JEJAK TRADISI MEGALITIK PADA MASYARAKAT DI HULU
WAY PENGUBUHAN, LAMPUNG
Nanang Saptono
e-mail: nangsap@yahoo.co.id
PENDAHULUAN
Di
bagian hulu Way Pengubuhan terdapat empat situs yang merupakan situs pemukiman.
Situs-situs tersebut adalah Keramat Gedong Ratu, Keramat Bandar, Keramat Karang
Sio, dan Keramat Teluk. Penelitian Balai Arkeologi Bandung di kawasan ini
menunjukkan bahwa situs-situs itu dihuni pada masa protosejarah hingga masuknya
pengaruh budaya Islam. Menurut cerita sejarah yang berkembang di masyarakat
setempat, pemukiman di Keramat Gedong Ratu berkaitan dengan nenek moyang
masyarakat Selagai (Saptono, 2007), Keramat Bandar berhubungan dengan tokoh
yang bernama Segayou Ngadikou Guru (Tim Peneliti, 2007), situs Karang Sio tidak
diketahui secara pasti siapa tokoh utamanya. Permukiman
di Keramat Teluk berhubungan dengan tokoh Tubagus Sayidin Mustofa (Tim
Peneliti, 2008). Masyarakat ini merupakan keturunan Datu Di Puncak yang semula
bermukim di daerah Sekala Brak yaitu kawasan di antara kaki Bukit Pesagi hingga
sekitar Danau Ranau.
Sejarah
perkembangan kebudayaan yang terjadi di Indonesia pada umumnya bermula dari zaman
prasejarah, selanjutnya zaman pengaruh Hindu-Buddha (Klasik), dan kemudian masa
pengaruh Islam dan Kolonial. Pada beberapa kelompok masyarakat terkadang tidak
berlangsung seperti itu tetapi ada yang mengalami loncatan. Daerah yang tidak
mendapat sentuhan pengaruh budaya Hindu-Buddha akan mengalami semacam loncatan
dari zaman prasejarah langsung ke masa pengaruh Islam. Sementara itu ada pula daerah
yang tidak mendapat pengaruh budaya Islam sehingga lintasan sejarah budaya yang
terbentuk hanya masa prasejarah dan klasik. Lampung merupakan daerah yang
sedikit mendapat pengaruh budaya Hindu-Buddha sehingga sampai saat ini
belum ditemukan pusat peradaban klasik. Beberapa tinggalan prasasti di Lampung
yang merupakan tinggalan budaya masa klasik menunjukkan pengaruh kuat
Sriwijaya. Pengaruh Sriwijaya ini pun tidak meliputi seluruh wilayah Lampung
tetapi hanya di beberapa tempat seperti misalnya di Batu Bedil, Pulau Panggung,
Kabupaten Tanggamus; Palas Pasemah, Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan; dan
Tanjung Raya, Sukau, Kabupaten Lampung Barat. Beberapa wilayah di bagian tengah
Lampung seperti kawasan hulu Way (Sungai) Pengubuhan tampak
tidak mendapat pengaruh budaya klasik.
Olivier
Sevin yang mengkaji sejarah kawasan Lampung berdasarkan cerita sejarah, menyimpulkan
bahwa di masa lalu terdapat kelompok masyarakat yang melakukan migrasi dari
Sekalabrak menuju kawasan hulu Way Pengubuhan. Gelombang migrasi tersebut
terjadi karena di kawasan Sekalabrak pada sekitar awal abad ke-14 mengalami
tekanan populasi tinggi (Sevin, 1989: 49 – 69). Bukti-bukti arkeologis yang
terdapat di kawasan tersebut kebanyakan berupa situs permukiman dengan unsur
monumen tradisi megalitik berupa menhir dan dolmen. A.N.J. Th. a. Th. van der
Hoop telah mencatat beberapa peninggalan megalitik yang ditemukan di kawasan
ini antara lain situs Batoeberak di Pekonbalak, Liwa (Hoop, 1932: 58 – 59). Di
daerah Desa Purawiwitan dan Purajaya, Kecamatan Sumberjaya terdapat beberapa
komplek megalitik seperti dolmen dan menhir di situs Batu Tameng; dolmen,
menhir dan batu berurut di situs Purajaya; menhir di situs Batujagur; dolmen di
situs Tlaga Mukmin, dolmen dan menhir di situs Muara Jaya, serta dolmen di
situs Cipta Mulya (Sukendar, 1979; Indraningsih, 1985; Saptono, 1994). Selain
tinggalan berupa dolmen dan menhir, juga terdapat tinggalan berupa arca
megalitik. Arca ini ditemukan di Bukit Pulau Pinang, Kecamatan Liwa (Sukendar,
1976: 11). Diduga tradisi megalitik ini masih berlangsung terus
bagi masyarakat di kawasan hulu Way Pengubuhan.
Sesudah masa prasejarah, di kawasan Lampung sebagian besar langsung mendapat pengaruh budaya Islam yang masuk melalui Kesultanan Banten. Pada masa Banten berada pada masa puncak, yaitu masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1552 – 1570) hingga masa pemerintahan Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqien (1801 – 1802), Lampung berada di bawah kontrol Banten. Sultan Hasanuddin pernah mengadakan perjalanan ke Lampung, Indrapura, dan Solebar (Bengkulu). Hubungan antara Banten dengan Lampung juga diceritakan dalam tradisi orang-orang Abung. Menak Paduka dan Menak Kemala Bumi pernah datang di Banten untuk minta bantuan Sultan Hasanuddin dengan mempersembahkan pengakuan kekuasaan tertinggi Tulangbawang kepada Banten. Pada waktu itu selain Tulangbawang terdapat kerajaan Balau. Pada masa kemudian Balau dapat disatukan dengan Tulangbawang melalui perkawinan antara Menak Kemala Bumi dengan putri Raja Balau. Oleh Sultan Hasanuddin, Menak Paduka diberi gelar Patih Jarumbang dan Menak Kemala Bumi diberi gelar Patih Prajurit. Kedua tokoh ini kemudian masuk Islam dan selanjutnya melaksanakan islamisasi di daerah Lampung (Djajadiningrat, 1983). Kasus melakukan pengakuan kekuasaan tertinggi dalam istilah Lampung disebut siba, yang tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Tulangbawang saja tetapi Masyarakat Abung juga melakukannya. Pengaruh kuat Banten terhadap Lampung juga menyangkut sistem religi yang sebelumnya berupa tradisi megalitik selanjutnya berganti ke Islam. Namun demikian, tradisi megalitik yang ada pada masyarakat masih mewarnai budaya Islam. Berdasarkan hal itu, penelitian ini akan menggali jejak tradisi megalitik pada masyarakat di kawasan hulu Way Pengubuhan tersebut.
Sesudah masa prasejarah, di kawasan Lampung sebagian besar langsung mendapat pengaruh budaya Islam yang masuk melalui Kesultanan Banten. Pada masa Banten berada pada masa puncak, yaitu masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1552 – 1570) hingga masa pemerintahan Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqien (1801 – 1802), Lampung berada di bawah kontrol Banten. Sultan Hasanuddin pernah mengadakan perjalanan ke Lampung, Indrapura, dan Solebar (Bengkulu). Hubungan antara Banten dengan Lampung juga diceritakan dalam tradisi orang-orang Abung. Menak Paduka dan Menak Kemala Bumi pernah datang di Banten untuk minta bantuan Sultan Hasanuddin dengan mempersembahkan pengakuan kekuasaan tertinggi Tulangbawang kepada Banten. Pada waktu itu selain Tulangbawang terdapat kerajaan Balau. Pada masa kemudian Balau dapat disatukan dengan Tulangbawang melalui perkawinan antara Menak Kemala Bumi dengan putri Raja Balau. Oleh Sultan Hasanuddin, Menak Paduka diberi gelar Patih Jarumbang dan Menak Kemala Bumi diberi gelar Patih Prajurit. Kedua tokoh ini kemudian masuk Islam dan selanjutnya melaksanakan islamisasi di daerah Lampung (Djajadiningrat, 1983). Kasus melakukan pengakuan kekuasaan tertinggi dalam istilah Lampung disebut siba, yang tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Tulangbawang saja tetapi Masyarakat Abung juga melakukannya. Pengaruh kuat Banten terhadap Lampung juga menyangkut sistem religi yang sebelumnya berupa tradisi megalitik selanjutnya berganti ke Islam. Namun demikian, tradisi megalitik yang ada pada masyarakat masih mewarnai budaya Islam. Berdasarkan hal itu, penelitian ini akan menggali jejak tradisi megalitik pada masyarakat di kawasan hulu Way Pengubuhan tersebut.
Penelitian
ini berusaha untuk mengkaji bentuk budaya tradisi megalitik yang ada pada
masyarakat di kawasan hulu Way Pengubuhan. Bentuk budaya yang dimaksudkan
meliputi budaya materi, seperti bekas
permukiman dan peralatan yang dipergunakan dalam ritual pemujaan kepada arwah
nenek moyang serta budaya dalam bentuk perilaku masyarakat,
seperti aktivitas dalam ritual pemujaan kepada arwah leluhur yang masih
tersisa. Sasaran penelitian dilakukan terhadap situs Keramat Gedong Ratu dan
Keramat Teluk. Dua situs ini dinilai masih mengandung tiggalan-tinggalan yang
bisa menjawab permasalahan penelitian.
Metode
yang digunakan dalam kajian ini adalah metode kualitatif yang bersifat
deskriptif analisis. Penelitian kualitatif berusaha mengkonstruksi realitas
dan memahami maknanya
dengan analisis tematik (Somantri, 2005). Penelitian kualitatif lebih mengutamakan penggunaan logika
induktif
di mana kategorisasi dimunculkan dari data-data
yang ditemukan. Sehingga penelitian kualitatif bercirikan informasi yang
berupa
ikatan konteks yang akan menggiring pada pola-pola
atau teori yang
akan menjelaskan fenomena
yang ada (Creswell, 1994: 4-7). Dalam metode deskriptif, setelah dilakukan
klasifikasi data kemudian dilakukan analisis dengan membandingkan terhadap
berbagai fenomena-fenomena tertentu yang sejenis. Data yang dipakai
untuk mengkaji permasalahan merupakan hasil penelitian Balai Arkeologi Bandung
pada tahun 2007 dan 2008. Selain itu juga diperkuat dengan data pustaka yang
berkaitan dengan kajian di situs tersebut.
Salah satu unsur kebudayaan adalah sistem religi. Religi dapat
dipahami
sebagai tindakan yang mengindikasikan kepercayaan dan keinginan untuk
menghormati, dan menyenangkan kekuatan
ilahi yang berkuasa. Sistem religi memerlukan kerangka
kepercayaan yang berhubungan dengan kekuatan gaib
atau manusia super. Di dunia lain makhluk super yang
dikonsep oleh manusia
memiliki tempat dalam
peta dunia kognitif bersama (Renfrew dan Bahn, 1991: 358). Religi dalam unsur
budaya mengalami proses perubahan dan perkembangan.
Tradisi
megalitik merupakan akar sistem religi yang mulai berkembang pada masyarakat
prasejarah khususnya pada masa bercocok tanam. Salah satu aspek yang sangat
menonjol pada tradisi megalitik adalah sikap terhadap alam kehidupan sesudah
mati. Masyarakat pada masa itu percaya bahwa roh seseorang tidak lenyap pada
saat orang meninggal, tetapi dianggap mempunyai kehidupan di alamnya
tersendiri. Pada waktu penguburan, terutama bagi mereka yang dianggap
terkemuka, diselenggarakan upacara yang sangat mencolok. Upacara-upacara akan
dilakukan secara berkala dan mencapai puncaknya dengan pendirian bangunan
megalitik.
Secara
umum, pendirian bangunan megalitik berhubungan erat dengan kepercayaan akan
adanya hubungan antara yang hidup dengan yang sudah mati, terutama kepercayaan
akan adanya pengaruh kuat dari yang telah mati terhadap kesejahteraan
masyarakat dan kesuburan tanaman. Jasa dari seorang kerabat yang telah mati
diabadikan dengan mendirikan bangunan batu besar. Bangunan ini kemudian menjadi
medium penghormatan, tempat singgah, dan sekaligus sebagai lambang si mati
(Soejono, 1990: 205). Bentuk bangunan sebagai lambang leluhur yang telah
meninggal misalnya menhir, arca menhir, dan arca-arca sederhana yang biasa
disebut dengan istilah arca tipe polinesia atau arca megalitik. Bentuk-bentuk
lambang leluhur biasanya ditempatkan pada bangunan berundak atau pada
lokasi-lokasi yang dianggap mewakili dunia roh seperti misalnya gunung. Selain gunung, lokasi yang ditinggikan juga biasa
dipakai untuk menempatkan megalitik.
Mengacu
pada istilah “megalitik” biasanya dikaitkan dengan batu besar. Namun demikian
unsur utama pada tradisi megalitik adalah pemujaan kepada arwah leluhur. F.A
Wagner menyatakan bahwa pada masyarakat tertentu objek-objek batu lebih kecil
dan bahan lain seperti kayu pun termasuk dalam klasifikasi megalitik
bila benda-benda itu jelas dipergunakan untuk tujuan sakral tertentu, yaitu
pemujaan kepada arwah leluhur (Soejono, 1990: 207 – 208).
Hasil Dan Pembahasan
Gambaran Umum Kawasan
Way
Pengubuhan bermata air di Tangkit Tebak, salah satu puncak di Bukit Barisan. Kawasan
hulu Way Pengubuhan berada di sebelah timur Bukit Barisan. Topografi kawasan
hulu Way Pengubuhan merupakan pedataran sedikit bergelombang. Ketinggian
kawasan ini sekitar 50 m dari permukaan laut. Pada beberapa lokasi dijumpai
bukit-bukit kecil dengan ketinggian sekitar 70 m dari permukaan laut.
Cerita
Sejarah Masyarakat
Situs Gedong Ratu atau juga disebut Talang Keramat,
merupakan bekas permukiman masyarakat Selagai. Masyarakat
Selagai atau dalam istilah lokal disebut buay
Selagai merupakan salah satu anggota klan Abung Siwo Mego yang terdiri dari
sembilan marga. Sumber sejarah tentang asal usul Masyarakat Selagai bersumber
dari cerita tutur beberapa tokoh masyarakat yang didapatkan dari warisan
generasi ke generasi. Selain itu juga dari catatan-catatan yang ditulis oleh
beberapa tokoh masyarakat. Sumber data berupa
tradisi lisan memang mempunyai kelemahan, karena ingatan turun temurun tidak
terlepas dari kemungkinan ditambah, dikurangi, atau direkayasa sesuai dengan
imajinasi, kepentingan, dan tujuan penutur. Namun selama sumber sejarah yang
lebih valid belum ditemukan, penggunaan tradisi lisan dapat membantu kajian
arkeologi dalam memahami kaitan budaya dengan suatu situs (Lubis, 2000: 10;
Anyon, 1996).
Tradisi lisan tentang asal usul sejarah Buay Selagai terdapat banyak versi. Meskipun demikian, semuanya bermula pada satu pokok pangkal yaitu Kedatuan Di Puncak. Salah satu versi bersumber dari masyarakat Gedong Ratu (Saptono, 2007). Pada sekitar abad ke-17 keturunan Datu Di Puncak ada yang bermukim di wilayah Gedong Ratu. Keturunan ini pada saat sekarang di antaranya bermukim di tiga kampung yaitu Negeri Agung, Tanjung Ratu, dan Negeri Katon, Kecamatan Selagai Lingga, Kabupaten Lampung Tengah. Tokoh-tokoh yang membuka kampung tersebut adalah Sutan Jumat Tuha, Makam Jebi, Rangga Masang, Minak Makecil, dan Ngediko Datuk.
Pada kurun waktu antara abad ke-16 hingga ke-17, diceritakan bahwa setelah pindah dari Gilas salah satu keturunan Datu Di Puncak yang bernama Minak Rio Lagai pindah ke Gedong Harta. Minak Rio Lagai mempunyai dua istri, yang pertama bernama Putri Ogan berasal dari Sahur Naga, Kampung Semengeh (Ogan). Perkawinannya dengan Putri Ogan, menurunkan dua anak, yaitu Lingga dan Bussuk. Istri kedua Minak Rio Lagai tidak diketahui namanya, menurunkan satu anak bernama Dendeng.
Tradisi lisan tentang asal usul sejarah Buay Selagai terdapat banyak versi. Meskipun demikian, semuanya bermula pada satu pokok pangkal yaitu Kedatuan Di Puncak. Salah satu versi bersumber dari masyarakat Gedong Ratu (Saptono, 2007). Pada sekitar abad ke-17 keturunan Datu Di Puncak ada yang bermukim di wilayah Gedong Ratu. Keturunan ini pada saat sekarang di antaranya bermukim di tiga kampung yaitu Negeri Agung, Tanjung Ratu, dan Negeri Katon, Kecamatan Selagai Lingga, Kabupaten Lampung Tengah. Tokoh-tokoh yang membuka kampung tersebut adalah Sutan Jumat Tuha, Makam Jebi, Rangga Masang, Minak Makecil, dan Ngediko Datuk.
Pada kurun waktu antara abad ke-16 hingga ke-17, diceritakan bahwa setelah pindah dari Gilas salah satu keturunan Datu Di Puncak yang bernama Minak Rio Lagai pindah ke Gedong Harta. Minak Rio Lagai mempunyai dua istri, yang pertama bernama Putri Ogan berasal dari Sahur Naga, Kampung Semengeh (Ogan). Perkawinannya dengan Putri Ogan, menurunkan dua anak, yaitu Lingga dan Bussuk. Istri kedua Minak Rio Lagai tidak diketahui namanya, menurunkan satu anak bernama Dendeng.
Anak Minak Rio Lagai yang bernama Lingga mempunyai tiga
anak. Anak tertua bernama Rio Sidang Mula Jadi, anak kedua bernama Rio Sidang
Penatih, dan anak ketiga bernama Rio
Sidang Penatu. Selanjutnya Rio Sidang Mula Jadi mempunyai empat anak yaitu
Sutan Jumat Tuha, Makam Jebbi, Rangga Masang, dan Ngediko Datuk. Sekarang ini
masyarakat marga Selagai yang bermukim di Kampung Tanjung Ratu dan Negeri Katon
merupakan keturunan Sutan Jumat Tuha, Makam Jebi, dan Rangga Masang. Adapun Ngedika Datuk menurunkan sebagian masyarakat Negeri Agung.
Anak Minak Rio Lagai yang kedua, yaitu Rio Sidang Penatih
mempunyai satu anak bernama Minak Makecil. Keturunan Minak Makecil merupakan
sebagian masyarakat yang bermukim di Negeri Agung. Adapun Rio Sidang Penatu
sebagai anak ketiga Minak Rio Lagai diceritakan juga mempunyai menurunkan anak
tetapi tidak jelas namanya. Keturunannya yang sekarang merupakan masyarakat
yang bermukim di Negeri Katon.
Keturunan para moyang yang sekarang termasuk dalam
masyarakat marga Selagai terdiri dari delapan kebuayan. Buay Selagai Lingga
merupakan masyarakat yang bermukim di Kampung Negeri Katon, Negeri Agung,
Tanjung Ratu, dan Gedong Harta. Buay Selagai Bussuk bermukim di daerah Gedong
Raja. Buay Selagai Dendeng bermukim di daerah Pekurun. Buay Selagai Runjung,
Buay Selagai Liyah, Buay Selagai Tangguk, Buay Selagai Ghanda, dan Buay Selagai
Pepen bermukim di Daerah Gedong Wani, Lampung Timur tepatnya di Kampung
Nyampir, Kecamatan Marga Tiga.
Catatan
penting yang diceritakan dalam tradisi lisan masyarakat Selagai adalah
peristiwa siba ke Banten dan
permainan bola. Tentang siba ke
Banten diceritakan dilakukan oleh tiga orang moyang Selagai yaitu Sutan Jumat
Tuha, Rangga Masang, dan Makam Jebi. Ketika pulang kembali ke Selagai, Sultan
Banten memberi lawang kuri. Sutan
Jumat Tuha tidak kembali ke Selagai tetapi menetap di Negeri Katon, Gedong
Wani.
Selain peristiwa siba, diceritakan pula mengenai
permainan bola besi. Kesultanan Banten
mengajak bermain bola besi (bola gassou) melawan Selagai. Tiga orang tokoh dari Selagai yaitu Rangga Masang, Sutan Jumat Tuha, dan Minak Makecil berangkat ke Banten melalui pelabuhan Meringgai. Pertandingan dilangsungkan di Banten. Tendangan bola besi ke atas yang dilakukan oleh
Rangga Masang sangat tinggi sehingga ketika bola kembali jatuh masuk ke tanah
sangat dalam. Dengan hasil seperti itu, pihak Selagai dinyatakan sebagai
pemenang. Mengenai sejarah masyarakat yang tinggal di Keramat
Teluk, masyarakat yang sekarang tinggal di kampung dekat situs itu tidak banyak
mengetahui. Hal ini terjadi karena mereka merupakan pendatang dari Banten.
Fakta Arkeologis
- Situs Gedong Ratu
Situs Gedong Ratu atau Talang Keramat berada pada posisi 4°58’39,5” LS dan 104°54’27,7” BT. Lokasi ini berada pada kelokan Way
Pengubuhan yang mengalir di sebelah barat dan utara situs. Secara administratif
situs ini berada di Dusun Talang Keramat, Kampung Sri Mulyo, Kecamatan Anak Ratu
Aji, Lampung Tengah. Lokasi ini dahulu merupakan bekas Kampung Gedong Ratu yang merupakan perkampungan masyarakat marga Selagai
Lingga. Masyarakat Selagai Lingga menunjuk lokasi Talang Keramat dengan sebutan
Keramat Gedong Ratu karena merupakan bekas Kampung Gedong Ratu. Berbeda
dengan masyarakat Sri Mulyo lebih mengenal dengan sebutan Talang
Keramat karena berada di Dusun Talang Keramat, atau Keramat Tujuh karena di
lokasi tersebut terdapat tujuh makam yang dikeramatkan.
Jejak-jejak perkampungan sudah sulit
dikenali karena pada sekitar tahun 1985 lahan tersebut dijadikan persawahan.
Sebelum dijadikan sawah lahan tersebut banyak ditumbuhi bambu. Salah satu fitur
yang tersisa adalah kompleks makam yang dikeramatkan. Lahan kompleks makam
keramat seluas 900 m2 dibatasi jajaran pohon jati. Kondisi makam
berupa tujuh gundukan tanah berdenah bundar tanpa dilengkapi nisan. Tokoh-tokoh yang dimakamkan di Talang Keramat
adalah moyang masyarakat Selagai yang terdiri dari Sutan Jumat Tuha, Makam Jebi, Rangga Masang, Minak Merajalela, Ngedika
Datuk, dan Minak Mekecil, serta seorang tokoh yang bukan merupakan moyang
masyarakat Selagai.
Makam terbesar dan tertinggi berada di bagian tengah
lahan merupakan makam Rangga Masang. Makam tersebut berdiameter sekitar 9 m
dengan tinggi gundukan sekitar 135 cm. Di sebelah barat daya makam Rangga
Masang merupakan makam Sutan Jumat Tuha. Makam ini berdiameter sekitar 8 m
dengan tinggi gundukan sekitar 80 cm. Di sebelah tenggara makam Rangga Masang
adalah makam Makam Jebi. Makam ini sedikit lebih kecil yaitu berdiameter
sekitar 5,5 m dengan tinggi gundukan sekitar 50 cm. Makam keempat adalah makam
Minak Makecil. Makam ini berada di sebelah timur laut makam Rangga Masang.
Diameter makam sekitar 5,20 m dan ketinggian gundukannya adalah sekitar 40 cm.
Selanjutnya di sebelah utara agak ke arah timur dari makam Rangga masang
merupakan makam Ngedika Datuk. Makam ini berdiameter sekitar 9 m dengan tinggi
gundukan sekitar 90 cm. Di sudut barat laut kompleks makam terdapat makam Minak
Merajalela. Makam ini berdiameter sekitar 6 m dengan ketinggian gundukan
sekitar 50 cm.
Selain keenam makam tersebut, terdapat satu makam lagi
yaitu berada di sebelah timur laut kompleks makam. Makam ini berdiameter
sekitar 6 m dengan ketinggian gundukan sekitar 75 cm. Mengenai tokoh yang
dimakamkan terdapat keterangan yang berbeda-beda. Menurut penjelasan Bapak
Suttan Bandar, tokoh yang dimakamkan adalah Ratu Sandaran Bumi. Berbeda dengan
keterangan Bapak Suttan Bandar, menurut Bapak Ali Dinata dan Bapak Sederhana,
makam tersebut adalah makam Syekh Nurdin Junjungan Sekalian Alam. Bapak Badrus
memberi keterangan yang berbeda lagi. Menurut keterangan beliau, tokoh yang
dimakamkan adalah Putri Sinar Ogan.
Selain komplek makam keramat, peninggalan moyang Selagai
ada yang berupa benda-benda kuna. Masyarakat Selagai ada yang masih menyimpan
benda-benda kuna warisan dari para leluhurnya. Bapak Surya Lingga sebagai
keturunan Sutan Jumat Tuha menyimpan beberapa benda kuna di antaranya ada yang
merupakan peninggalan Sutan Jumat Tuha. Benda-benda kuna tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Patung
tokoh yang digambarkan secara statis terbuat dari bahan kayu. Kepala patung
diberi kopiah berwarna putih. Bagian muka dilengkapi kumis dan berjanggut.
Bibir diberi warna kemerahan dari bahan cat. Bagian badan ditutup kain putih.
Kemungkinan dilengkapi tangan dalam posisi berkacak pinggang. Bagian kaki juga
tertutup kain putih, kemungkinan tidak dilengkapi kaki. Patung ini merupakan
perwujudan dari Sutan Jumat Tuha.
2.
Tombak atau payan
terdiri tiga buah.
3.
Tiruan
“bola besi” terbungkus kain putih. Menurut keterangan Bapak Surya Lingga bola
tersebut terbuat dari karet.
4.
Sepasang
simbal (rujih) terbuat dari bahan
perunggu. Salah satu rujih tersebut
sudah pecah pada salah satu bagiannya.
5.
Gong
(tala) terbuat dari bahan perunggu
6.
Tongkat
kayu (cis)
7.
Bokor
dari kayu
8.
Beberapa
naskah kuna, mungkin Al Quran
9.
Keropak
berhuruf Lampung terdiri 12 bilah.
Patung perwujudan Sutan Jumat Tuha dan beberapa benda kuna yang dipercaya sebagai peninggalan Sutan Jumat Tuha |
Benda-benda tersebut dipakai dalam upacara adat (begawi adat). Pada saat pelaksanaan
upacara terlebih dahulu melakukan permohonan ijin kepada arwah Sutan Jumat Tuha
melalui patung perwujudan. Selanjutnya barang-barang kuna yang ada dikeluarkan
untuk mengiringi peralatan yang akan digunakan dalam upacara.
- Situs Keramat Teluk
Situs Keramat Teluk berada di bagian paling utara
kawasan Hulu Way Pengubuhan (Tim Peneliti, 2008). Secara geografis berada pada posisi 4°54’10.8”
LS dan 104°59’35.5” BT. Way Pengubuhan merupakan anak
Way Seputih yang mengalir di
sebelah barat dan selatan situs. Lahan Situs Keramat Teluk
luasnya sekitar 3 hektar yang berbatasan dengan rawa di sebelah utara, sebelah timur benteng tanah, sebelah
selatan Way Pengubuhan, dan sebelah barat adalah sungai kecil. Sungai ini
semula adalah parit yang kemudian dimodifikasi masyarakat dengan cara menggiring
kerbau bolak-balik sehingga terbentuk sungai kecil. Di sebelah utara rawa dan
timur serta selatan lahan pada
seberang Way Pengubuhan merupakan kebun singkong. Tidak demikian halnya di sebelah barat lahan pada seberang sungai kecil selain kebun singkong juga merupakan kebun karet.
Way Pengubuhan yang mengalir di
sebelah selatan situs pada umumnya berlereng terjal. Lereng landai dijumpai di
sebelah tenggara situs. Di tengah lahan situs terdapat jalan tanah yang
lebarnya sekitar sekitar 3 m, membujur arah barat-timur. Jalan ini merupakan
prasarana bagi masyarakat untuk menuju makam keramat dan ke ladang. Pada lahan
situs terdapat dua lajur parit kuna yang membagi lahan menjadi tiga halaman.
Lahan Timur. Lahan bagian timur pada saat sekarang merupakan lahan
yang dimanfaatkan untuk perkebunan dan pertanian. Pada bagian utara jalan tanah
untuk perkebunan karet yang diselingi singkong. Di bagian selatan jalan tanah
untuk lahan pertanian singkong. Pada saat dilakukan penelitian, lahan tersebut
masih dalam tahap dibajak untuk segera ditanami. Pada sisi timur bagian selatan
terdapat fitur benteng tanah dengan orientasi utara – selatan. Lebar benteng
sekitar 4 m dengan ketinggian antara 1 – 1,5 m. Di lahan bagian utara, fitur
benteng tidak ditemukan. Fitur benteng baru ditemukan lagi pada ujung utara.
Pada sisi barat lahan timur
terdapat parit yang menghubungkan rawa dengan Way Pengubuhan. Di bagian
selatan, orientasi parit lurus utara – selatan, sedangkan pada bagian utara
mengalami pembelokan ke arah barat laut. Lebar parit berkisar antara 7 – 8 m
dengan kedalaman sekitar 3 m. Parit ini merupakan batas antara lahan timur dan
lahan tengah.
Di tepi sebelah timur bagian utara parit terdapat batu berdiri dari jenis batuan andesit. Bentuk batu tidak beraturan mendekati bentuk heksagonal. Batu berbentuk demikian ini merupakan hasil proses alami kekar tiang (columnar joint). Tinggi batu 55 cm dengan bagian sisi paling lebar 65 cm. Batu berdiri ini kemungkinan sebagai menhir.
Di tepi sebelah timur bagian utara parit terdapat batu berdiri dari jenis batuan andesit. Bentuk batu tidak beraturan mendekati bentuk heksagonal. Batu berbentuk demikian ini merupakan hasil proses alami kekar tiang (columnar joint). Tinggi batu 55 cm dengan bagian sisi paling lebar 65 cm. Batu berdiri ini kemungkinan sebagai menhir.
Lahan Tengah. Lahan bagian tengah dibatasi dua parit yaitu parit
sisi timur dan sisi selatan. Parit sisi timur memisahkan lahan timur dengan
lahan tengah, sedangkan parit sisi barat merupakan pemisah antara lahan tengah
dan lahan barat. Memasuki bagian halaman ini, jalan tanah yang berada di tengah
lahan sejak dari parit sisi timur mengalami sedikit pembelokan ke arah barat
laut. Kondisi lahan pada saat sekarang terbagi dua bagian. Bagian timur
merupakan kebun singkong yang digarap oleh Bapak Safrudin dan bagian barat
merupakan komplek makam umum yang di dalamnya terdapat makam yang dikeramatkan.
Pada bagian timur, yaitu di
tepi jalan sisi timur, terdapat batu panjang (batu 2) dari bahan andesit dalam posisi rebah
sejajar dengan jalan tanah. Masyarakat setempat menamakan batu tersebut “batu
lesung”. Batu tersebut juga merupakan kekar tiang alami berbentuk
heksagonal dengan ukuran 105 cm, lebar 60 cm, dan tebal 50 cm. Masyarakat
mengkeramatkan batu ini karena menurut cerita, dahulu pada malam-malam tertentu
sering terdengar suara musik tradisional (gamelan) yang bersumber dari batu
ini.
Pada komplek makam umum di
lahan tengah bagian barat banyak ditumbuhi pohon bambu. Setelah memasuki bagian
halaman ini berjarak sekitar 10 m, jalan tanah bercabang ke arah baratdaya dan
barat laut. Jalan tanah yang ke arah baratdaya menuju ke halaman makam keramat,
sedangkan yang ke arah baratlaut menuju ke bagian halaman barat. Di dekat
persimpangan jalan tersebut, yaitu pada sisi utara jalan yang menuju ke halaman
makam keramat terdapat batu (batu 3) alam yang tidak dibentuk tetapi terbentuk secara alami merupakan hasil
proses intrusi. Batu tersebut juga berbahan andesit berukuran panjang 40 cm, lebar 40 cm, dan tebal 38 cm.
Pada
bagian selatan lahan ini terdapat komplek makam kuna yang dikeramatkan. Komplek
makam dikelilingi pagar tembok dengan bagian selatan terdapat bangunan semacam rumah
kecil untuk para peziarah. Pintu masuk ke berada di sisi timur dan barat
juga terdapat pintu. Bagian utara terbuka tanpa dinding, langsung menghubungkan
dengan halaman yang di dalamnya terdapat dua makam keramat.
Tokoh
yang dimakamkan adalah Tubagus Sayidin Mustofa dan Siti Badariah. Makam Tubagus
Sayidin Mustofa berada di bagian selatan halaman. Bagian halaman ini berlantai
plester semen. Kondisi makam tidak dilengkapi jirat, tetapi tanahnya agak meninggi.
Nisan makam hanya satu, dibungkus beberapa lembar kain putih sehingga tidak
kelihatan bentuk aslinya. Menurut keterangan Bapak Kamidin, juru kunci, nisan
merupakan batu berukir berbentuk bulat panjang.
Makam
Siti Badariah berada di halaman bagian utara. Bagian halaman ini tidak
berplester semen. Menurut keterangan Bapak Kamidin, Siti Badariah adalah anak
Sultan Hasanuddin dari Banten. Siti Badariah kemungkinan adalah isteri Tubagus
Sayidin Mustofa. Kondisi makam juga tidak dilengkapi jirat. Pada makam ini
tanahnya rata. Nisan terdiri dua buah yang keduanya dibungkus kain putih. Di
sebelah barat makam terdapat beberapa makam juru kunci.
Masyarakat
setempat tidak mengetahui sejarah Tubagus Sayidin Mustofa. Menurut informasi Nawawi
(70 th), Tubagus Sayidin Mustofa adalah tokoh yang membuka kampung di Teluk
Betung. Setelah kampung Teluk Betung jadi, dia pindah dan membuka perkampungan di
Keramat Teluk. Cerita lain menyebutkan bahwa yang membuka kampung di Teluk
Betung adalah adik Tubagus Sayidin Mustofa. Apa peranan Tubagus Sayidin Mustofa
di Keramat Teluk juga tidak terceritakan. Sedangkan cerita mengenai peranan
Siti Badariah, menurut keterangan Kamidin (65 th), juru kunci makam, beliau
ditugaskan Sultan Hasanuddin untuk menyebarkan Islam di kampung tersebut.
Lahan Barat. Antara lahan bagian
tengah dan lahan bagian barat terdapat parit. Parit ini menghubungkan antara
Way Pengubuhan dan rawa. Panjang parit secara keseluruhan sekitar 180 m.
Orientasi parit dari tepian Way Pengubuhan ke arah utara agak ke timur. Tepat
pada jalan tanah mengalami pembelokan sedikit ke arah timur. Lebar parit
berkisar 4 – 6 m dengan kedalaman bervariasi antara 1,5 m hingga 4 m. Batas
sisi barat berupa sungai kecil yang menghubungkan rawa dengan Way Pengubuhan.
Sungai kecil ini merupakan sungai buatan. Menurut keterangan, penggalian sungai
kecil ini diprakarsai oleh Abah Adung dalam rangka pencetakan lahan sawah yang
berada di sebelah timur laut situs, dekat dengan perkampungan.
Kondisi
lahan bagian barat pada saat penelitian dilakukan merupakan kebun karet yang
diselingi dengan singkong dan jagung. Lahan ini merupakan milik Ibu Mas’ah.
Kondisi kebun relatif rata. Bagian selatan lebih tinggi dari pada bagian utara.
Sisi selatan merupakan tebing Way Pengubuhan dan sisi barat merupakan tebing
sungai kecil dengan kondisi sangat curam. Adapun sisi
utara melandai hingga ke tepian rawa.
Di
luar lahan situs sebelah timur, pada sisi sebelah utara jalan tanah menuju
komplek situs terdapat patahan batu alam berjenis
andesit berbentuk
heksagonal (batu 4) sebagaimana menhir, batu lesung, dan batu kodok. Batu ini
berada di bawah pohon rambutan. Ukuran batu ini adalah panjang 40 cm, lebar 36
cm, dan tebal 28 cm.
Jejak
Tradisi Megalitik
Tradisi
megalitik pada dasarnya adalah pemujaan kepada arwah nenek moyang. Wujud budaya
ini bisa berupa tingkah laku dan juga benda hasil karya manusia. Hal yang
terjadi pada masyarakat Selagai, pengagungan dan pemujaan kepada arwah nenek
moyang, dalam hal ini Sutan Jumat Tuha, diekspresikan dengan patung kayu.
Bentuk pengagungan dilakukan pada setiap pelaksanaan begawi adat. Meskipun dalam pelaksanaan upacara bernuansa islami,
namun bila diperhatikan masih terdapat unsur pemujaan kepada
arwah nenek moyang (Sutan Jumat Tuha). Bagaimana unsur bentuk tradisi megalitik
tersebut dapat dijelaskan melalui perbandingan dengan tradisi megalitik pada
beberapa kelompok masyarakat.
Di
TanaToraja terdapat tradisi yang mirip dengan ekspresi religi masyarakat
Selagai. Harun Kadir mencatat bahwa pada masyarakat Tana Toraja terdapat
tradisi pengagungan kepada tokoh
leluhur, dengan pembuatan patung kayu yang disebut dengan istilah tau-tau. Pada saat tertentu tau-tau diberi pakaian lengkap dengan
sesaji. Tau-tau di Tana Toraja
ditemukan di banyak lokasi misalnya Kete, Lemo, Loko, Mata, Londa, Suaya
(Sangalla), dan Mengkepe (Yondri, 1996: 16). Masyarakat Dayak di Kalimantan
dalam berhubungan dengan arwah nenek moyang juga melalui upacara yang
menggunakan perlengkapan berupa patung terbuat dari kayu. Patung-patung tersebut
lazim disebut dengan istilah pantak, hampatung, belontang, tempatung, parekan, atau pontok (Yondri, 1999: 22). Patung-patung tersebut ada yang
ditempatkan di ujung desa, di depan rumah, dan ada juga yang ditempatkan di
kompleks kuburan.
Pada
masyarakat Selagai, patung kayu perwujudan Sutan Jumat Tuha tidak ditempatkan
pada lokasi khusus tetapi tersimpan pada salah satu keluarga (Bapak Surya
Lingga), mungkin merupakan salah satu penyimbang
adat. Patung kayu akan dibawa ke tempat pelaksanaan begawi adat untuk permohonan ijin dan berkah. Unsur permohonan
berkah tidak hanya dipusatkan pada patung perwujudan Sutan Jumat Tuha tetapi
juga kepada peralatan yang dipercaya sebagai peninggalan Sutan Jumat Tuha.
Benda-benda seperti tombak, cis, rujih,
gong, bokor, naskah kuna, dan keropak disertakan
dalam upacara dan disatukan dengan peralatan yang akan dipergunakan. Penyertaan
ini dimaksudkan agar peralatan upacara yang akan dipakai terhindar dari hal-hal
yang tidak diinginkan.
Pada
pelaksanaan upacara penghormatan kepada arwah Sutan Jumat Tuha juga dilakukan
permainan bola gassou. Permainan ini
mengikuti apa yang pernah dilakukan para moyang ketika bermain bola besi di
Banten. Bagaimana bentuk permainan tersebut belum dapat disaksikan, namun
berdasarkan penuturan, bola disepak ke atas dan kemudian dibiarkan jatuh.
Tinggi bola menjadi faktor penentu kemenangan. Dalam hal ini yang perlu
diperhatikan adalah adanya permainan yang disakralkan. Replika bola besi menjadi
benda yang disakralkan, mengingatkan pada adanya batu dakon pada komplek situs
megalitik yaitu merupakan alat permainan.
Menurut
pengamatan R.P. Soejono pada masyarakat di Sulawesi Selatan, terdapat kebiasaan
mengadakan permainan dakon (congklak) pada waktu menunggui orang meninggal.
Kaitan antara dakon dengan upacara kematian juga dikemukakan oleh Teguh Asmar
bahwa batu dakon banyak digunakan dalam upacara kematian dan biasanya ditemukan
di sekitar bangunan megalitik yang merupakan kuburan. Di Sulawesi Tengah
terdapat batu dakon yang berada tidak jauh dari kalamba. Pada masa sekarang di
Sulawesi Selatan, Flores, dan Timor masih ditemukan batu dakon di kompleks
kuburan Islam maupun Kristen. Di daerah Purbalingga, tidak jauh dari kompleks
makam penduduk juga terdapat batu dakon. Hal ini memberikan gambaran bahwa
permainan dakon ada yang berhubungan dengan upacara kematian (Sumijati, 1980:
105). Contoh lain mengenai aktivitas permainan yang berkaitan dengan tradisi
megalitik misalnya lompat batu di Nias.
Berdasarkan
uraian dan perbandingan dengan beberapa masyarakat yang masih mempunyai tradisi
megalitik, masyarakat Selagai di Lampung juga mempunyai bentuk kebudayaan
berupa tradisi megalitik yang berpusat pada pemujaan kepada arwah leluhur.
Unsur budaya megalitik tersebut berupa patung kayu perwujudan dari Sutan Jumat
Tuha. Selain itu juga terdapat beberapa benda yang berfungsi sebagai
kelengkapan upacara pemujaan kepada arwah leluhur. Bentuk tradisi budaya
megalitik yang bersifat intangible
adalah upacara pemujaan yang disertai dengan adanya permainan sakral. Pada
masyarakat pendukung tradisi budaya megalitik misalnya adalah permainan
congklak. Bentuk permainan sakral yang dilakukan oleh masyarakat Selagai adalah
permainan bola gassou. Menurut cerita
lisan yang berkembang, permainan ini merupakan peringatan terhadap permainan
yang dilakukan oleh Sutan Jumat Tuha ketika berada di Banten. Dengan demikian
unsur permainan merupakan hasil budaya dari masa Islam yang turut serta memberi
warna dalam tradisi budaya megalitik.
Jejak tradisi megalitik juga terlihat dari kelengkapan suatu pemukiman. Masyarakat yang bermukim di kawasan hulu Way Pengubuhan merupakan masyarakat tribe. Masyarakat ini sudah menetap di suatu lokasi, dengan matapencaharian bercocok tanam dan memelihara binatang. Anggota masyarakat masih dalam satu kekerabatan. Pemimpin diambil dari salah satu anggota masyarakat yang dianggap mempunyai kelebihan dari yang lain (Renfrew dan Bahn, 1991: 156-157). Pada beberapa kampung yang masih melanjutkan tradisi megalitik terdapat unsur bangunan seperti misalnya menhir. Gambaran tentang perkampungan megalitik terlihat pada struktur dan unsur permukiman di situs Keramat Teluk. Perkampungan kuna di Keramat Teluk berdasarkan jejak-jejak yang ada menunjukkan sebagaimana pemukiman di Lampung yaitu dibatasi dengan benteng tanah dan parit keliling. Struktur kampung di situs Keramat Teluk juga dibatasi benteng dan parit. Pola pemukiman terlihat memanjang mengikuti aliran sungai. Batas sebelah timur pemukiman adalah benteng yang membentang dari tepi sungai hingga tepi rawa, di sebelah utara pemukiman. Batas sebelah barat berupa sungai kecil. Pada lahan pemukiman terdapat dua lajur parit buatan yang membagi lahan pemukiman menjadi tiga bagian.
Pada lahan tersebut selain dijumpai tinggalan yang bersifat profan seperti bekas perkampungan dan bekas aktivitas bermukim, juga dijumpai tinggalan yang bersifat sakral. Berdasarkan tinggalan sisa aktivitas bermukim, terlihat bahwa pola hunian berada di sisi tepi sungai, memanjang mengikuti aliran sungai. Jalan masuk ke komplek pemukiman berada pada sebelah tenggara situs, yaitu pada bagian tebing sungai yang landai. Bagian depan pemukiman berada di bagian sisi timur. Pada bagian ini terdapat batu berdiri yang sudah patah. Beberapa patahan batu tersebut masih bisa dijumpai di lahan situs. Dengan memperhatikan bentuk dan ukuran batu, menunjukkan bahwa batu tersebut adalah menhir. Bentuk permukiman semacam ini juga dijumpai di situs Benteng Majapahit (Laili, 2007), Kampung Pekurun, Kecamatan Abung Tengah, Lampung Utara. Pada lahan yang diperkirakan bagian depan terdapat menhir. Berdasarkan kondisi demikian, permukiman di Keramat Teluk masih meninggalkan jejak tradisi megalitik berupa menhir.
Simpulan
Jejak tradisi megalitik juga terlihat dari kelengkapan suatu pemukiman. Masyarakat yang bermukim di kawasan hulu Way Pengubuhan merupakan masyarakat tribe. Masyarakat ini sudah menetap di suatu lokasi, dengan matapencaharian bercocok tanam dan memelihara binatang. Anggota masyarakat masih dalam satu kekerabatan. Pemimpin diambil dari salah satu anggota masyarakat yang dianggap mempunyai kelebihan dari yang lain (Renfrew dan Bahn, 1991: 156-157). Pada beberapa kampung yang masih melanjutkan tradisi megalitik terdapat unsur bangunan seperti misalnya menhir. Gambaran tentang perkampungan megalitik terlihat pada struktur dan unsur permukiman di situs Keramat Teluk. Perkampungan kuna di Keramat Teluk berdasarkan jejak-jejak yang ada menunjukkan sebagaimana pemukiman di Lampung yaitu dibatasi dengan benteng tanah dan parit keliling. Struktur kampung di situs Keramat Teluk juga dibatasi benteng dan parit. Pola pemukiman terlihat memanjang mengikuti aliran sungai. Batas sebelah timur pemukiman adalah benteng yang membentang dari tepi sungai hingga tepi rawa, di sebelah utara pemukiman. Batas sebelah barat berupa sungai kecil. Pada lahan pemukiman terdapat dua lajur parit buatan yang membagi lahan pemukiman menjadi tiga bagian.
Pada lahan tersebut selain dijumpai tinggalan yang bersifat profan seperti bekas perkampungan dan bekas aktivitas bermukim, juga dijumpai tinggalan yang bersifat sakral. Berdasarkan tinggalan sisa aktivitas bermukim, terlihat bahwa pola hunian berada di sisi tepi sungai, memanjang mengikuti aliran sungai. Jalan masuk ke komplek pemukiman berada pada sebelah tenggara situs, yaitu pada bagian tebing sungai yang landai. Bagian depan pemukiman berada di bagian sisi timur. Pada bagian ini terdapat batu berdiri yang sudah patah. Beberapa patahan batu tersebut masih bisa dijumpai di lahan situs. Dengan memperhatikan bentuk dan ukuran batu, menunjukkan bahwa batu tersebut adalah menhir. Bentuk permukiman semacam ini juga dijumpai di situs Benteng Majapahit (Laili, 2007), Kampung Pekurun, Kecamatan Abung Tengah, Lampung Utara. Pada lahan yang diperkirakan bagian depan terdapat menhir. Berdasarkan kondisi demikian, permukiman di Keramat Teluk masih meninggalkan jejak tradisi megalitik berupa menhir.
Simpulan
Berdasarkan
tinggalan arkeologi dan tradisi lisan, masyarakat Lampung pernah terkonsentrasi
di daerah Sekalabrak yaitu wilayah di sekitar lereng timur Bukit Barisan dan
lereng Gunung Pesagi. Pada sekitar abad ke-14 terjadi migrasi ke wilayah bagian
selatan Lampung. Pada waktu itu dikenal tokoh pemimpin bernama Datu Di Puncak.
Beberapa keturunan Datu Di Puncak, di antaranya adalah Sutan Jumat Tuha
bermukim di tepi aliran Way Pengubuhan yang perkampungannya dinamakan Gedong
Ratu.
Masyarakat
Selagai keturunan masyarakat yang dahulu bermukim di Gedong Ratu sekarang
bermukim di Kampung Negeri Katon, Negeri Agung, Tanjung Ratu, dan Gedong Harta.
Pada sistem religi masyarakat ini masih mengundung unsur tradisi megalitik
yaitu pemujaan kepada arwah Sutan Jumat Tuha. Sebagai perwujudan dan tempat
bersemayam arwah dibuat patung kayu. Melalui media patung kayu ini masyarakat
memohon izin dan berkah dalam setiap kali melaksanakan begawi adat. Pada pelaksanaan upacara
juga dilakukan permainan sakral berupa bola
gassou. Tradisi megalitik juga terlihat pada perkampungan masyarakat di
situs Keramat Teluk berupa bangunan menhir.
Daftar Pustaka
Anyon,
Roger (et al.). 1996. Native American
Oral Traditions and Archaeology. Bulletin
Society for American Archaeology 14 (2).
http//www.saa.org/publications/SAAbulletin/14-2/SAA14.html. [12/10/2008].
Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative and
Quantitative Approaches.
California: Sage Publications, Inc.
Djajadiningrat,
Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang
Sajarah Banten. Jakarta: Penerbit Djambatan, KITLV.
Hoop,
A.N.J. Th. a. Th. van der, 1932, Megalithic Remains in South Sumatra.
Netherland: Zuthpen.
Indraningsih,
J. Ratna, et al., 1985. Laporan Penelitian Arkeologi Lampung, Berita Penelitian Arkeologi No. 33. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional.
Laili,
Nurul. 2007. Permukiman Situs Benteng Majapahit, Lampung Utara. Dalam
Supratikno
Rahardjo (ed.), Permukiman,
Lingkungan, dan Masyarakat, hlm. 81 – 89. Bandung: Ikatan ahli Arkeologi
Indonesia.
Lubis,
Nina H. 2000. Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat. Bandung: Alqaprint.
Renfrew,
Colin dan Paul Bahn. 1991. Archaeology
Theori, Methods and Practice. London: Thames and Hudson.
Saptono,
Nanang. 1994. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi di Situs Batu Berak,
Sumberjaya, Lampung Barat. Bandung: Balai
Arkeologi Bandung.
Saptono,
Nanang, et al. 2007. Laporan Penelitian Kepurbakalaan Situs Benteng Majapahit
dan Sekitarnya, Pekurun, Selagai Lingga, Lampung Timur. Bandar Lampung: Seksi
Purbanitrad, Subdin Kebudayaan, Dinas Pendidikan Provinsi Lampung.
Sevin,
Olivier. 1989. History and Population. Dalam Transmigration, hlm. 13 –
123. Jakarta: ORSTOM – Departemen Transmigrasi Republik Indonesia.
Soebing,
Abdullah A. 1988. Kedatuan di Gunung
Keratuan di Muara. Jakarta: Karya Unipress.
Soejono,
RP (ed.), 1990. Jaman Prasejarah di Indonesia, Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, P.N. Balai Pustaka.
Somantri,
Gumilar Rusliwa. 2005. Memahami Metode
Kualitatif. Dalam Makara, Sosial Humaniora, Vol. 9, No. 2, Desember
2005: 57-65.
Sukendar,
Haris et al., 1976. Hasil Survai Kepurbakalaan di Daerah Lampung, Berita Penelitian Arkeologi No. 2. Jakarta: Pusat Penelitian
Purbakala dan Peninggalan Nasional.
---------, 1979. Laporan Penelitian Kepurbakalaan Lampung, Berita Penelitian Arkeologi No. 20.
Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Sumijati
As, 1980. Tinjauan Tentang Beberapa Tradisi Negalitik di Daerah Purbalingga,
Jawa Tengah. Dalam Pertemuan Ilmiah
Arkeologi, Cibulan 21-25 Februari 1977, hlm. 98 – 109. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.
Tim
Peneliti. 2007. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi: Permukiman Masa Pasca
Prasejarah di Situs Keramat Teluk, Desa Tanjung Iman, Kecamatan Belambangan
Pagar, Kabupaten Lampung Utara, Lampung. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.
Tim
Peneliti. 2008. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi: Permukiman Masa Pasca
Prasejarah di Situs Keramat Bandar, Kampung Gedongsari, Kecamatan Anak Ratu
Aji, Kabupaten Lampung Tengah, Lampung. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.
Yondri,
Lutfi. 1996. Penggunaan Kayu Dalam Tradisi Budaya Megalitik (Sebuah Tinjauan
Pendahuluan). Dalam Jurnal Penelitian
Balai Arkeologi Bandung, Nomor 3/April/1996, hlm. 13 – 19.
Yondri,
Lutfi. 1999. Pantak/Hampatung (Media Pengagungan Arwah Leluhur Dalam
Kesinambungan Unsur Budaya Megalitik di Kalimantan). Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung, Nomor 5/Maret/1999, hlm.
20 – 27.
Catatan: Tulisan ini terdapat pada Jurnal Purbawidya Vol. I No. 1 Tahun 2012, hlm. 41 - 60