasih cerita nya sbb saya jg asal dari Lampung Utara..tepat nya di Sungkai Pakuwon agung.. dari cerita di atas memang ada yg benar tetapi ini berdasar kan pengetahuan ilmiah.atau cerita. Sedangkan saya masih punya dokumen dari thn 1818 dan 1922 Hindia Belanda..
Mana yai dokumen itu, dan isinya apa?
Tabik pun puakhi, ikam asli turunan anjak pubian segala mider lampung tengah, buay pemuka menang. Anyin pengetahuan tentang asal muasal keturunan mak unyin ikam pandai, semoga dapok menjadi tambahan ilmu guay seunyin ni...
Pengatu lamon ngedok tambahan
tentang buay pemuka menang...
*SEJARAH BERMUKIMNYA ANAK ABUNG SIWO MIGO DI BANDAR LAMPUNG DAN LAMPUNG SELATAN*
Sejarah singkat masyarakat Abung Siwo Migo di Bandar Lampung & Lampung Selatan yang disampaikan secara lisan yang rahasia turun temurun.
Seperti diketahui bahwa antara Banten dan Lampung ada perjanjian pertahanan bahwa " Kalau Lampung di serang maka banten didepan, dan kalau Banten di serang maka Lampung didepan".
Ketika terjadi perang Banten dengan Belanda pada tahun 1875 - 1880 maka semua kebuaian Lampung mengirimkan balatentaranya Ke Banten.
Untuk masyarakat Pubiyan Telu Suku gelombang terakhir sudah menyeberang laut ke Banten dan perjalanan sudah sampai Anyer yang terhenti di sana karena Belanda sudah memenangkan perang. Sampai saat ini dapat ditemui di Kampung Cikoneng - Anyer. Mereka adalah Masyarakat Pubiyan dari Buai Kuning dan beberapa kebuaian lain.
Pengiriman Balatentara Lampung dilakukan secara periodik dan bergelombang. Masyarakat Abung gelombang terakhir terhenti di Bandar Lampung & Lampung Selatan (Natar). Sehubungan dengan sampainya kabar bahwa Banten sudah dikalahkan oleh Belanda, maka perjalanan Balatentara masyarakat Abung Siwo Migo terhenti di Bandar Lampung dan bermukim dengan mendirikan anek/desa Jagabaya, Labuhanratu, Langkapura, Gedungmeneng, Rajabasa, Gunung Agung , Muaraputih .
Pertempuran dengan Belanda di Tanjungkarang, Kedaton dan Natar tetap berlangsung antara Balatentara Masyarakat Abung dengan Belanda secara Griliya. Dilanjutkan sampai generasi ke dua. Sebagai salah satu contoh untuk generasi ke dua di Labuhanratu yang masih melanjutkan pertempuran dengan Belanda adalah Rajo Ali Wiro bin Ratu Punyanggo Alam (buyut penulis) dan Rajo Singa Melintang antara tahun 1900 sampai 1925.
Kejadian tersebut diatas dapat diterangkan juga dari tulisan tentang perang banten pada website : http://warofweekly.blogspot.co.id/2010/09/perang-banten.html?m=1
Kekejaman dan kebiadaban yang dilakukan oleh pasukan Belanda tidak menyebabkan matinya ruhul jihad (semangat berjuang) untuk melawan setiap bentuk kezaliman dan ketidak-adilan yang dilakukan oleh penjajah Belanda. Di bawah pimpinan Pangeran Ahmad kekuatan perlawanan rakyat disusun kembali dan kali ini bukan hanya rakyat Banten tetapi juga dengan mengikut sertakan rakyat Lampung. Potensi rakyat besar yang disertai dengan tekad mati syahid di medan pertempurann perlawanan rakyat Banten-Lampung ini sulit untuk dapat ditumpas oleh Belanda. Berulang kali pasukan militer Belanda yang dikirimkan dari Batavia untuk menghadapi perlawanan rakyat Banten-Lampung di bawah pimpinan Pangeran Ahmad senantiasa kandas dan gagal.
Perlawanan rakyat Banten-Lampung tambah seru, setelah H.W. Daendels membuka proyek jalan raya dari Anyer sampai Panarukan yang Panjangnya kurang lebih 1000 km, dengan tenaga kerja rodi. Para pekerja yang terdiri dari antara lain rakyat Banten dalam proyek jalan raya Anyer-Panarukan itu, tak ubahnya bagaikan budak belian yang pernah dijumpai dalam zaman Romawi kuno. Perlakuan kejam dan sadis oleh pasukan Belanda ini, yang memperpanjang proses perlawanan rakyat Banten-Lampung. Walau akhirnya, perlawanan Pangeran Ahmad dengan rakyatnya bisa ditumpas oleh Belanda. ( http://warofweekly.blogspot.co.id/2010/09/perang-banten.html?m=1)
*Ditulis oleh Kolonel Kes dr. Sukardiansyah, MKes, SpKJ / Suttan Penegak Bumei (generasi ke 5)*
https://ubala.kemahasiswaan.itb.ac.id/2019/02/16/abung-siwo-migo/
Abung Siwo Migo
Posted by, ubalaitb on February 16, 2019
Lampung Secara Umum Terbagi Menjadi Dua Kelompok Adat Besar Yakni Lampung Beradat Pepadun dan Lampung Beradat Pesisir. Perbedaan Kedua Kelompok Adat Tersebut Seperti Yang Kita Ketahui Disemua Literatur Yang Ada, Kelompok Masyarakat Lampung Yang Beradat Pepadun Dikenal Lebih Demokratis, Dikatakan Demokratis Karena Dalam Proses Pelaksanaan Adat Khususnya Gelar Suttan (Penyimbang) Dapat Dilakukan Oleh Siapapun Sesuai Dengan Ketentuan Adat Pepadun Yang Berlaku, Bahkan Suku Lain (Jawa, Sunda dll) Pun Dapat Melakukannya Dengan Syarat Diangkat Terlebih Dahulu Melalui Adat Muwaghi Dengan Ulun Lampung Itu Sendiri.

Lampung Pepadun Didalam Masyarakatnya Terbagi Lagi Kedalam Lima Kelompok Masyarakat Adat. Kelima Kelompok Masyarakat Adat Tersebut Diantaranya Ialah Kelompok Masyarakat Abung Siwo Migo, Kelompok Masyarakat Megow Pak, Kelompok Masyarakat Pubian Telu Suku, Kelompok Masyarakat Sungkai Bunga Mayang dan Kelompok Masyarakat Way Kanan Kebuayan Lima.
Abung Siwo Migo Adalah Kelompok Masyarakat Adat Terbesar di Lampung. Abung Adalah Sebuah Nama Kelompok Masyarakat, Sedangkan Siwo Berarti Sembilan dan Migo Memiliki Arti Marga. Dikatakan Terbesar Disini Dikarenakan Kelompok Masyarakat Tersebut Memiliki Masyarakat, Wilayah, Yang Besar Pula. Abung Siwo Migo Sendiri Memiliki Sembilan Kelompok Masyarakat Adat Yang Tergolong Kedalam Buay (Marga). Kesembilan Marga Tersebut Ialah Marga Nunyai, Marga Unyi, Marga Subing, Marga Nuban, Marga Beliuk, Marga Nyerupo, Marga Selagai, Marga Kunang dan Marga Anek Tuho. Kesembilan Marga Yang Berhimpun Kedalam Abung Siwo Migo Tersebut Adalah Satu Keluarga Besar Baik Sekandung Maupun Saudara Angkat (Muwaghi).
Dimasing-masing Kesembilan Marga Dalam Kelompok Abung Siwo Migo Tersebut Memiliki Pesan Yang Disetiap Gelaran Adat Begawi Dicanangkan. Pesan Tersebut Dikenal Dengan Istilah Panggeh.
Panggeh Atau Dengan Kata Lain Pesan Tersebut Dibuat Oleh Masing-masing Kebuayan Sejak Zaman Dahulu Kala Hingga Saat Ini Tetap Eksis Sebagai Bukti dan Gambaran Jati Diri Marga Masing-Masing, Juga Sebagai Tanda Kehormatan.
Panggeh Dimaksud Adalah Sebagai Berikut :
1. MARGA NUNYAI
Dari sembilan Marga Abung, Buay Nunyai merupakan pemimpin, karena paling tua, selain itu tanda mereka adalah serba kecukupan.
“Ngemulan batin sebuay nunyai,Mergo siwo tanjar semapew, Akkun begawei nguppulken sumbay, Serbo cukup tandono liyeuw”.
Artinya,
“Keturunan pemimpin si buay nunyai, Sembilan marga sejajar berdampingan, Setiap pesta adat mengumpulkan saudara, Serba kecukupan dalam hidupnya”.
Nama-nama kampung yang masuk dalam wilayah adat Marga Nunyai yakni :
1. Kampung Kota Alam;
2. Kampung Blambangan;
3. Kampung Bumi Abung Marga;
4. Kampung Surakarta;
5. Kampung Bandar Abung;
6. Kampung Mulang Maya;
7. Kampung Gedung Nyapah;
8. Kampung Pungguk Lama;
9. Kampung Penagan Ratu;
10. Kampung Negeri Kegelungan;
11. Kampung Labuhan Dalem;
12. Kampung Banjar Abung;
13. Kampung Kotabumi Ilir;
14. Kampung Kotabumi Tengah;
15. Kampung Kotabumi Udik;
16. Kampung Bumi Nabung Way Abung;
17. Kampung Bumi Nabung Way Seputih;
18. Kampung Bumi Nabung Cappang;
19. Kampung Cahaya Negeri.
2. MARGA UNYI
Marga Buay Unyi Senang Menolong dan Berbagi Satu Sama Lain.
“Tuladan buay unyi,Gayo ngemulan sako, Mak ngemik anying ngenei,Mulo jejamo mako”.
Artinya,
“Buay unyi menjadi teladan, Sejak dahulu berkecukupan, Tidak punya tapi memberi, Sehingga senang bersama-sama”.
Nama-nama kampung yang masuk dalam wilayah adat Marga Unyi yakni :
1. Kampung Gunung Sugih Way Seputih;
2. Kampung Gunung Sugih Baru;
3. Kampung Surobayo Ilir;
4. Kampung Surobayo Udik;
5. Kampung Buyut Ilir;
6. Kampung Buyut Udik;
7. Kampung Rantau Jaya;
8. Kampung Teluk Dalem Way Seputih;
9. Kampung Rantau Jaya;
10.Kampung Sukadana.
3. MARGA SUBING
3. MARGA SUBING
Marga Subing Sejak Dahulu Sudah Kaya dan Setiap Pesta Adat Selalu Menyandang Tiga Keris. Biasanya Dua Keris Tapi Karena Berhasil Menang Melawan Bajak Laut/Bajau Saat Itu, Keris Bajak Laut Dirampasnya.
“Cemeccek batin layin wat appay,Liwakno ho sangun kak mappeu,Akkun begawey nguppulken sumbay,Selek tigo tandono liyeu”.
Artinya,
“Sejak dahulu berjiwa kepemimpian, Sejak dulu sudah kaya, Setiap pesta adat mengumpulkan saudara, Menyandang tiga keris”.
Nama-nama kampung yang masuk dalam wilayah adat Marga Subing yakni :
1. Kampung Terbanggi Besar;
2. Kampung Terbanggi Ilir;
3. Kampung Terbanggi Labuhan;
4. Kampung Terbanggi Marga;
5. Kampung Terbanggi Agung;
6. Kampung Terbanggi Subing;
7. Kampung Metaram Tua;
8. Kampung Metara Ilir;
9. Kampung Metaram Baru;
10. Kampung Metaram Marga;
11. Kampung Lempuyang Bandar;
12. Kampung Rajo Baso Batang Hari;
13. Kampung Rajo Baso Lamo;
14. Kampung Rajo Baso Baru;
15. Kampung Labuhan Ratu Megeraw;
16. Kampung Jepara Panet;
17. Kampung Indra Subing;
18. Kampung Semangka Kota Agung.
4. MARGA NUBAN
Marga Nuban Adalah Anak Perempuan.
“Buay nuban sejaro timbay,Anjak dijaman sang bimo ratu,Wateu bebagei sikam pak mubai,Nuwak tano semapeu tungguw”.
Artinya,
“Buay nuban sejaro dulu, Dari jaman sang bimo tunggal, Waktu berbagi kami empat perempuan, Hingga sekarang menunggu berdampingan”.
Nama-nama kampung yang masuk dalam wilayah adat Marga Nuban yakni :
1. Kampung Bumi Jawo;
2. Kampung Bumi Tinggi;
3. Kampung Bumi Ratu;
4. Kampung Kampung Gunung Tigo;
5. Kampung Lihan;
6. Kampung Gedung Dalem;
7. Kampung Suraja Nuban.
5. MARGA BELIYUK
Empat Puluh / Pak Likur (40) Dau Adat Dari Ngejuk Ngakuk Marga Beliyuk Setelah Berselisih Dengan Marga Nunyai.
“Anak kudo kecacah awas, Sebidang ruang semapeu tungguw, Akun begawei lagi digilas, Pak likur daw tandono liyeuw”.
Artinya,
“Anak kuda awas kesohor, Sebidang ruang menunggu berdampingan, waktu pesta adat, Harta berlebih”.
Nama-nama kampung yang masuk dalam wilayah adat Marga Beliuk yakni:
1. Kampung Bandar Putih;
2. Kampung Tanjung Ratu;
3. Kampung Gedung Ratu;
4. Kampung Negeri Nabun;
5. Kampung Negeri Nabun;
6. Kampung Negeri Jematen;
7. Kampung Negeri Tua.
6. MARGA NYERUPO
Marga Nyerupo Yang Sebelumnya Kedudukannya Diisi Oleh Marga Bulan, Namun Setelah Terjadi Perselisihan di zaman Belanda Kedudukan Marga Bulan Digantikan Oleh Marga Nyerupo, Kemudian Marga Bulan Masuk Kedalam Kesatuan Adat Megow Pak.
“Gajah ingai sekappung, Nyepurung sapu jagad, Nyeberang suwo nginum, Mak neteng kanan kiri”.
Artinya,
“Gajah ingai sekampung, Memutar sapu jagat, Nyeberang sekalian minum, Tidak melihat kanan kiri”.
Nama-nama kampung yang masuk dalam wilayah adat Marga Nyerupo yakni :
1. Kampung Komering Putih;
2. Kampung Komering Agung;
3. Kampung Fajar Bulan.
7. MARGA SELAGAI
7. MARGA SELAGAI
Marga Selagai Pergi Terlebih Dahulu Ke Banten dan Mendapatkan Gelar Pangeran/Adipati.
“Kimas sako ngeberan, Lem abung siwo migo, Baten lagi rusuan, Yo sangun meno sibo”.
Artinya,
“Pemimpin dulu pangeran, Dalam abung siwo migo, Banten dan rasuan, Dia memang selalu duluan”.
Nama-nama kampung yang masuk dalam wilayah adat Marga Selagai yakni :
1. Kampung Pekurun;
2. Kampung Negeri Agung;
3. Kampung Tanjung Ratu Selagai;
4. Kampung Gedung Nyapah Selagai;
5. Kampung Negeri Katun;
6. Kampung Gedung Wani;
7. Kampung Nyappir;
8. Kampung Gedung Gematti.
8. MARGA KUNANG
Sewaktu Marga Nunyai Turun Dari Cuguk Gatcak Ke Way Abung/Rarem Mereka Sudah Menjumpai Marga Kunang Yang Telah Bermukim Disekitaran Bujung Penagan.
“Buay kunang nyahajo,Jak aji pemanggilan,Dilem pengawo siwo, Bumei meno pesayan”.
Artinya,
“Buay kunang bersahaja, Dari aji pemanggilan, Dalam marga sembilan, duluan sendiri”.
Nama-nama kampung yang masuk dalam wilayah adat Marga Kunang yakni :
1. Kampung Aji Kagungan;
2. Kampung Pager;
3. Kampung Tanjung Kemalo;
4. Kampung Negaro Ratu Natar;
5. Kampung Negaro Ratu Masgar;
6. Kampung Labuhan Ratu Tanjung Karang.
9. MARGA ANAK TUHO
Kerabat Marga Aji, Marga Anak Tuho Yang Terlebih Dahulu Turun Dari Skala Brak.
“Anak aji simeno, Turun jak tali kiang, Sijo saitemen yo, Ngadiken siwo ruang “.
Artinya,
“Anak aji yg duluan, Turun dari tali kiang, Ini yang sebenarnya, Mengadakan sembilan ruang”.
Nama-nama kampung yang masuk dalam wilayah adat Marga Anak Tuho yakni :
1. Kampung Padang Ratu;
2. Kampung Haduyang Ratu;
3. Kampung Kuripan;
4. Kampung Tanjung Harapan;
5. Kampung Negaro Bumi Udik
6. Kampung Negaro Aji Tuho;
7. Kampung Negaro Bumi Ilir;
8. Kampung Bumi Aji;
9. Kampung Aji Pemanggilan.
Sumber Gambar: http://www.katarosim.net/2016/12/abung-siwo-migo-sembilan-kakak-beradek.html
Sumber:
http://www.katarosim.net/2016/12/abung-siwo-migo-sembilan-kakak-beradek.htm
Barnawi, Erizal. 2013. Penelitian Erizal Barnawi Talo Balak Dalam Upacara Adat Begawei Mupadun Mewaghei Bumei. Kota Alam Lampung Utara.
Alhamdulillah berkat penjelasan puarei anjak Kec. Padangratu saya jadi faham asal usul kami buwai Teregak di Kelurahan Labuhanratu- Bandar Lampung bahwa kami berasal dari kebuwaian Migo Anak Tuho. Shg jelas riwayat Abung siwo migo yg ada di bandar Lampung dan Lampung Selatan adalah abung siwo migo yg berangkat ke Banten sekitar thn 1.800-an utk membantu banten perang melawan belanda. Namun ketika sampai sebelum Tanjungkarang Banten sdh dikalahkan oleh Belanda shg stop dan bermukim di wilayah Lampung Pubiyan buai Nuwat Kedaton dg kekuatan 7 penyimbang dengan anak buahnya dg menamai Desanya Labuhanratu. Sedangkan Abung Siwo yg lain menamakan desanya Jagabaya, Langkapura, Gedong meneng, Raja basa, Muara putih, Negara ratu, dan 2 lagi.
Assalamualaikum wr. Wb. Tabik senabik tabik kehadepan waghei tanjaran seunyenno.., kami masih menyimpan bukti dan tulisan dari Alm. Achmad sanoesi glr. Pn. Puseran Agung, Pengetuho Agung Anak Abung siwo migo Lampung Selatan dan Bandar Lampung, bahwa masyarakat Buay Teregak / Turgak di kampung Labuhanratu berasal dari Way Turgak didaerah Kota Agung timur Atau Semaka, kemudian pada akhir abad 18 pindah ke ke wilayah Tegineneng dan mendirikan Kampung Pulau Dewa / Pulau iwo di aliran way sekampung kurang lebih 3 Km setelah kampung Khulung helok sedangkan tanah pertaniannya di daerah Leburu, kepindahan masyarakat Buay Turgak ke way sekampung adalah memperkuat alur perdagangan Kesultanan Banten di wilayah Sekampung, pada waktu Hindia Belanda diserahkan kepada Kerajaan Belanda tahun 1813 berdasarkan perundingan Wina, Lampung secara resmi dibawah kekuasaan Belanda termasuk wilayah Lampung, kekuatan Kesultanan Banten di hancurkan oleh Belanda hampir diseluruh wilayah Lampung, termasuk didalamnya Pulau Iwo kampung masyarakat buay teregak yg sekarang berada di Labuhanratu, pada tahun 1847 Dalom Sangoen Ratoe di Semaka atau kakak dari Radja Sangoen Ratoe pemimpin Pulau Iwo ditangkap dan ditawan Belanda sedangkan Pulau Iwo sendiri diberangus dan dibakar, hal tersebut di picu kekesalan yang Belanda dalam menangkap Dalom Mangku Negara bin Batin Mangunang dari Buay Benyata, karena Teregak dan Menyata adalah kebuayan yang beradik kakak, kelanjutan dari peristiwa itu pada saat menjelang Lampung Oorlog (Perang Lampung II) Tahun 1856 seluruh masyarakat Lampung yang memiliki hubungan kekerabatan dan simpati atas perlawanan Raden Intan II bergerak menuju kearah selatan yang terdiri dari Masyarakat dari anak Abung maupun Pubian guna menghadapi serangan Belanda di Kalianda, Lampung oorlog berakhir setelah wafatnya Raden Intan II pada bulan Oktober 1856, sebagian masyarakat pubian maupun abung tidak kembali ke wilayahnya lagi dan mendirikan kampung2 di wilayah selatan, termasuk masyarakat Buay Teregak Labuhanratu, sebelum mendirikan / Ngebatten Aneg Labuhanratu pada tahun 1876
Masyarakat buay Teregak ini menyebar dan mendirikan dusun2 kecil yang disebut Panaragan samas, padang ratu, bumi retto, bumi teliyu. Baru pada Tahun 1876 Pengiran Enem Migo bersama dengan Pengiran Balak mengumpulkan seluruh kebuayan Teregak yg berada di Lampung selatan dan mendirikan Kampung Labuhanratu sampai saat ini. Namun Kampung Labuhanratu secara resmi menjadi kampung administrasi pada tahun 1885, atau 3 tahun setelah letusan Gunung Merapi.
Panggeh Kebuayan Teregak Labuhanratu :
AJIN KEMALO BULAN
DIRINDEU MATOAREI
GATCAK GUNUNG BARISAN
KENAHAN JAK BETAWEI
Sedangkan panggeh Kampung :
GEMETTUR BASO SAKO
GAJAH DILEM PAK SUMBAY
YO MENO TANJAK MIGO
MAK NIBAI DIBIDANG BUAY
Tabik ini sekelumit gambaran sejarah yang saya rangkum, kiranya ada kekurangan dan kesalahan kepada Allah SWT ampun dan kepada waghi tanjaran sikam kilui mahap puun...
sumber :
1. A. Sanoesi PPA, Seluk Beluk Adat Masyarakat Abung dan Pubian didaerah Lampung Selatan, Tanjoengkarang.1975
2. M. Yusuf Pn. Yo sai Ratu, Asal Usul Labuhanratu, tidak diterbitkan. 1981.
3. P.N. Van Kampen, Aardrijkuindig En Statistich Woordenboek II Van Nederlands Indie, Amsterdam. 1863.
4. D.W.R Van Hoevell, Tijdschrift Voor Nederlandsch Indie 18 de Jargaang, tidak diterbitkan. 1856.
5.P. Bleeker dan J. Munnich en E. Netcher, Tijdschrift Bataviaasch Geenotschap Van Kunsten En Wetenschappen, tidak diterbitkan. 1855.
6. etc
Ratu pemanggilan mana ??
Selagai ada 14 keturunan yang kesemuanya sebagian besar tersebar di berbagai daerah lampung, disini kita jangan pernah berkata mencari yang paling tua atau yang muda, tetapi kita mencari saudara yang sedarah dahulu dengan kita sesama buai selagai, karena pada dasarnya yang berada pada kampung buai selagai belum tentu dia berdarah langsung buai selagai, jadi saya sangat sepakat kepada Anda untuk mencari kebenaran dari anak keturunan buai selagai, kebuayan selagai ada 14 kebuaian
Kami ucapkan Terima kasih kepada penulis, tetapi kami hanya memberi saran kepada penulis alangkah baiknya sebelum dipublikasi seluruh tulisan ataupun cerita diteliti lebih detail lagi, karena tulisan ini dibaca oleh banyak pihak pengguna media sosial, kami anak keturunan buai selagai mengetahui kampung dari jurai linggo itu hanya Tanjung Ratu, Negeri Agung yang kesemuanya kampung tuanya sudah berada di dalam bendungan way rarem saling berdekatan dengan yang lain (pekurun, gedong komering)
Dan untuk saudara kami yang ada di gedong wani (Bussuk) bahwa kita perlu meluruskan perjalanan seba itu dimulai dari guruh gedung di Way Rarem, yang setau kami beliau itu bernama kiyay PENGAJARAN, Dari buai bussuk ini memang yang di utus oleh kebuayan selagai berangkat ke banten untuk perkenalan dengan Kesultanan Banten pada waktu itu.
Salam kenal dg saudara kami dari pesawaran, kami ucapkan Terima kasih sudah diberi penjelasan, memang kami buay Selagai ada beberapa yang berada di pesisir kedondong diantaranya jurai RANDAW, LIYEH, Dan JAHILO mereka memang asli buai SELAGAI, yang kemungkinan adat atau tata cara kehidupan sudah berbaur dengan saudara-saudara yang ada di daerah pesisir kedondong
Untuk saudara kami yang berada di lampung timur, buay selagai itu ada 14 jurai, yangvsebagian ada yang berada di wilayah lampung timur gedung wani ( jurai BUSSUK)
Salam kenal dg saudara kami dari pesawaran, kami ucapkan Terima kasih sudah diberi penjelasan, memang kami buay Selagai ada beberapa yang berada di pesisir kedondong diantaranya jurai RANDAW, LIYEH, Dan JAHILO mereka memang asli buai SELAGAI, yang kemungkinan adat atau tata cara kehidupan sudah berbaur dengan saudara-saudara yang ada di daerah pesisir kedondong
Sumber dari congor ke congor lalu dijadikan sebuah kebenaran yg dikemas dalam dongeng
Rajo Ali Wiro Ini buadok dalom Wiro bukan pak
Posting Komentar