MAKNA MOTIF HIAS PADA TINGGALAN ARKEOLOGI DI
LAMPUNG
Endang Widyastuti
Balai Arkeologi Bandung
PENDAHULUAN
Kesenian khususnya seni
rupa telah mulai dikenal sejak masa prasejarah, yaitu ketika masa berburu dan
mengumpulkan makanan tingkat lanjut. Ekspresi seni pada masa itu dituangkan pada
adanya bentuk-bentuk lukisan dan goresan terhadap batu karang atau dinding gua
atau yang sering disebut dengan rock art.
Rock Art adalah wujud seni yang dituangkan pada batuan. Teknik yang
digunakan untuk mewujudkan rock art berupa lukisan dengan warna-warna tertentu,
goresan, dan pahatan. Media rock art
dapat berupa dinding gua, ceruk, tebing karang, bongkahan batu dan lain-lain. Lukisan
dinding atau rock art pada umumnya menggambarkan kehidupan sosial ekonomi dan
kepercayaan masyarakat pada masa itu (Clark, 1960: 224 – 228). Motif yang
sering ditampilkan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan
manusia, seperti alam, binatang, dan bagian tubuh manusia. Di wilayah Asia
Tenggara rock art ditemukan di
Thailand, Malaysia, dan Filipina (Prasetyo, 2004: 14). Sementara itu di
Indonesia rock art banyak ditemukan
di wilayah timur, seperti di Sulawesi, Maluku, dan Papua (Soejono, 1990: 161 –
166). Wilayah Indonesia bagian barat yang tercatat juga terdapat adanya rock
art yaitu di situs Batu Cap di Kalimantan (Yondri, 1996: 57 - 66), situs
Citapen di Ciamis Jawa Barat (Saptono, 1998/1999) dan situs Gua Harimau di
Sumatera Selatan (Sriwijaya Post, Sabtu 16
April 2011).
Pada masa yang lebih
kemudian yaitu masa pengaruh Hindu Budha, seni rupa dituangkan dalam bentuk relief
yang terdapat pada bangunan candi dan arca-arca dewa. Pada beberapa prasasti
yang berasal dari masa Kerajaan Tarumanegara juga terdapat goresan-goresan yang
sebagian sampai sekarang belum dapat dipecahkan maknanya. Prasasti-prasasti
tersebut yaitu Prasasti Muara Cianten, Pasir awi dan Ciaruteun. Motif yang
terdapat pada prasasti tersebut adalah telapak kaki, sulur-suluran, dan flora.
Wilayah Lampung termasuk
salah satu wilayah kerja Balai Arkeologi Bandung. Dalam penelitian yang
dilakukan Balai Arkeologi Bandung pada tahun 1994 telah didata adanya satu
prasasti di desa Sumberhadi, Kecamatan Perwakilan Melinting, Kabupaten Lampung
Tengah. Pada prasasti tersebut selain terdapat tulisan juga terdapat goresan
membentuk tokoh manusia, binatang mitologi, dan gambar menyerupai rajah (Djafar, 1995). Selain itu pada
penelitian tahun 2009 Balai Arkeologi Bandung juga telah mendata adanya temuan
berupa sebongkah batu dengan goresan-goresan di atasnya. Tinggalan tersebut
ditemukan di Kramat Batin Katung di daerah Lumbok, Lampung Barat. Goresan yang
terdapat pada batu tersebut berupa lingkaran yang dikelilingi setengah
lingkaran, kepala bermahkota, dan motif geometris. Beberapa goresan yang
terdapat pada kedua data tersebut mempunyai kemiripan bentuk. Berdasarkan hal
tersebut, maka dalam tulisan ini permasalahan yang akan diangkat adalah apa
makna dari goresan yang terdapat pada tinggalan tersebut?
Berdasarkan permasalahan
tersebut, maka tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui makna motif
hias yang terdapat pada batu bergores di daerah lampung. Selanjutnya akan
dicoba untuk mengetahui apa latar belakang religi yang melatari adanya
tinggalan-tinggalan arkeologis tersebut. Untuk mengetahui makna motif hias dan
latar belakang religi tinggalan tersebut, akan dihubungkan juga dengan isi
prasasti sumberhadi tersebut.
Penulisan makalah ini
menggunakan data hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai arkeologi Bandung
pada tahun 1994 di desa Sumberhadi, Kecamatan Perwakilan Melinting, Kabupaten
Lampung Tengah, serta hasil penelitian tahun 2009 yang dilakukan di Kramat
Batin Katung di daerah Lumbok, Lampung Barat.
Untuk penyelesaian
permasalahan tersebut pada dasarnya metode yang dilaksanakan
meliputi tiga tingkat yaitu tingkat observasi, berusaha mengumpulkan data;
tingkat deskripsi yaitu mengolah data dengan metode analisis khusus dan
kontekstual; dan tingkat eksplanasi yaitu berusaha menafsirkan data sehingga
tujuan tercapai. Data yang akan dipergunakan dalam tulisan ini adalah
Prasasti Sumberhadi dan batu bergores Kramat Batin Katung. Langkah untuk
menyelesaikan masalah yaitu dengan mendeskripsikan data secara detail, Selanjutnya
dilakukan analisis kontekstual. Analisis ini menitikberatkan pada hubungan
antar data arkeologi. Dalam tahap analisis ini akan dilihat hubungan antara isi
prasasti dan goresan-goresan yang terdapat pada kedua data, selanjutnya akan
dibandingkan juga dengan naskah-naskah yang sejaman. Selanjutnya akan ditarik
simpulan mengenai arti goresan yang terdapat pada kedua data tersebut.
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT LAMPUNG
Provinsi Lampung memiliki luas 35.376,50 km². Daerah ini di sebelah barat
berbatasan dengan Samudera Hindia, di sebelah selatan dengan Selat Sunda, di
sebelah timur dengan Laut Jawa, serta di sebelah utara dengan Provinsi Sumatera
Selatan dan Provinsi Bengkulu. Keadaan alam Lampung, di sebelah barat dan
selatan, pada sepanjang pantai merupakan daerah yang berbukit-bukit sebagai
sambungan dari jalur Bukit Barisan di Pulau Sumatera. Di tengah-tengah
merupakan dataran rendah. Sedangkan ke dekat pantai di sebelah timur, di
sepanjang tepi Laut Jawa terus ke utara, merupakan pedataran pantai yang luas. Di
kawasan Lampung terdapat beberapa sistem aliran sungai yaitu Way Sekampung, Way
Semangka, Way Seputih, Way Jepara, Way Tulangbawang, dan Way Mesuji.
Masyarakat penghuni
daerah Lampung merupakan pendatang dari berbagai daerah. Dalam salah satu legenda
mengenai asal-usul masyarakat Lampung diceritakan bahwa nenek moyang orang
Lampung berasal dari Sungai Tatang dekat Bukit Siguntang, Sumatera Selatan.
Salah seorang moyang yang bernama Naga Berisang meninggalkan kampung di Sungai
Tatang mengembara mencari penghidupan hingga sampai di sekitar Danau Ranau.
Keturunan Naga Berisang di bawah pimpinan Poyang Sakti pindah ke Cinggiring,
Sekala Berak (Warganegara, 1994: 2). Tradisi lisan yang menjelaskan mengenai
penghunian kawasan Sekala Berak, menyebutkan bahwa pada masa itu terdapat empat
pemimpin yaitu Empu Cangih, Empu Serunting, Empu Rakihan, dan Empu Aji Saka. Keempat
empu tesebut merupakan penguasa yang masing-masing mempunyai wilayah kekuasaan
sendiri-sendiri. Sistem pemerintahannya disebut dengan istilah keratuan.
Kajian yang dilakukan
oleh Olivier Sevin (1989) menyimpulkan bahwa masyarakat Lampung dapat
dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu masyarakat asli dan pendatang.
Masyarakat yang diperkirakan sebagai penduduk asli adalah orang Pubian yang
menempati kawasan antara Padangratu, Kota Agung, Teluk Betung, serta wilayah
selatan Gunung Sugih di mana kawasan ini dibelah Way Sekampung. Sementara itu masyarakat
pendatang terdiri dari empat gelombang migran yaitu gelombang Sekala Berak,
gelombang Banten, gelombang Palembang, dan kolonisasi. Dalam beberapa tradisi
lisan dikatakan bahwa masyarakat Sekala Berak merupakan masyarakat dari
Pagarruyung yang menetap di sekitar Bukit Pesagi hingga tepian Danau Ranau.
Sekitar awal abad ke-14 kawasan Sekala Berak mengalami tekanan populasi tinggi.
Hal itu menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya gerakan migrasi ke bagian
tengah dan selatan Lampung. Selanjutnya gelombang migrasi dari Banten
berlangsung pada abad ke-17 demikian juga gelombang Palembang. Sedangkan
Kolonisasi dari Jawa terjadi pada abad ke-19. Pendapat Sevin ini masih perlu
diuji. Menurut tradisi sejarah lisan masyarakat, emigran yang masuk ke Lampung
juga berasal dari Pagaruyung, Bengkulu, Jambi, masyarakat Melayu, dan Bugis
(Warganegara, 1994: 3 – 13; Hadikusuma, 1989: 44 – 52).
Sebelum terjadi
gelombang migrasi dari Banten dan Kolonisasi dari Jawa, pada sekitar abad ke-17
– 18 masyarakat yang berdiam di Lampung diperkirakan sudah membentuk suatu
sistem pemerintahan persekutuan adat. Pemerintahan persekutuan adat ini terdiri
dari dua sistem yaitu pepadun dan seibatin (Hadikusuma, 1989:
157). Meskipun sudah terbentuk semacam sistem pemerintahan, masyarakat Lampung
tidak pernah dapat memusatkan kesatuan kerabatnya pada satu kesatuan tempat
yang besar (perkampungan). Hal tersebut kemungkinan berkaitan dengan sistem
matapencaharian sebagai peladang. Ladang
tempat bertanam lada diusahakan secara terpencar dengan sistem umbulan. Lokasi ladang ini secara
berkala berpindah menyesuaikan kondisi lahan. Kondisi masyarakat seperti itu
berlangsung sejak zaman sebelum Islam.
Pada masa klasik yaitu
masa di mana pengaruh budaya Hindu-Buddha dari India sangat kuat, di Lampung
tidak ada bukti adanya suatu kerajaan (kingdom).
Beberapa prasasti yang ditemukan di Lampung kebanyakan merupakan prasasti yang
dikeluarkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Prasasti Palas Pasemah yang ditemukan di
tepi Way Pisang, Kalianda, Lampung Selatan dan Prasasti Bungkuk yang ditemukan
di Lampung Timur serta Prasasti Batu Bedil di Kabupaten Tanggamus menunjukkan
bahwa Lampung pada masa klasik merupakan wilayah kekuasaan Sriwijaya (Purwanti,
1995: 98; Boechari, 1979: 19 – 40; Soekmono, 1985: 49 – 50).
Ketika Sriwijaya
mengalami kemunduran, mungkin kawasan Lampung menjadi wilayah kekuasaan
kerajaan di Jawa. Di Dusun Harakuning, Desa Hanakau, terdapat Prasasti
Hujunglangit. Damais memastikan prasasti tersebut berasal dari tahun 919 Ç atau
997 M (Damais, 1995: 33). Pengaruh Jawa yang tampak dalam sistem
penanggalannya, oleh Damais dihubungkan dengan ekspedisi Jawa dalam melawan
Sriwijaya yang menurut berita Cina terjadi pada tahun 992 – 993 M. Damais
menarik kesimpulan bahwa pengaruh Jawa tersebut merupakan hasil pendudukan Jawa
sebagaimana dilaporkan dalam sumber Cina (Guillot, et all., 1996: 116).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Objek
Prasasti Sumberhadi
Prasasti Sumberhadi
ditemukan di Desa Sumberhadi, Kecamatan Perwakilan Melinting, Kabupaten Lampung
Tengah. Kini prasasti tersebut disimpan di Museum Negeri Ruwa Jurai di Bandar
Lampung (Djafar, 1995: 1). Prasasti dipahatkan pada sebongkah batu memanjang
yang berukuran 42 x 11 x 9 cm. Kondisi prasasti pada beberapa bagian terdapat
cacat akibat terpangkas benda tajam, sehingga beberapa bagian dari prasasti ini
tidak terbaca atau hilang.
|
Goresan-goresan yang terdapat pada prasasti Sumberhadi (dikutip dari Djafar, 1995) |
|
Pada prasasti tersebut
terdapat 14 baris tulisan, dan juga terdapat tulisan-tulisan pendek serta
gambar-gambar. Gambar yang terlihat pada prasasti tersebut berupa tokoh manusia
dalam berbagai posisi, binatang mitologi seperti naga, goresan-goresan berbentuk
geometris, unsur-unsur alam seperti matahari, bulan, dan bintang, serta
bentuk-bentuk seperti rajah. Tulisan
dan goresan gambar tersebut dipahatkan pada seluruh permukaan batu secara
melingkar.
Berdasarkan pembacaan
oleh Hasan Djafar diketahui bahwa bahasa yang dipergunakan pada prasasti ini
adalah bahasa melayu yang tidak terlalu kuna dengan beberapa pengaruh kosa kata
dari bahasa arab dan Jawa. Kosa kata yang berasal dari bahasa Arab adalah hadah, warta, dan surat, sedangkan kosa
kata yang berasal dari bahasa Jawa adalah tutunu
dan lawas (Djafar, 1995: 1). Aksara
yang digunakan adalah sejenis tulisan Jawa Kuna yang dari sudut paleografi
mempunyai banyak persamaan dengan prasasti Ulubelu (Lampung Selatan) dan
Prasasti Kawali yang berasal dari kurun waktu abad ke-14 – 15.
Batu bergores Keramat Batin Katung
Batu bergores terdapat
di Situs
Keramat Batin Katung. Secara administratif situs ini berada
di wilayah Dusun Sukamaju, Desa Lumbok,
Kecamatan Sukau, Kabupaten Lampung Barat. Lokasi situs berada pada koordinat 04°56’46,9” LS dan 103°56’00,6” BT,
pada ketinggian 929 m di atas permukaan laut. Lokasi keramat ini
berada di sisi timur laut halaman kompleks SMP Negeri 2 Sukau (Tim penelitian,
2009).
|
Cungkup Keramat Batin Katung (Dokumentasi Balai Arkeologi Bandung, 2009) |
Pada situs ini
terdapat batu bergores dan makam dengan orientasi utara – selatan
yang oleh masyarakat disebut sebagai Keramat Batin Katung. Untuk melindungi
makam dan batu bergores masyarakat mendirikan bangunan cungkup. Cungkup tersebut berukuran 3 x 4 m, dengan atap seng. Sekeliling
makam terdapat pagar yang terbuat dari kayu. Menurut Rosmadewi – pemelihara
makam – semula keramat ini hanya berupa batu pipih dengan ukuran panjang 120
cm, lebar atas 30 cm, lebar bawah 87 cm, dan tebal 19 cm. Batu pipih tersebut disangga
oleh 3 bongkah batu. Tanah yang berada di tengah ketiga batu penyangga tersebut berlobang. Kemudian di lokasi lobang tersebut dibuat
bentuk makam lengkap dengan jirat dan nisan.
Sampai sekarang lokasi
ini masih sering dipergunakan sebagai tempat ziarah oleh orang-orang yang
datang dari daerah sekitar, seperti Krui, Liwa, dan lain-lain. Tujuan para
peziarah berkunjung ke keramat ini adalah untuk memohon petunjuk agar barang
atau ternaknya yang hilang dapat ditemukan kembali.
|
Batu bergores di situs Keramat Batin Katung (Dokumentasi Balai Arkeologi Bandung, 2009) |
Pada permukaan bagian atas batu pipih tersebut terdapat goresan yang membentuk gambar-gambar. Goresan yang terdapat di permukaan atas batu tersebut berupa lingkaran
dikelilingi setengah lingkaran yang mungkin dimaksudkan sebagai matahari, kepala
manusia dengan mahkota, motif geometris yang berupa tumpal dan
lingkaran-lingkaran.
|
Goresan pada batu bergores di situs Keramat Batin Katung (Dokumentasi Balai Arkeologi Bandung, 2009) |
Makna Motif Hias
Motif-motif hias yang
terdapat pada prasasti Sumberhadi dan batu bergores Batin Katung secara garis
besar dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu 1) motif manusia atau bagian
tubuh manusia, 2) motif benda-benda alam, 3) motif geometris, dan 4) motif binatang.
Motif Manusia Atau Bagian Tubuh Manusia
Pada prasasti Sumberhadi
motif manusia terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok dengan anggota tubuh
lengkap dan kelompok dengan penggambaran yang tidak lengkap. Pada kelompok dengan penggambaran lengkap
terdiri dari dua figur dengan tangan berjumlah 4, sedangkan kelompok dengan
penggambaran tidak lengkap penggambaran yang ada hanya berupa bagian kepala,
dada, dan tangan. Sementara itu pada batu bergores Batin Katung motif manusia
digambarkan hanya bagian kepala dengan mata, hidung, dan mulut. Motif kepala
ini digambarkan mengenakan mahkota.
Pada masa prasejarah
motif manusia atau bagian tubuh manusia merupakan motif yang sering dijumpai
pada lukisan-lukisan gua. Pada masa Prasejarah motif sosok manusia mulai
digunakan seiring dengan berkembangnya keyakinan akan adanya hubungan batin
antara manusia dengan kekuatan-kekuatan gaib yang terdapat di sekitarnya
(Prasetyo, 2004: 24). Keyakinan tesebut kemudian berkembang menjadi sistem
kepercayaan kepada arwah nenek moyang yang dianggap berperan sebagai mediator
dengan alam gaib. Pada lukisan dinding gua penggambaran motif manusia ini
jarang dilukiskan secara utuh, hanya bagian-bagian tertentu saja yang
digambarkan misalnya telapak tangan, telapak kaki, mata atau kepala yang
diidentikkan dengan bentuk topeng (Prasetyo, 2004: 24). Motif manusia banyak
dijumpai pada lukisan dinding di Indonesia bagian timur seperti di Pulau Muna
di Sulawesi Tenggara, Pulau Seram di Maluku, Kepulauan Kei, dan Papua (Soejono,
1990: 164 – 165).
Pada masa tradisi megalitik
motif manusia atau bagian tubuh manusia masih sering digunakan. Motif manusia
seringkali digunakan dengan media dinding-dinding kubur, seperti sarkofagus, dolmen,
kalamba, dan waruga (Sumijati, 1997 – 1998: 339). Pada masa ini manusia
seringkali digambarkan dengan gaya kangkang, sedangkan bagian tubuh yang sering
digambarkan yaitu muka dan genitalia. Kedua bagian tubuh tersebut diyakini memiliki
makna simbolis sebagai penolak bala atau kekuatan jahat dan juga sebagai
lambang kesuburan (Sumijati, 1997 – 1998: 339).
Pada masa pengaruh Hindu
Budha motif manusia termasuk motif yang sangat populer. Motif manusia ataupun
bagian tubuh manusia banyak digunakan pada relief candi dan arca. Bagian tubuh
yang sangat penting dan sering digunakan adalah bagian kepala khususnya bagian
wajah. Motif kala yang digambarkan
sebagai muka raksasa dengan mata melotot dan mulut menyeringai dengan gigi
bertaring biasa diletakkan di atas pintu masuk candi. Motif kala ini dianggap sebagai lambang
kehidupan dan penolak bala (Sunaryo, 2009: 40 – 52)
Motif Benda-Benda Alam
Motif hias yang
menggambarkan benda-benda alam pada prasasti sumberhadi berupa bulan, bintang
dan matahari. Motif bulan digambarkan dengan bentuk bulan sabit, motif bintang
digambarkan dengan membuat dua segitiga yang saling bertumpuk dengan posisi
bersilangan, dan motif matahari digambarkan dengan bentuk bulatan dengan
garis-garis sinar di sekelilingnya. Sementara itu pada batu bergores Batin
Katung benda alam yang digambarkan hanyalah motif matahari. Penggambaran motif
matahari pada batu bergores ini berupa lingkaran yang dikelilingi oleh empat
bentuk setengah lingkaran dengan posisi terbuka keluar.
Pada masa prasejarah
motif hias matahari telah banyak digunakan. Situs-situs gua yang mengandung
lukisan dinding dengan motif matahari di antaranya adalah Gua-gua di Pulau Muna
dan Pulau Seram. Matahari dianggap sebagai sumber kehidupan, sehingga
penggunaan motif matahari sebagai motif hias dihubungkan sebagai lambang
kehidupan. Selain itu matahari juga dianggap sebagai lambang kesucian (Toekio,
2000: 37). Pada masa yang lebih muda, yaitu masa pengaruh Hindu Budha, lambang
matahari seringkali dihubungkan dengan Dewa Surya. Selain itu lambang matahari
juga seringkali dihubungkan dengan Kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit
memiliki lambang kerajaan yang berupa sinar matahari yang dikenal denganSinar
Surya Majapahit (Sunaryo, 2009: 171).
Motif Bulan seringkali
dikaitkan dewa Siwa. Dalam mitologi Hindu, Dewa Siwa digambarkan mengenakan
mahkota Jatamakuta, yaitu hiasan kepala atau rambut dengan atribut bulan sabit.
Motif hias bulan seringkali dikombinasikan dengan motif bintang. Penggunaan
motif bintang pada masa prasejarah yaitu pada bidang pukul pada nekara
(Soejono, 1990: 247). Motif bintang dianggap memiliki pengaruh terhadap
kehidupan manusia, sehingga motif bintang dihubungkan dengan lambang kelahiran
(Sunaryo, 2009: 173)
Motif Geometris
Pada prasasti
Sumberhadi, motif geometris digambarkan dalam bentuk segitiga dan garis-garis
bersilangan. Selain itu juga terdapat motif garis-garis vertikal dan horisontal
yang saling bersilangan sehingga membentuk kotak-kotak. Bentuk ini mengingatkan
pada bentuk sistem penanggalan di Sunda (kolenjer).
Sementara itu pada batu bergores Batin Katung motif geometris digambarkan
berupa tumpal dan lingkaran-lingkaran.
Motif geometris
merupakan motif yang sangat tua. Sejak masa prasejarah motif ini sudah sering
digunakan. Motif geometris seringkali digunakan sebagai motif hias pada
tembikar, nekara, dan lain-lain. Sementara itu pada masa pengaruh Hindu Budha,
motif geometris juga ditemukan pada relief candi dan motif kain pada arca.
Motif geometris pada
umumnya bersifat abstrak artinya tidak dikenali lagi obyek yang digambarkan.
Motif ini tersusun dari unsur-unsur seni rupa seperti garis dan bidang. Motif
geometris berkembang dari bentuk titik, garis, atau bidang yang berulang, dari
yang sederhana sampai dengan pola yang rumit (Sunaryo, 2009: 19).
Motif Binatang
Motif hias binatang
hanya terdapat pada prasasti Sumberhadi. Pada prasasti ini motif binatang
digambarkan sebagai binatang mitologi (Djafar, 1995: 2). Binatang mitologi ini
berbentuk menyerupai naga.
Motif naga merupakan
motif binatang yang sering digunakan. Motif ini melambangkan dunia bawah (Hoop,
1949). Dalam kaitan dengan kematian, motif naga dianggap akan menjamin
kepindahan dari dunia ke alam baka (Sellato, 1989: 81). Selain itu naga juga
melambangkan air, kesuburan, wanita, dan kesaktian (Sunaryo, 2009: 103).
Keberadaan gambar-gambar
pada prasasti Sumberhadi dan batu bergores Batin Katung tentunya dilatari oleh
alam pikiran orang Lampung pada waktu itu. Dalam alam pikiran masyarakat
Lampung masih terdapat kepercayaan terhadap dewa-dewa, kekuatan gaib, makhluk
halus dan kepercayaan kepada hal-hal gaib lainnya (Hadikusuma, 1977/1978: 149 –
158). Gambar-gambar tersebut menunjukkan bahwa meskipun masyarakat Lampung
sudah menganut suatu agama tetapi kepercayaan terhadap kekuatan gaib masih
mewarnai alam pikiran masyarakat pada waktu itu.
Tinjauan Isi Prasasti
Prasasti Sumberhadi
berisi mengenai surat pemberitahuan atau bukti tentang peminjaman tanah selama
100 tahun untuk keperluan bangunan suci (Utomo, 2007: 5). Pada prasasti
tersebut juga disebutkan mengenai tokoh Batara Guru Tuha dan panca resi yang
terdiri dari San Kusika, San Garega, Metri, Kurussya, dan Patanjala (Djafar,
1995: 2).
Berdasarkan isi prasasti
tersebut disimpulkan bahwa terdapat sebidang tanah yang digunakan untuk
pengelolaan suatu bangunan suci. Pertanyaan yang selanjutnya muncul yaitu
bangunan suci dengan latar belakang keagamaan apakah yang terdapat di tempat
tersebut.
Pada prasasti Sumberhadi
disebutkan mengenai adanya tokoh Batara Guru Tuha dan Panca Resi yang terdiri
dari San Kusika, San Garega, Metri, Kurussya, dan Patanjala. Meskipun sedikit
berbeda panca resi juga disebutkan dalam salah satu naskah masa Kerajaan Sunda
yaitu naskah Sanghyang Siksakandang
Karesian. Naskah Sanghyang
Siksakandang Karesian berasal dari sekitar abad 15 – 16. Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian berisi
mengenai gambaran tentang pedoman moral untuk bekal kehidupan masyarakat pada
masa itu (Danasasmita, 1987: 5).
Dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian
disebutkan adanya panca kusika yaitu
lima orang resi murid Siwa dalam mitologi Hindu yang terdiri dari Sang Kusika
di Gunung, Sang Garga di rumbut, Sang Mesti di Mahameru, Sang Purusa di Madiri
dan Sang Patanjala di Panjulan (Danasasmita, 1987: 97). Dalam naskah tersebut
diuraikan mengenai adanya pemujaan kepada dewa Siwa dan Sanghyang Panca
tatagata. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa pada masa itu masih terlihat
adanya pengaruh agama
Hindu, meskipun juga tampak adanya
pengaruh agama Buddha, yaitu pemujaan kepada Sanghyang Pañcatatagata (Buddha).
PENUTUP
Berdasarkan uraian
terdahulu dapat disimpulkan bahwa motif hias yang terdapat pada prasasti
Sumberhadi dan batu bergores Batin Katung dapat dikelompokkan menjadi 4, yaitu
motif manusia atau bagian tubuh manusia, motif benda-benda alam, motif
geometris, dan motif binatang. Motif-motif hias tersebut merupakan motif yang
telah ada sejak masa prasejarah. Motif hias tersebut mengandung makna simbolis
sebagai penolak bala, lambang kesuburan, dan lambang kehidupan. Sementara itu
berdasarkan isi prasasti disimpulkan bahwa religi yang dianut masyarakat pada
waktu itu adalah Hindu, meskipun unsur pemujaan kepada kekuatan gaib juga masih
terlihat.
DAFTAR PUSTAKA
Boechari, 1979. An Old
Malay Inscription of Sriwijaya At Palas Pasemah (South Lampung). Dalam Pra Seminar Penelitian Sriwijaya, hlm.
19 - 40. Jakarta: pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.
Clark, Graham. 1960. Archaeology
and Society. London: Methuen.
Damais, Louis-Charles.
1995. Epigrafi dan Sejarah Nusantara.
Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Danasasmita,
Saleh. 1987. 1987. Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian,
Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek
Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Djafar, Hasan dan W.
Anwar Falah. 1995. Prasasti Batu dari Sumberhadi Daerah Lampung Tengah. Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung No. 1/April/1995. Bandung: Balai
Arkeologi Bandung.
Guillot, et al., 1996. Banten Sebelum Zaman Islam:
Kajian Arkeologi di Banten Girang 932 – 1526. Jakarta: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional – EFEO.
Hadikusuma, Hilman. 1977/1978. Adat Istiadat Daerah Lampung.
Bandar Lampung: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
----------. 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung.
Bandung: Mandar Maju.
Hoop, A.N.J.Th.a.Th. van
der. 1949. Ragam-ragam Perhiasan
Indonesia. Tanpa kota penerbit: Koninklijk Bataviaasch Genootschap Van
Kunsten en Wetenschappen.
Lukisan Spektakuler di Gua Harimau, Sriwijaya Post
- Sabtu, 16 April 2011
Prasetyo, Bagyo & Dwi Yani Yuniawati (ed.). 2004. Religi Pada Masyarakat Prasejarah di
Indonesia. Jakarta: Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional.
Purwanti, Retno. 1995.
Perang Pada Masa Sriwijaya: Tinjauan Terhadap Prasasti-prasasti Abad VII
Masehi. Dalam Jurnal Penelitian Balai
Arkeologi Bandung No. 2, hlm. 98 – 103. Bandung: Balai Arkeologi Bandung
Saptono, Nanang.
1998/1999. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi Daerah Citapen dan Sekitarnya,
Desa Sukajaya, Kec. Rajadesa, Kab. Ciamis, Jawa Barat. Bandung: Balai Arkeologi
Bandung.
Sellato, Bernard. 1989. Naga dan Burung Enggang (Hornbill and
Dragon) Kalimantan, Sarawak, Sabah, Brunei. Diterjemahkan oleh Winarsih
Arifin. Tanpa kota penerbit: Elf Aquitaine Indonesia-Elf Aquitaine Malaysia.
Sevin,
Olivier. 1989. History and
population. Dalam Transmigration,
hlm. 13 – 123. Jakarta: ORSTOM – Departemen transmigrasi Republik Indonesia.
Soejono, R.P. 1990. Jaman
Prasejarah di Indonesia. Dalam Marwati Djoened Poesponegoro (ed.) Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta:
Balai Pustaka.
Soekmono, R. 1985 Kisah Perjalanan ke Sumatra Selatan dan Jambi. Dalam
Satyawati Suleiman et al. Amerta 3.
Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Sumijati, As. 1997 –
1998. Seni Rupa dan Dinamikanya Dalam Kehidupan Pra-Hindu. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII, Cipanas, 12
– 16 Maret 1996 jilid 2. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Sunaryo, Aryo. 2009. Ornamen Nusantara: Kajian Khusus Tentang
Ornamen Indonesia. Semarang: Dahara Prize.
Tim penelitian. 2009.
Laporan Penelitian Arkeologi Budaya Masa Pengaruh Hindu-Buddha di Kawasan
Lampung. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.
Toekio, Soegeng. 2000. Mengenal Ragam Hias Indonesia. Bandung:
Angkasa.
Utomo, Bambang Budi.
2007. Prasasti-prasasti Sumatra.
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.
Warganegara, Marwansyah. 1994. Riwayat Orang
Lampung
Yondri, Lutfi. 1996.
Batu Cap: Temuan Awal Tinggalan Seni Lukis Gua/Ceruk di Wilayah Indonesia
Barat. Dalam Jurnal Penelitian Balai
Arkeologi Bandung No. 3/April/1996. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.
Catatan:
Artikel ini terdapat dalam
buku Arkeologi: Peran dan Manfaat Bagi Kemanusiaan.
Halaman 16 – 30. Editor Dr. Ali Akbar. Jatinangor: Alqaprint, 2011.