TINGGALAN MEGALIT DI BATU BADAK
Catatan : Nanang Saptono
Emas
hitam di Kalimantan merupakan sebutan bagi batu bara. Lain halnya dengan di
Lampung, yang disebut emas hitam adalah lada. Beberapa waktu silam, lada
menjadi komoditas penting bagi Lampung dalam perdagangan dunia. Terbatasnya
lada di kawasan Jawa Barat, Kesultanan Banten meluaskan wilayah hingga Lampung
untuk memenuhi kebutuhan perdagangan dunia pada saat itu. Salah satu kawasan di
Lampung yang menjadi lumbung lada bagi Banten adalah Bojong. Wilayah ini
sekarang secara administratif meliputi seluruh Kecamatan Sekampung Udik,
Kabupaten Lampung Timur.
Pada
masa pemerintahan Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainal Abidin (1690 – 1733 M),
tepatnya pada 30 Jumadil Awal Tahun Be 1102 H atau 1 Maret 1691 M dikeluarkan
prasasti (dalung) Bojong yang berisi
perjanjian persahabatan antara Banten dan Lampung khususnya Bojong. Salah satu
isi perjanjian tersebut adalah mengenai penanaman lada sebanyak 500 pohon bagi
penduduk Bojong. Masyarakat Bojong yang dimaksud pada dalung tersebut adalah
masyarakat yang tergabung dalam Marga
Sekampung Limo Mego. Beberapa kampung (desa) tua di wilayah ini adalah Desa
Toba, Bojong, Gunung Sugih Besar, Gunung Raya, Peniangan, dan Desa Batu Badak. Semua
kampung ini berada di dekat aliran Way Sekampung.
Meskipun
Kesultanan Banten banyak memberi pengaruh kepada masyarakat Sekampung Limo Mego, namun tampaknya
agama Islam belum dianut oleh seluruh masyarakat. Berdasarkan tinggalan
arkeologis yang ditemukan di kawasan tersebut terdapat beberapa megalit yang
secara umum merupakan sarana bagi masyarakat untuk mengagungkan arwah leluhur.
Beberapa megalit tersebut terdapat di Desa Batu Badak. Apa bentuk dan kira-kira
fungsi megalit Batu Badak akan dicoba diulas berikut.
Tinggalan
arkeologis di Batu Badak pernah muncul di dalam Berita Penelitian Arkeologi No. 33, Laporan Penelitian Arkeologi
Lampung yang disusun oleh J. Ratna Indraningsih, Haris Sukendar, Budi
Santosa Azis, dan Rokhus Due Awe. Pelaksanaan penelitian pada 2 – 27 April 1980
berupa survei dan ekskavasi di situs Pugung Raharjo dan sekitarnya. Nama Batu
Badak berkaitan dengan legenda Si Pahit Lidah. Tim penelitian pada waktu itu
sempat melakukan pengamatan terhadap objek yang disebut Batu Badak di tepi Way
Sekampung. Berdasarkan pengamatan disimpulkan bahwa objek yang dinamakan Batu
Badak itu merupakan batu alam yang tidak mempunyai arti arkeologis. Namun
demikian, tim menjumpai lahan pada teras sungai yang mengandung banyak artefak
berupa pecahan tembikar, porselen, dan beliung.
Balai
Arkeologi Jawa Barat pada 8 – 25 Juli 2019 mengadakan penelitian tentang
budidaya lada pada masyarakat Lampung masa Kesultanan Banten. Salah satu
wilayah yang disurvei adalah Desa Batu Badak. Menurut keterangan Saparudin (33
th), salah satu tokoh masyarakat Desa Batu Badak, nama Batu Badak berasal dari
suatu legenda. Konon pada jaman dulu ada badak yang sedang minum di pinggir Way
Sekampung. Secara kebetulan Si Pahit Lidah yang sedang naik perahu di Way
Sekampung melihat adanya badak. Khawatir badak itu membahayakan masyarakat yang
tinggal di tepi sungai, badak itu disumpah menjadi batu. Sampai sekarang desa
itu dinamakan Desa Batu Badak. Tim penelitian diantar Saparudin dan Sulaeman
melihat Batu Badak. Kebetulan pada waktu itu air sungai sedang surut sehingga
objek kelihatan dengan jelas.
Saparudin tengah memberikan keterangan tentang Batu Badak |
Batu
Badak yang ditunjukkan Saparudin berupa bongkah batu yang menyerupai badak, berada
di pinggir sungai. Di sekitar batu badak terdapat beberapa bongkah batu
lainnya. Saparudin menunjukkan bahwa pada batu-batu di sekitar Batu Badak
terdapat bekas tangan Si Pahit Lidah. Setelah diamati, di sekitar Batu Badak
terdapat beberapa megalit berupa batu bergores. Pengamatan di sekitar lokasi
batu badak, pada lahan di teras sungai terdapat jajaran batu membentuk pola
segi empat. Di sebelah timur laut terdapat 5 jajaran batu memanjang dengan
orientasi barat laut – tenggara. Di sebelah barat daya batu berurut terdapat 2
bongkah batu lagi. Di atas sebelah timur laut teras bawah di mana terdapat
formasi batu, terdapat teras lagi. Pada lahan tersebut banyak ditemukan pecahan
tembikar dan porselen.
Batu Badak (A) dan salah satu batu bergores (B) yang terdapat di tepi Way Sekampung |
Batu bergores di dekat Batu Badak |
Susunan batu yang terdapat pada lahan teras tepi Way Sekampung |
Batu
bergores banyak ditemukan di Lampung. Kajian Nurul Laili tentang batu bergores
di Lampung antara lain ditemukan di situs Bojong dan Benteng Nibung di Desa
Wana serta situs Pugung Raharjo, Desa Pugung Raharjo Lampung Timur; situs Pekon
Balak dan situs Batu Kenyangan Desa Pekon Balak, situs Air Ringkih di Desa
Bungin, situs Cabangdua di Desa Purawiwitan, serta situs Sukarame di Desa
Sukarame, Lampung Barat.
Menurut
Nurul Laili, sebagaimana yang diutarakan dalam artikelnya “Fungsi Dan Peranan Batu Bergores Dalam
Tradisi Megalitik: Studi Kasus Temuan di Provinsi Lampung” yang terbit di dalam
buku “Hastaleleka: Kumpulan
Karya Mandiri Dalam Kajian Paleoekologi, Arkeologi, Sejarah Kuna, dan Etnografi”,
hlm. 33 - 40. Editor Agus Aris Munandar. Penerbit Alqaprint, Jatinangor, 2005, fungsi
dan peranan batu bergores di kawasan Lampung sangat berkait dengan pemujaan.
Hal ini diperlihatkan dengan asosiasi temuan lainnya, yaitu menhir, dolmen,
batu datar, dan batu berurut. Keinginan dan pengharapan dari pendukung budaya
megalitik untuk mendapatkan kekuatan dari arwah leluhur memperlakukan batu
bergores sebagai salah satu pelengkap dalam sarana pemujaan selain jenis
megalitik lain.
Batu
bergores di Batu Badak tidak berasosiasi dengan dolmen atau menhir melainkan
berada di pinggir sungai. Melihat hal itu, mungkin batu bergores di Batu Badak
tidak ada kaitannya dengan pemujaan kepada arwah leluhur. Kumpulan bongkah batu
di pinggir sungai mungkin berfungsi dalam kaitannya dengan tempat mandi umum.
Pada masyarakat Lampung sering kali dijumpai tempat mandi umum di pinggir
sungai yang disebut kuwayan. Goresan
pada batu kemungkinan merupakan jejak aktivitas dalam kaitannya dengan
membersihkan sesuatu, dapat berkaitan dengan membersihkan diri (mandi) atau
membersihkan peralatan sehari-hari. Salah satu contoh, pada masyarakat Kampung
Kuripan di Kalianda, pada jaman dahulu kalau membersihkan gigi dengan
menggunakan serbuk arang tempurung kelapa. Cara mendapatkan serbuk dengan
menggosokkan arang tempurung kelapa tersebut. Mungkin, goresan pada batu
merupakan jejak aktivitas menggoreskan yang berlangsung lama dan intensif.
Mengenai susunan batu yang berada pada lahan teras sungai kemungkinan merupakan
bekas umpak rumah atau bangunan lain. Tentu saja hipotesis ini masih perlu
dibuktikan dengan kajian yang lebih mendalam.