MODEL PERTUKARAN LAMPUNG – BANTEN PADA ABAD KE-16 – 18
Nanang Saptono
nangsap@yahoo.co.id
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertukaran merupakan salah satu aktivitas manusia yang sudah berlangsung sejak zaman prasejarah. Walaupun pada waktu itu dapat dikatakan belum dikenal adanya perdagangan, namun aktivitas pertukaran dapat dikatakan sebagai bentuk perilaku ekonomi yang merupakan awal terjadinya perdagangan. Pertukaran dapat dipahami sebagai proses penyebaran benda dan atau jasa secara keruangan dari individu ke individu lain dan dari satu kelompok ke kelompok lain (Earle, 1982). Aktivitas pertukaran dapat dilihat pada dua sisi yaitu secara individu dan kelompok. Pertukaran dalam arti kelompok dapat difahami bahwa dalam aktivitas perekonomian berada pada satu kelembagaan umum sosiopolitik. Oleh karena itu kegiatan perekonomian secara khusus mencerminkan sistem sosiopolitik disertai pola kebudayaan, sehingga pertukaran akan memperlihatkan kaitan yang erat dengan aspek simbolik, sofistikasi sosial, dan proses perubahan kebudayaan (Hodder, 1982). Selain itu, kondisi ekologis juga sangat mempengaruhi aktivitas pertukaran dalam skala yang lebih luas.
Lampung sebagai satu kawasan, telah dihuni manusia sejak zaman prasejarah. Sejak itu pula bukti-bukti adanya pertukaran dapat ditemukan. Pada situs-situs megalitik, fragmen keramik banyak ditemukan. Pada situs-situs permukiman dari masa Islam pun juga banyak ditemukan artefak indikator adanya pertukaran. Pertukaran dalam pengertian perdagangan yang pernah berlangsung di Lampung terjadi peningkatan pesat sejak Malaka dikuasai Portugis. Dalam catatan Tomé Pires mengenai kawasan Lampung pada abad ke-16 terdapat dua nama yaitu Sekampung dan Tulangbawang. Dua nama ini disebutnya sebagai suatu negeri dalam arti bukan kerajaan (Cortesão 1967: 136 – 171).
Sekampung dapat diidentifikasikan sebagai kawasan di sekitar Way Sekampung sekarang. Meskipun Sekampung dikatakan bukan suatu kerajaan, tetapi diberitakan oleh Pires sebagai negeri yang berlimpah-ruah. Lokasinya berdekatan dengan Tana Malaio (Melayu) dan Tulangbawang. Sekampung sudah menjalinan hubungan dagang dengan Sunda dan Jawa. Beberapa barang komoditasnya antara lain kapas, emas, madu, lilin, rotan, lada, beras, dan hasil bumi lainnya. Pemimpin di Sekampung ketika itu masih kafir. Masyarakatnya terutama yang tinggal di daerah hulu juga masih kafir.
Mengenai Tulangbawang, Tomé Pires menceritakan bahwa kerajaan Sunda (regño de Çumda) menjalin hubungan dagang dengan Tulangbawang. Hubungan dagang tersebut berlangsung terus hingga masa Kesultanan Banten. Beberapa barang dagangan dari Tulangbawang seperti lada masuk ke Sunda melalui pelabuhan Cheguide (Cigede). Pelabuhan ini dapat dilokalisir yaitu di situs Kramat, Tangerang dekat muara Sungai Cisedane (Saptono, 1998). Aktivitas perdagangan ini tentunya sudah berlangsung lama jauh sebelum kedatangan Tomé Pires. Beberapa prasasti yang ditemukan di Lampung seperti prasasti Batu Bedil, Palas Pasemah, Bungkuk, Hujung Langit, dan Tanjung Raya mengarahkan suatu gambaran bahwa pada sekitar abad ke-9 sudah terjadi hubungan dagang melalui Sriwijaya.
Sebelumnya, kawasan Tulangbawang sudah disebut-sebut dalam beberapa sumber sejarah. Di dalam kitab sejarah Dinasti Liang terdapat keterangan bahwa antara tahun 430 – 475 datang di Cina beberapa kali utusan dari To-lang P’o-hwang. Menurut G. Ferrand lafal To-lang P’o-hwang dalam dialek Cina dapat disamakan dengan Tulangbawang. Poerbatjaraka juga berpendapat bahwa To-lang P’o-hwang yang disebut dalam sejarah dinasti Liang, merupakan sebuah kerajaan di daerah aliran Sungai Tulangbawang, Lampung. Kerajaan ini pada suatu saat ditaklukkan oleh kerajaan lain. Dugaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa berita Cina hanya sekali saja menyebut kerajaan ini (Sumadio, 1990: 79).
Permasalahan
Berdasarkan bukti-bukti arkeologis, di Lampung belum pernah berdiri suatu kekuatan politik besar setingkat kerajaan. Organisasi masyarakat di Lampung lebih bersifat pemerintahan adat dalam bentuk marga. Secara politis, perdagangan di Lampung tumbuh dengan pesat ketika Banten menguasai wilayah ini. Dalam kaitannya dengan pertukaran tingkat kelompok, bahwa aktivitas perekonomian berada pada satu kelembagaan umum yang mencerminkan sistem sosiopolitik disertai pola kebudayaan, maka terdapat permasalahan menyangkut bagaimana model pertukaran yang pernah terjadi di Lampung pada abad ke-16 – 18 yang pada saat itu Banten sangat berkuasa.
Dalam rangka mencari penjelasan terhadap permasalahan itu, digunakan satu paradigma yang menyediakan perangkat aturan mengenai bagaimana masalah dapat dijelaskan. Untuk itu maka dipakai model yang berkaitan dengan pertukaran dari sisi sosiopolitik. Model merupakan penyederhanaan struktur realitas bersifat perkiraan, tetapi dapat menjelaskan fakta-fakta yang rumit dan dapat memunculkan aspek-aspek yang mendasar dari suatu realitas. Model mempunyai peran penting untuk membangun teori, interpretasi, penemuan-penemuan empiris, dugaan-dugaan, dan kemajuan ilmiah pada umumnya (Rahardjo, 2007: 13). Model yang akan diterapkan dalam mengungkap permasalahan ini adalah yang berkaitan dengan pertukaran dari aspek sosiopolitik.
KONDISI STRUKTUR MASYARAKAT LAMPUNG
Di Lampung walaupun tidak dijumpai adanya pusat kekuatan politik namun sudah terdapat sistem organisasi masyarakat. Tomé Pires yang pernah mengunjungi Lampung menjumpai kelompok masyarakat yang masih kafir terutama yang tinggal di daerah hulu (Cortesão 1967: 158). Masyarakat pra-Islam yang oleh Tomé Pires disebut dengan istilah cafre juga dijumpai di pedalaman Banda. Mereka tidak mempunyai kerajaan, tetapi desa-desanya diperintah oleh cabila dan orang tua-tua. Sistem pemerintahan seperti ini menurut Antonio Galvao juga terdapat di Maluku. Mereka bermukim dalam lokasi tertentu dengan batas-batas wilayah yang jelas. Keperluan hidup sehari-hari dipenuhi secara bersama-sama. Masyarakat ini juga dipimpin oleh orang tua yang dianggap lebih baik dari pada yang lainnya (Tjandrasasmita, 1984: 174).
Sistem pemerintahan seperti ini merupakan budaya bangsa Indonesia sejak zaman sebelum mendapat pengaruh India (Hindu-Buddha). Masyarakat pra-Hindu sudah memiliki tingkat hidup yang sama dengan apa yang terdapat dalam struktur sosial dan kehidupan sosial-ekonomi bangsa Indonesia di berbagai daerah pada masa sekarang. Pertanian dengan irigasi dan sistem administrasi memunculkan negara-negara patrimonial-birokratis dalam berbagai ukuran. Pada saat yang sama terdapat pula bentuk-bentuk organisasi desa-desa yang sangat berkembang dengan keluarga-keluarga sebagai intinya. Orang tua-tua desa sebagai pengawas terhadap wilayah kadang-kadang juga sebagai kepala-kepala yang patrimonial (Tjandrasasmita, 1984: 175).
Di Lampung, pola pemerintahan patrimornial terlihat pada sistem pemerintahan adat marga. Pemerintahan adat marga mengenal pola kepemimpinan secara kolektif terdiri dari para anggota keluarga tertua dari masing-masing keturunan yang disebut punyimbang. Punyimbang tertua merupakan pemegang status sosial tertinggi di antara masyarakat kelompoknya. Punyimbang dari keturunan kedua bertindak sebagai kelompok masyarakat yang menjaga kehormatan kelompok lebih tua pemegang status sosial tertinggi. Punyimbang ketiga dari keturunan ketiga bertindak sebagai kelompok pelaksana ekonomi, pengatur pertanian dan perniagaan. Punyimbang-punyimbang yang datang untuk bergabung yang bukan merupakan kerabat tidak punya kedudukan dalam pengaturan tetapi sebatas mengatur kerabat masing-masing. Masyarakat Lampung dalam berserikat dan berkumpul dalam satu kelompok akan menuakan, menghormati, dan menempatkan kedudukan tertinggi kepada punyimbang asal keturunan yang disebut punyimbang marga atau punyimbang paksi (Hadikusuma, 1989: 7 – 8). Kondisi masyarakat seperti itu berlangsung sejak zaman sebelum Islam. Ketika Banten memasuki Lampung, selain organisasi masyarakat adat marga juga dikenal struktur masyarakat dalam bentuk keratuan.
Berdasarkan beberapa sumber, masuknya Banten ke Lampung hingga menguasainya tidak berlangsung secara ekspansif. Hubungan antara Banten dan Lampung diceritakan dalam Sajarah Banten, bahwa Sultan Hasanuddin pernah mengadakan perjalanan ke Lampung, Indrapura, Solebar, dan Bengkulu. Sajarah Banten juga menceritakan bahwa Raja atau Ratu Balaw yang merupakan salah satu kepala di Lampung dengan sukarela masuk Islam, suatu ketika turut serta membantu Banten dalam menyerang Pakuan Pajajaran.
Tradisi lisan masyarakat Selagai, salah satu marga dalam klan Abung, menceritakan peristiwa penting yaitu siba ke Banten. Karena pengaruh Banten sangat kuat, nenek moyang Selagai yaitu Sutan Jimat Tuha, Rangga Masang, dan Makam Jebi berangkat siba menghadap Raja Banten. Ketika pulang kembali ke Selagai, Sultan Banten memberi lawang kuri. Sutan Jimat Tuha kemudian tidak kembali ke Selagai tetapi menetap di Negeri Katon, Gedong Wani (Saptono, 2007).
Versi lain mengenai cerita ini berasal dari sumber etno-histori masyarakat Gedongwani (Yusuf, 1976). Disebutkan bahwa pada sekitar tahun 1532 Ratudinata, seorang penguasa Lampung dari Buay Selagai yang berkedudukan di Kampung Gedong Kuripan, Abung Kotabumi, berangkat ke Banten. Perjalanannya berangkat dari Gedong Kuripan melalui Way Ghagnem. Oleh Sultan Banten, Ratudinata diberi gelar Raden Cakradinata. Selama di Banten Raden Cakradinata merencanakan akan mengubah nama Gedong Kuripan menjadi Gedongwani. Di Banten Raden Cakradinata mendapat ajaran agama Islam yaitu dua Kalimah Syahadat dan surat Al-Ikhlas. Ketika kembali ke Lampung, Raden Cakradinata mendapat kenang-kenangan dari Sultan Banten berupa pintu gerbang atau Lawangkuri.
Sesampainya di Lampung tidak melalui Way Ghagnem tetapi lewat Way Sekampung. Sampai di suatu tempat perjalanannya terhalang air terjun akhirnya berhenti di situ dan membuka hutan untuk perkampungan sementara. Lokasi ini sekarang disebut Limau Saghakan, daerah Pancur, Tegineneng. Di sini hanya selama sekitar 3 tahun kemudian pindah ke arah hilir di daerah perbatasan Jabung. Kampung di lokasi ini dinamakan Gedongwani. Di lokasi ini bertahan hingga sekitar 50 tahun. Karena keadaan tanah tidak subur lagi kampung Gedongwani dipindahkan di dekat pertemuan antara Way Gěrěm dan Way Sekampung.
Konsep siba menunjukkan bahwa masyarakat Lampung menempatkan diri sebagai subordinat terhadap Banten. Pola semacam ini, berlangsung tidak hanya pada masyarakat Lampung pada sekitar abad ke-16 –18, tetapi juga pernah berlangsung pada masa awal sejarah di Indonesia. Kekuasaan politik di nusantara pada waktu itu menempatkan sebagai subordinat terhadap kekaisaran Cina dengan jalan mengirimkan utusan. Dengan demikian seakan-akan kekuatan politik di nusantara takluk terhadap kekaisaran Cina (Groeneveldt, 1960). Pola semacam ini, hanya merupakan alasan untuk menukar bahan rempah, damar, dan hasil hutan lain dengan kain sutera, logam, dan keramik Cina. Dalam prosedur ini perhitungan rugi laba tidak dinilai secara komersial tetapi dipahami dengan pendekatan sosioekonomis (Miksic, 1981: 7 – 8; Kusumohartono, 1985). Barang-barang “mewah” tersebut akan memberi nilai tersendiri bagi penguasa atau elit tertentu. Dalam kasus Lampung, siba juga mengandung harapan akan adanya sesuatu yang diperoleh dari Sultan Banten. Sesuatu ini bisa berupa benda, lawang kuri misalnya, atau ajaran Islam. Dengan dimilikinya sesuatu tersebut, penguasa Lampung akan mendapat nilai lebih dari kelompok masyarakat yang dipimpinnya.
MODEL PERTUKARAN LAMPUNG–BANTEN
Pertukaran dan perdagangan sudah terjadi sejak zaman prasejarah. Pertukaran terjadi karena adanya saling membutuhkan antara individu satu dengan lainnya. Pertukaran yang terjadi kemudian tidak hanya antarindividu tetapi berkembang antarkelompok. Perkembangan teknologi, khususnya transportasi, dan pengetahuan navigasi menjadikan pertukaran sebagai suatu aktivitas yang sangat kompleks. Berdasarkan beberapa sudut pandang terdapat beberapa model pertukaran, misalnya pada aspek geografis dikenal adanya model pertukaran hulu–hilir, regional, dan interregional (Wibisono, 2010). Selain dari sudut pandang geografis, model pertukaran juga dapat dilihat dari sisi sosiopolitik. Bagaimanapun keadaan sosial dan politik juga mempengaruhi aktivitas pertukaran.
Secara sosiopolitik, menurut Polanyi, mekanisme pertukaran dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu pertukaran resiprokal, pertukaran redistribusi, dan pertukaran pasar tradisional. Pertukaran resiprokal adalah kewajiban memberi dan menerima di antara individu yang berbeda hubungan sosialnya. Pertukaran redistribusi berkaitan dengan kewajiban membayarkan barang dan jasa kepada pemuka masyarakat, yang kemudian membagikan sebagian perolehannya untuk kepentingan umum atau hadiah. Model pertukaran pasar tradisional, para pelakunya tidak memiliki ikatan sosial tertentu yang mewajibkan mereka untuk melakukan pertukaran dan dimungkinkan adanya tawar menawar di dalamnya (Kusumohartono, 1995).
Model pertukaran resiprokal umum terjadi di berbagai lapisan masyarakat sebagai bentuk perwujudan makhluk sosial, sedang model pertukaran redistribusi dan pasar tradisional memerlukan kondisi tertentu. Di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik, model pertukaran redistribusi melibatkan elite masyarakat di satu pihak dan warga masyarakat (Kusumohartono, 1995) dan dapat juga melibatkan elite masyarakat terhadap elite yang lebih tinggi lagi. Kasus yang terjadi di masyarakat Lampung pada abad ke-16 – 18, model pertukaran baik yang bersifat redistribusi maupun pasar tradisional dapat terjadi dikaitkan dengan lada. Hal ini mengingat bahwa pada masa itu kondisi masyarakat Lampung sangat dipengaruhi oleh keberadaan Banten. Sementara itu, Banten mempunyai kepentingan dengan lampung karena lada.
Pada sumber-sumber sejarah banyak diuraikan bahwa lada merupakan barang komoditas yang menjadi incaran dunia. Toponim Pamarican di Banten menunjukkan bahwa lokasi itu merupakan pusat lada atau setidaknya berkaitan dengan lada. Banten merupakan pusat redistribusi lada ke Cina atau Eropa dari wilayah-wilayah kekuasaannya. Banten sebagai pusat lada telah berlangsung sejak masa Kerajaan Sunda di mana kerajaan Islam belum terbentuk (Leur, 1967: 102 – 103). Perdagangan lada terbesar terjadi pada masa Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir yang juga dikenal dengan nama Abdul Qadir Kenari,pada tahun 1603 mengekspor 259.200 pound lada serta 8.440 karung ke pasar Eropa. Selanjutnya pada 1618 datang 10 kapal berbobot 1000 – 1500 ton dari Cina mengambil lada.
Pada abad ke-16 – 18, Lampung merupakan subordinat Banten. Struktur semacam ini memungkinkan terjadinya beberapa model pertukaran. Penguasa Lampung memerlukan pengakuan dari Banten sementara itu Banten juga mengharapkan sesuatu dari Lampung. Ketika itu, Banten sebagai pusat lada hampir tidak bisa memenuhi permintaan dunia karena wilayah Banten di Pulau Jawa tidak bisa memenuhinya. Secara ekologis wilayah Banten di Pulau Jawa tidak cocok untuk tanaman lada. Ekspansi ke Lampung dilakukan dalam rangka memenuhi permintaan dunia akan lada tersebut. Situasi sosiopolitik di Lampung memungkinkan Banten tidak perlu melakukannya dengan mengerahkan kekuatan militer tetapi cukup dengan mengeluarkan peraturan. Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1662 menerbitkan Undang-undang bagi penguasa beserta rakyat Lampung agar taat kepada Banten.
Melalui aspek yuridis inilah Banten memainkan kepentingannya di Lampung. Kawasan Lampung sangat cocok bagi tanaman lada. Banten sangat berkepentingan terhadap lada, sehingga untuk urusan hukum adat dan kemasyarakatan, Lampung diberi hak otonomi sedangkan untuk lada sepenuhnya urusan Banten (Nurhakim dan Fadillah, 1990: 258 – 274). Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Mahasin (1690 – 1733) telah diterbitkan 5 piagam tembaga 3 diantaranya berisi tentang kewajiban menanam lada untuk daerah (Se)putih, Sukau, dan Rajabasa. Pada masa Sultan Syifa Zainul Arifin (1733 – 1750) telah dikeluarkan dua prasasti yang keduanya dikeluarkan pada tahun 1746. Prasasti pertama berisikan pengangkatan Pangeran Jayasinga sebagai wakil Sultan bagi daerah Tulangbawang di Tagi, prasasti kedua berisi tentang kewajiban menanam seribu pohon lada kepada setiap orang dan ketentuan hukum pidana berkaitan dengan lada. Pada masa Sultan Zaenul Asyikin juga dikeluarkan prasasti. Dua prasasti yang dikeluarkan, pertama berangka tahun 1761 berisi pengangkatan Tumenggung Tanuyuda untuk penggawa Penet. Prasasti kedua berangka tahun 1771 berisi kewajiban menanam pohon lada bagi setiap orang Lampung.
Pada kasus hubungan awal antara Lampung–Banten terdapat model pertukaran resiprokal. Para pemimpin masyarakat di Lampung setelah melakukan siba dengan memberikan pengakuan kekuasaan tertinggi atas Banten, mereka mendapatkan pengakuan pula sebagai penguasa di Lampung dengan ditandai benda-benda regalia. Perkembangan selanjutnya, ketika Banten dihadapkan pada persoalan lada, pihak Lampung dapat memenuhinya dengan imbalan pihak Banten mengangkat penggawa di Lampung. Pengangkatan penggawa ini sebenarnya merupakan kepentingan Banten dalam rangka mengamankan lada, namun bagi Lampung memberikan dampak terhadap semakin kokohnya kedudukan sang pemimpin di mata masyarakat subordinatnya.
Terbangunnya hubungan antara Lampung – Banten memberi peluang terjadinya model pertukaran redistributif antara masyarakat Lampung dengan para penggawa. Masyarakat memberikan pajak atas hasil perdagangan lada kepada para penggawa kemudian memperoleh berbagai fasilitas dari penggawa. Perdagangan ke luar Lampung dilakukan melalui pelabuhan sungai (tangga raja) milik para kepala marga yang sebagian ditunjuk oleh Banten sebagai penggawa. Model perdagangan bebas yang mula-mula terbentuk, selanjutnya berkembang ke monopoli perdagangan. Tingginya permintaan lada di pasar dunia dan situasi politik antara Banten dan VOC, memaksa Banten menerapkan peraturan semacam culture stelsel. Masyarakat Lampung dipaksa menanam lada. Seiring dengan ini berkembanglah sistem monopoli perdagangan.
Sejak masa pemerintahan Sultan Haji (1683-1687) hingga Sultan Zainal Arifin (1750-1752) terdapat aturan bahwa barang siapa menjual lada kepada orang Palembang harus ditangkap dan jika berteriak boleh diikat dan sekeluarga dibawa ke Banten. Penggawa yang merestuinya dipecat dan sekeluarga dibawa ke Banten. Barang siapa menjual lada di lautan, seluruh muatan berikut perahunya dirampas untuk diserahkan kepada sultan. Dalam aturan ini juga dilarang memperdagangkan cengkeh dan pala ((Nurhakim dan Fadillah, 1990: 269).
Monopoli perdagangan di Lampung semakin meningkat dengan berkuasanya VOC. Putra mahkota Banten, Sultan Haji, menyerahkan beberapa wilayah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa kepada Belanda. Di dalamnya termasuk Lampung sebagai hadiah bagi Belanda karena membantu melawan Sultan Ageng Tirtayasa. Permintaan itu termuat dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat bertanggal 12 Maret 1682 itu isinya, Saya minta tolong, nanti daerah Tirtayasa dan negeri-negeri yang menghasilkan lada seperti Lampung dan tanah-tanah lainnya sebagaimana diinginkan Mayor/ Kapten Moor, akan segera serahkan kepada kompeni. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung (Hardianto, 2004). Model pertukaran yang terbentuk di Lampung tampaknya tidak dinikmati oleh semua golongan masyarakat. Secara diam-diam ada sekelompok masyarakat atau individu yang mencari keuntungan dengan menerapkan model pertukaran pasar tradisional. Dengan demikian model pertukaran pasar tradisional terjadi secara sembunyi-sembunyi.
PENUTUP
Model pertukaran yang terjadi antara Lampung dan Banten pada abad ke-16–18 dipengaruhi oleh kondisi sosiopolitik pada waktu itu. Masyarakat Lampung secara sosiopolitik menempatkan diri sebagai subordinat terhadap Banten. Pengakuan atas kekuasaan Banten dilakukan dalam bentuk siba. Model seperti ini bagi masyarakat Asia Tenggara dan Pasifik sudah berlangsung lama. Catatan Cina menunjukkan bahwa pada masa awal sejarah (abad ke-4) telah terjadi pengakuan kekuasaan terhadap Kekaisaran Cina dalam bentuk pengiriman utusan dari penguasa-penguasa di berbagai daerah Asia Tenggara. Melalui model seperti ini, penguasa di Lampung lebih mendapatkan legalitas atas kekuasaannya terhadap anggota kelompok yang dipimpinnya.
Bagi Banten, kondisi seperti ini dimanfaatkan dalam perluasan motif ekonomi terutama pemenuhan kebutuhan akan lada. Model pertukaran resiprokal terbentuk antara penguasa Banten dengan penguasa Lampung. Banten memperoleh lada sedangkan penguasa Lampung memperoleh legalitas berupa gelar atau ajaran agama Islam dan secara fisik diwujudkan dalam bentuk regalia dari Banten misalnya berupa lawang kuri.
Hubungan yang terjadi antara penguasa Lampung dengan Banten melahirkan model pertukaran redistributif antara penguasa Lampung dengan masyarakat yang menjadi subordinat pemimpin Lampung. Model pertukaran redistributif tampaknya hanya menguntungkan para elite tertentu apalagi kemudian berkembang model monopoli perdagangan. Masyarakat yang merasa terugikan menerapkan model pertukaran pasar tradisional secara sembunyi-sembunyi.
DAFTAR PUSTAKA
Cortesão, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprin Limited.
Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta: Penerbit Djambatan, KITLV.
Earle, Timothy K. 1982. Prehistoric Economics and the Archaeology of Exchange. New York: Academic Press.
Groeneveldt, WP. 1960. Historical Notes on Indonesian and Malaya Compiled from Chinese Sources. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Hadikusuma, Hilman. 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandung: Mandar Maju.
Hardianto, B Josie Susilo, 2004. Kejayaan Lada Hitam Lampung Telah Pudar. Kompas, Senin, 06 September 2004.
Hodder, Ian. 1982. Towards a Contextual Aproach to Prehistoric Exchange. Cambridge: Cambridge University Press.
Kusumohartono, Bugie. 1985. Strategi Adaptasi Lingkungan, Pola Ekonomi dan Pelestarian Kekuasaan. Paparan Mengenai Beberapa Data Jaman Indonesia Kuna. Dalam Berkala Arkeologi Th. VI (2), hlm. 33 – 47.
---------. 1995. Model Pertukaran Pada Masyarakat Nusantara Kuna: Kajian (Pengujian) Arkeologis. Dalam Manusia Dalam Ruang: Studi Kawasan Dalam Arkeologi. Berkala Arkeologi Th. XV Edisi Khusus. Hlm. 96 – 104.
Leur, JC van. 1967. Indonesian Trade and Society. The Hague: W van Hoeve.
Miksic, John N. 1981. Perkembangan Teknologi. Pola Ekonomi dan Penafsiran Data Arkeologi di Indonesia. Dalam Majalah Arkeologi IV/ 1 – 2, hlm 1 – 16.
Nurhakim, Lukman dan Moh. Ali Fadillah. 1990. Lada: Politik Ekonomi Banten di Lampung. Dalam Analisis Hasil Penelitian Arkeologi III: Agrikultur Berdasarkan Data Arkeologi, hlm. 258 – 274. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rahardjo, Supratikno. 2007. Kota-kota Prakolonial Indonesia: Pertumbuhan dan Keruntuhan. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Saptono, Nanang. 1998. Cheguide. Dalam Tony Djubiantono, et al. (ed.) Dinamika Budaya Asia Tenggara – Pasifik Dalam Perjalanan Sejarah, hlm. 241 – 250. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Jawa Barat.
--------- , et al. 2007. Laporan Penelitian Kepurbakalaan Situs Benteng Majapahit Dan Sekitarnya Pekurun, Selagai Lingga, Lampung Utara. Seksi Purbanitrad, Subdin Kebudayaan, Dinas Pendidikan Provinsi Lampung.
Soebing, Abdullah A. 1988. Kedatuan di Gunung Keratuan di Muara. Jakarta: Karya Unipress.
Sumadio, Bambang (ed.). 1990. “Jaman Kuna”. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tjandrasasmita, Uka. 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Wibisono, Naniek Harkantiningsih. 2010. Perdagangan di Nusantara: Bukti-bukti Jaringan Interregional. Makalah dalam Seminar Semarak Arkeologi 2010, Bandung 21 – 22 Juli 2010.
Yusuf P.R, M. 1976. Sejarah/Cerita Waktu Siba ke Banten Mendapatkan Hadiyah Lawang Kuri/Pintu Gerbang yang ada Sekarang ini di Kampung Gedongwani.
Sesampainya di Lampung tidak melalui Way Ghagnem tetapi lewat Way Sekampung. Sampai di suatu tempat perjalanannya terhalang air terjun akhirnya berhenti di situ dan membuka hutan untuk perkampungan sementara. Lokasi ini sekarang disebut Limau Saghakan, daerah Pancur, Tegineneng. Di sini hanya selama sekitar 3 tahun kemudian pindah ke arah hilir di daerah perbatasan Jabung. Kampung di lokasi ini dinamakan Gedongwani. Di lokasi ini bertahan hingga sekitar 50 tahun. Karena keadaan tanah tidak subur lagi kampung Gedongwani dipindahkan di dekat pertemuan antara Way Gěrěm dan Way Sekampung.
Konsep siba menunjukkan bahwa masyarakat Lampung menempatkan diri sebagai subordinat terhadap Banten. Pola semacam ini, berlangsung tidak hanya pada masyarakat Lampung pada sekitar abad ke-16 –18, tetapi juga pernah berlangsung pada masa awal sejarah di Indonesia. Kekuasaan politik di nusantara pada waktu itu menempatkan sebagai subordinat terhadap kekaisaran Cina dengan jalan mengirimkan utusan. Dengan demikian seakan-akan kekuatan politik di nusantara takluk terhadap kekaisaran Cina (Groeneveldt, 1960). Pola semacam ini, hanya merupakan alasan untuk menukar bahan rempah, damar, dan hasil hutan lain dengan kain sutera, logam, dan keramik Cina. Dalam prosedur ini perhitungan rugi laba tidak dinilai secara komersial tetapi dipahami dengan pendekatan sosioekonomis (Miksic, 1981: 7 – 8; Kusumohartono, 1985). Barang-barang “mewah” tersebut akan memberi nilai tersendiri bagi penguasa atau elit tertentu. Dalam kasus Lampung, siba juga mengandung harapan akan adanya sesuatu yang diperoleh dari Sultan Banten. Sesuatu ini bisa berupa benda, lawang kuri misalnya, atau ajaran Islam. Dengan dimilikinya sesuatu tersebut, penguasa Lampung akan mendapat nilai lebih dari kelompok masyarakat yang dipimpinnya.
MODEL PERTUKARAN LAMPUNG–BANTEN
Pertukaran dan perdagangan sudah terjadi sejak zaman prasejarah. Pertukaran terjadi karena adanya saling membutuhkan antara individu satu dengan lainnya. Pertukaran yang terjadi kemudian tidak hanya antarindividu tetapi berkembang antarkelompok. Perkembangan teknologi, khususnya transportasi, dan pengetahuan navigasi menjadikan pertukaran sebagai suatu aktivitas yang sangat kompleks. Berdasarkan beberapa sudut pandang terdapat beberapa model pertukaran, misalnya pada aspek geografis dikenal adanya model pertukaran hulu–hilir, regional, dan interregional (Wibisono, 2010). Selain dari sudut pandang geografis, model pertukaran juga dapat dilihat dari sisi sosiopolitik. Bagaimanapun keadaan sosial dan politik juga mempengaruhi aktivitas pertukaran.
Secara sosiopolitik, menurut Polanyi, mekanisme pertukaran dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu pertukaran resiprokal, pertukaran redistribusi, dan pertukaran pasar tradisional. Pertukaran resiprokal adalah kewajiban memberi dan menerima di antara individu yang berbeda hubungan sosialnya. Pertukaran redistribusi berkaitan dengan kewajiban membayarkan barang dan jasa kepada pemuka masyarakat, yang kemudian membagikan sebagian perolehannya untuk kepentingan umum atau hadiah. Model pertukaran pasar tradisional, para pelakunya tidak memiliki ikatan sosial tertentu yang mewajibkan mereka untuk melakukan pertukaran dan dimungkinkan adanya tawar menawar di dalamnya (Kusumohartono, 1995).
Model pertukaran resiprokal umum terjadi di berbagai lapisan masyarakat sebagai bentuk perwujudan makhluk sosial, sedang model pertukaran redistribusi dan pasar tradisional memerlukan kondisi tertentu. Di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik, model pertukaran redistribusi melibatkan elite masyarakat di satu pihak dan warga masyarakat (Kusumohartono, 1995) dan dapat juga melibatkan elite masyarakat terhadap elite yang lebih tinggi lagi. Kasus yang terjadi di masyarakat Lampung pada abad ke-16 – 18, model pertukaran baik yang bersifat redistribusi maupun pasar tradisional dapat terjadi dikaitkan dengan lada. Hal ini mengingat bahwa pada masa itu kondisi masyarakat Lampung sangat dipengaruhi oleh keberadaan Banten. Sementara itu, Banten mempunyai kepentingan dengan lampung karena lada.
Pada sumber-sumber sejarah banyak diuraikan bahwa lada merupakan barang komoditas yang menjadi incaran dunia. Toponim Pamarican di Banten menunjukkan bahwa lokasi itu merupakan pusat lada atau setidaknya berkaitan dengan lada. Banten merupakan pusat redistribusi lada ke Cina atau Eropa dari wilayah-wilayah kekuasaannya. Banten sebagai pusat lada telah berlangsung sejak masa Kerajaan Sunda di mana kerajaan Islam belum terbentuk (Leur, 1967: 102 – 103). Perdagangan lada terbesar terjadi pada masa Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir yang juga dikenal dengan nama Abdul Qadir Kenari,pada tahun 1603 mengekspor 259.200 pound lada serta 8.440 karung ke pasar Eropa. Selanjutnya pada 1618 datang 10 kapal berbobot 1000 – 1500 ton dari Cina mengambil lada.
Pada abad ke-16 – 18, Lampung merupakan subordinat Banten. Struktur semacam ini memungkinkan terjadinya beberapa model pertukaran. Penguasa Lampung memerlukan pengakuan dari Banten sementara itu Banten juga mengharapkan sesuatu dari Lampung. Ketika itu, Banten sebagai pusat lada hampir tidak bisa memenuhi permintaan dunia karena wilayah Banten di Pulau Jawa tidak bisa memenuhinya. Secara ekologis wilayah Banten di Pulau Jawa tidak cocok untuk tanaman lada. Ekspansi ke Lampung dilakukan dalam rangka memenuhi permintaan dunia akan lada tersebut. Situasi sosiopolitik di Lampung memungkinkan Banten tidak perlu melakukannya dengan mengerahkan kekuatan militer tetapi cukup dengan mengeluarkan peraturan. Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1662 menerbitkan Undang-undang bagi penguasa beserta rakyat Lampung agar taat kepada Banten.
Melalui aspek yuridis inilah Banten memainkan kepentingannya di Lampung. Kawasan Lampung sangat cocok bagi tanaman lada. Banten sangat berkepentingan terhadap lada, sehingga untuk urusan hukum adat dan kemasyarakatan, Lampung diberi hak otonomi sedangkan untuk lada sepenuhnya urusan Banten (Nurhakim dan Fadillah, 1990: 258 – 274). Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Mahasin (1690 – 1733) telah diterbitkan 5 piagam tembaga 3 diantaranya berisi tentang kewajiban menanam lada untuk daerah (Se)putih, Sukau, dan Rajabasa. Pada masa Sultan Syifa Zainul Arifin (1733 – 1750) telah dikeluarkan dua prasasti yang keduanya dikeluarkan pada tahun 1746. Prasasti pertama berisikan pengangkatan Pangeran Jayasinga sebagai wakil Sultan bagi daerah Tulangbawang di Tagi, prasasti kedua berisi tentang kewajiban menanam seribu pohon lada kepada setiap orang dan ketentuan hukum pidana berkaitan dengan lada. Pada masa Sultan Zaenul Asyikin juga dikeluarkan prasasti. Dua prasasti yang dikeluarkan, pertama berangka tahun 1761 berisi pengangkatan Tumenggung Tanuyuda untuk penggawa Penet. Prasasti kedua berangka tahun 1771 berisi kewajiban menanam pohon lada bagi setiap orang Lampung.
Pada kasus hubungan awal antara Lampung–Banten terdapat model pertukaran resiprokal. Para pemimpin masyarakat di Lampung setelah melakukan siba dengan memberikan pengakuan kekuasaan tertinggi atas Banten, mereka mendapatkan pengakuan pula sebagai penguasa di Lampung dengan ditandai benda-benda regalia. Perkembangan selanjutnya, ketika Banten dihadapkan pada persoalan lada, pihak Lampung dapat memenuhinya dengan imbalan pihak Banten mengangkat penggawa di Lampung. Pengangkatan penggawa ini sebenarnya merupakan kepentingan Banten dalam rangka mengamankan lada, namun bagi Lampung memberikan dampak terhadap semakin kokohnya kedudukan sang pemimpin di mata masyarakat subordinatnya.
Terbangunnya hubungan antara Lampung – Banten memberi peluang terjadinya model pertukaran redistributif antara masyarakat Lampung dengan para penggawa. Masyarakat memberikan pajak atas hasil perdagangan lada kepada para penggawa kemudian memperoleh berbagai fasilitas dari penggawa. Perdagangan ke luar Lampung dilakukan melalui pelabuhan sungai (tangga raja) milik para kepala marga yang sebagian ditunjuk oleh Banten sebagai penggawa. Model perdagangan bebas yang mula-mula terbentuk, selanjutnya berkembang ke monopoli perdagangan. Tingginya permintaan lada di pasar dunia dan situasi politik antara Banten dan VOC, memaksa Banten menerapkan peraturan semacam culture stelsel. Masyarakat Lampung dipaksa menanam lada. Seiring dengan ini berkembanglah sistem monopoli perdagangan.
Sejak masa pemerintahan Sultan Haji (1683-1687) hingga Sultan Zainal Arifin (1750-1752) terdapat aturan bahwa barang siapa menjual lada kepada orang Palembang harus ditangkap dan jika berteriak boleh diikat dan sekeluarga dibawa ke Banten. Penggawa yang merestuinya dipecat dan sekeluarga dibawa ke Banten. Barang siapa menjual lada di lautan, seluruh muatan berikut perahunya dirampas untuk diserahkan kepada sultan. Dalam aturan ini juga dilarang memperdagangkan cengkeh dan pala ((Nurhakim dan Fadillah, 1990: 269).
Monopoli perdagangan di Lampung semakin meningkat dengan berkuasanya VOC. Putra mahkota Banten, Sultan Haji, menyerahkan beberapa wilayah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa kepada Belanda. Di dalamnya termasuk Lampung sebagai hadiah bagi Belanda karena membantu melawan Sultan Ageng Tirtayasa. Permintaan itu termuat dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat bertanggal 12 Maret 1682 itu isinya, Saya minta tolong, nanti daerah Tirtayasa dan negeri-negeri yang menghasilkan lada seperti Lampung dan tanah-tanah lainnya sebagaimana diinginkan Mayor/ Kapten Moor, akan segera serahkan kepada kompeni. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung (Hardianto, 2004). Model pertukaran yang terbentuk di Lampung tampaknya tidak dinikmati oleh semua golongan masyarakat. Secara diam-diam ada sekelompok masyarakat atau individu yang mencari keuntungan dengan menerapkan model pertukaran pasar tradisional. Dengan demikian model pertukaran pasar tradisional terjadi secara sembunyi-sembunyi.
Skema model pertukaran di Lampung |
PENUTUP
Model pertukaran yang terjadi antara Lampung dan Banten pada abad ke-16–18 dipengaruhi oleh kondisi sosiopolitik pada waktu itu. Masyarakat Lampung secara sosiopolitik menempatkan diri sebagai subordinat terhadap Banten. Pengakuan atas kekuasaan Banten dilakukan dalam bentuk siba. Model seperti ini bagi masyarakat Asia Tenggara dan Pasifik sudah berlangsung lama. Catatan Cina menunjukkan bahwa pada masa awal sejarah (abad ke-4) telah terjadi pengakuan kekuasaan terhadap Kekaisaran Cina dalam bentuk pengiriman utusan dari penguasa-penguasa di berbagai daerah Asia Tenggara. Melalui model seperti ini, penguasa di Lampung lebih mendapatkan legalitas atas kekuasaannya terhadap anggota kelompok yang dipimpinnya.
Bagi Banten, kondisi seperti ini dimanfaatkan dalam perluasan motif ekonomi terutama pemenuhan kebutuhan akan lada. Model pertukaran resiprokal terbentuk antara penguasa Banten dengan penguasa Lampung. Banten memperoleh lada sedangkan penguasa Lampung memperoleh legalitas berupa gelar atau ajaran agama Islam dan secara fisik diwujudkan dalam bentuk regalia dari Banten misalnya berupa lawang kuri.
Hubungan yang terjadi antara penguasa Lampung dengan Banten melahirkan model pertukaran redistributif antara penguasa Lampung dengan masyarakat yang menjadi subordinat pemimpin Lampung. Model pertukaran redistributif tampaknya hanya menguntungkan para elite tertentu apalagi kemudian berkembang model monopoli perdagangan. Masyarakat yang merasa terugikan menerapkan model pertukaran pasar tradisional secara sembunyi-sembunyi.
DAFTAR PUSTAKA
Cortesão, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprin Limited.
Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta: Penerbit Djambatan, KITLV.
Earle, Timothy K. 1982. Prehistoric Economics and the Archaeology of Exchange. New York: Academic Press.
Groeneveldt, WP. 1960. Historical Notes on Indonesian and Malaya Compiled from Chinese Sources. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Hadikusuma, Hilman. 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandung: Mandar Maju.
Hardianto, B Josie Susilo, 2004. Kejayaan Lada Hitam Lampung Telah Pudar. Kompas, Senin, 06 September 2004.
Hodder, Ian. 1982. Towards a Contextual Aproach to Prehistoric Exchange. Cambridge: Cambridge University Press.
Kusumohartono, Bugie. 1985. Strategi Adaptasi Lingkungan, Pola Ekonomi dan Pelestarian Kekuasaan. Paparan Mengenai Beberapa Data Jaman Indonesia Kuna. Dalam Berkala Arkeologi Th. VI (2), hlm. 33 – 47.
---------. 1995. Model Pertukaran Pada Masyarakat Nusantara Kuna: Kajian (Pengujian) Arkeologis. Dalam Manusia Dalam Ruang: Studi Kawasan Dalam Arkeologi. Berkala Arkeologi Th. XV Edisi Khusus. Hlm. 96 – 104.
Leur, JC van. 1967. Indonesian Trade and Society. The Hague: W van Hoeve.
Miksic, John N. 1981. Perkembangan Teknologi. Pola Ekonomi dan Penafsiran Data Arkeologi di Indonesia. Dalam Majalah Arkeologi IV/ 1 – 2, hlm 1 – 16.
Nurhakim, Lukman dan Moh. Ali Fadillah. 1990. Lada: Politik Ekonomi Banten di Lampung. Dalam Analisis Hasil Penelitian Arkeologi III: Agrikultur Berdasarkan Data Arkeologi, hlm. 258 – 274. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rahardjo, Supratikno. 2007. Kota-kota Prakolonial Indonesia: Pertumbuhan dan Keruntuhan. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Saptono, Nanang. 1998. Cheguide. Dalam Tony Djubiantono, et al. (ed.) Dinamika Budaya Asia Tenggara – Pasifik Dalam Perjalanan Sejarah, hlm. 241 – 250. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Jawa Barat.
--------- , et al. 2007. Laporan Penelitian Kepurbakalaan Situs Benteng Majapahit Dan Sekitarnya Pekurun, Selagai Lingga, Lampung Utara. Seksi Purbanitrad, Subdin Kebudayaan, Dinas Pendidikan Provinsi Lampung.
Soebing, Abdullah A. 1988. Kedatuan di Gunung Keratuan di Muara. Jakarta: Karya Unipress.
Sumadio, Bambang (ed.). 1990. “Jaman Kuna”. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tjandrasasmita, Uka. 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Wibisono, Naniek Harkantiningsih. 2010. Perdagangan di Nusantara: Bukti-bukti Jaringan Interregional. Makalah dalam Seminar Semarak Arkeologi 2010, Bandung 21 – 22 Juli 2010.
Yusuf P.R, M. 1976. Sejarah/Cerita Waktu Siba ke Banten Mendapatkan Hadiyah Lawang Kuri/Pintu Gerbang yang ada Sekarang ini di Kampung Gedongwani.
Catatan:
Tulisan ini merupakan bagian dari buku berjudul "Perdagangan dan Pertukaran Masa Prasejarah - Kolonial" Editor Prof. (Ris.) Dra. Naniek Th. Harkantiningsih, APU. Jatinangor: Alqa Print, 2010.