KONDISI MASYARAKAT LAMPUNG
PADA MASA PENGARUH HINDU-BUDDHA
Endang Widyastuti
Abstract
Archaeological remains of the Lampung region is known comes from the Hindu-Buddhist influence of a stele. Inscriptions found in Lampung were written in capital letters Pallawa and some are using letters Javanese version. Old Javanese-lettered inscription found in the area of Lampung is Hujunglangit Inscription and Tanjung Raya. The Hujunglangit inscription related to the determination as sima for the maintenance of the shrine. On this basis it is known that the people who live in the area are a religious community. This is indicated by the existence of several pieces of stone that indicates the existence of former human workmanship. It is estimated that the rock fragments are the remains of a sacred building. Meanwhile, the contents of Tanjung Raya Inscription yet known but see the land location Tanjung Raya Inscription, which is agricultural land that is fertile areas since possibilities past a residential area.
Kata kunci: Prasasti Hujunglangit, Prasasti Tanjung Raya, bangunan suci, kondisi masyarakat.
Kata kunci: Prasasti Hujunglangit, Prasasti Tanjung Raya, bangunan suci, kondisi masyarakat.
PENDAHULUAN
Perkembangan sejarah budaya masyarakat Lampung telah melalui beberapa babakan sejak dari masa prasejarah, klasik, hingga masa sekarang sebagaimana yang umum terjadi di seluruh Indonesia. Babakan sejarah budaya masa klasik menunjuk pada suatu babakan di mana budaya masyarakat Indonesia mendapat pengaruh budaya India (agama Hindu-Buddha). Secara umum, masa klasik di Indonesia berlangsung setelah masa prasejarah. Di Lampung, pada masa klasik hampir tidak ditemukan adanya pusat kekuasaan berupa kerajaan yang identik dengan pusat peradaban. Beberapa sumber yang ada hanya sedikit sekali yang bisa mengungkap pusat budaya klasik di Lampung.
Munculnya sebutan Lampung mungkin masih relatif baru. Asumsi ini didasari pada kenyataan bahwa jarang didapatkan sumber sejarah masa klasik yang menyebut Lampung. Sumber sejarah yang menyinggung keberadaan Lampung adalah Nagarakrtagama dan Amanat Galunggung. Prapanca pada pupuh XIII dan XIV menyebut daerah-daerah Melayu yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Daerah-daerah itu adalah Jambi, Palembang, Toba, Dharmasraya, Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Pane, Kampe, Haru, Mandailing, Tamihang, Parlak, Padang Lawas, Samudra, Lamuri, Batan, Lampung, dan Barus (Muljana, 1979: 146 dan 279). Menurut pemberitaan dalam Nagarakrtagama, Lampung termasuk wilayah Kerajaan Melayu. Sumber sejarah lebih muda yang menyebut Lampung adalah Amanat Galunggung (kropak 632). Naskah ini terdiri 6 lembar atau 13 halaman, ditulis dengan menggunakan huruf dan bahasa Sunda kuna. Isi naskah berupa ajaran hidup yang diwujudkan dalam bentuk nasehat-nasehat. Dalam hal ini adalah nasehat Rakeyan Darmasiksa (1175 – 1297) kepada puteranya yang bernama Sang Lumahing Taman, beserta cucu, cicit, dan keturunannya. Pada pupuh II (4) disebutkan ... jaga dapetna pretapa dapetna pegengeun sakti, beunangna (ku) Sunda, Jawa, Lapung, ... (... waspadalah kemungkinan direbutnya kemuliaan dan pegangan kesaktian oleh Sunda, Jawa, Lampung...). Selanjutnya pada pupuh III (3) disebutkan ...jaga beunangna kabuyutan ku Jawa, ku Baluk, ku Cina, ku Lapung, ku sakalih... (...cegahlah terkuasainya kabuyutan oleh Jawa, oleh Baluk, oleh Lampung, oleh yang lainnya...) (Danasasmita, 1987). Kedua sumber sejarah tersebut menggambarkan bahwa pada masa Kerajaan Majapahit (abad ke-13 – 15) hingga masa Kerajaan Sunda (abad ke-10 – 16) masyarakat Lampung sudah berinteraksi dengan kerajaan-kerajaan yang sudah mendapat pengaruh budaya India.
Gambaran sebagian masyarakat Lampung pada abad ke-16 juga diceritakan oleh berita asing dari Portugis. Perjalanan Tomé Pires dari Laut Merah ke Jepang pada tahun 1512 hingga 1515 memberikan gambaran tentang keadaan dua lokasi di Lampung yaitu Tulangbawang dan Sekampung (Cortesão, 1967: 158 – 159). Tulangbawang merupakan lokasi yang berbatasan dengan Sekampung dan Andalas. Sebagian masyarakat Tulangbawang masih kafir atau penyembah berhala. Daerah ini merupakan penghasil lada, emas, kapas, lilin, rotan, beras, ikan, dan buah-buahan. Jalan masuk satu-satunya hanya melalui sungai. Perdagangan dilakukan dengan Jawa dan Sunda. Barang dagangan dikumpulkan kemudian dilakukan perdagangan antar pulau. Perjalanan dari Tulangbawang ke Sunda menyeberangi lautan dalam sehari sedangkan ke Jawa memerlukan waktu dua hari.
Sekampung merupakan daerah yang memiliki sumber daya sangat melimpah. Perdagangan dilakukan dengan Sunda dan Jawa. Barang dagangan meliputi kapas, emas, madu, lilin, rotan, dan lada. Bahan makanan yang diperdagangkan berupa beras, daging, ikan, minuman keras (wines), dan buah-buahan. Penguasa (pate) dan masyarakat Sekampung masih kafir. Perjalanan dari Sekampung menyeberang ke Jawa dengan menggunakan perahu (lancharas) dapat ditempuh dalam waktu tiga hari, sedangkan ke Sunda selama satu hari.
Selain berdasarkan sumber sejarah, budaya masa klasik di Lampung juga ditunjukkan oleh adanya beberapa sumber arkeologis. Salah satu bukti keberadaan budaya masa klasik di daerah Lampung adalah adanya beberapa prasasti. Prasasti Palas Pasemah yang ditemukan di tepi Way Pisang, Kalianda, Lampung Selatan dan Prasasti Bungkuk yang ditemukan di Lampung Timur menunjukkan bahwa Lampung pada masa klasik merupakan wilayah kekuasaan Sriwijaya (Purwanti, 1995: 98, Boechari, 1979: 19 – 40). Prasasti Batu Bedil di Kabupaten Tanggamus juga menunjukkan bahwa Lampung merupakan wilayah Sriwijaya. Pada salah satu baris Prasasti Batu Bedil berisi mantra agama Buddha (Soekmono, 1985: 49 – 50). Berdasarkan hal itu, dilihat dari aspek keagamaan, Sriwijaya merupakan pusat agama Buddha di kawasan Asia Tenggara. Ketiga prasasti tersebut dituliskan dengan menggunakan huruf Pallawa (Utomo, 2007: 8 – 10). Selain ketiga prasasti tersebut di daerah Lampung juga ditemukan prasasti yang berhuruf Jawa Kuna. Prasasti tersebut di antaranya adalah Prasasti Hujunglangit dan Prasasti Tanjung Raya. Kedua prasasti tersebut menggunakan bahasa Melayu Kuna. Berdasarkan keberadaan kedua prasasti tersebut maka dalam tulisan ini akan dikaji bagaimana kondisi masyarakat Lampung pada masa yang sezaman dengan prasasti tersebut.
GAMBARAN OBJEKMunculnya sebutan Lampung mungkin masih relatif baru. Asumsi ini didasari pada kenyataan bahwa jarang didapatkan sumber sejarah masa klasik yang menyebut Lampung. Sumber sejarah yang menyinggung keberadaan Lampung adalah Nagarakrtagama dan Amanat Galunggung. Prapanca pada pupuh XIII dan XIV menyebut daerah-daerah Melayu yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Daerah-daerah itu adalah Jambi, Palembang, Toba, Dharmasraya, Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Pane, Kampe, Haru, Mandailing, Tamihang, Parlak, Padang Lawas, Samudra, Lamuri, Batan, Lampung, dan Barus (Muljana, 1979: 146 dan 279). Menurut pemberitaan dalam Nagarakrtagama, Lampung termasuk wilayah Kerajaan Melayu. Sumber sejarah lebih muda yang menyebut Lampung adalah Amanat Galunggung (kropak 632). Naskah ini terdiri 6 lembar atau 13 halaman, ditulis dengan menggunakan huruf dan bahasa Sunda kuna. Isi naskah berupa ajaran hidup yang diwujudkan dalam bentuk nasehat-nasehat. Dalam hal ini adalah nasehat Rakeyan Darmasiksa (1175 – 1297) kepada puteranya yang bernama Sang Lumahing Taman, beserta cucu, cicit, dan keturunannya. Pada pupuh II (4) disebutkan ... jaga dapetna pretapa dapetna pegengeun sakti, beunangna (ku) Sunda, Jawa, Lapung, ... (... waspadalah kemungkinan direbutnya kemuliaan dan pegangan kesaktian oleh Sunda, Jawa, Lampung...). Selanjutnya pada pupuh III (3) disebutkan ...jaga beunangna kabuyutan ku Jawa, ku Baluk, ku Cina, ku Lapung, ku sakalih... (...cegahlah terkuasainya kabuyutan oleh Jawa, oleh Baluk, oleh Lampung, oleh yang lainnya...) (Danasasmita, 1987). Kedua sumber sejarah tersebut menggambarkan bahwa pada masa Kerajaan Majapahit (abad ke-13 – 15) hingga masa Kerajaan Sunda (abad ke-10 – 16) masyarakat Lampung sudah berinteraksi dengan kerajaan-kerajaan yang sudah mendapat pengaruh budaya India.
Gambaran sebagian masyarakat Lampung pada abad ke-16 juga diceritakan oleh berita asing dari Portugis. Perjalanan Tomé Pires dari Laut Merah ke Jepang pada tahun 1512 hingga 1515 memberikan gambaran tentang keadaan dua lokasi di Lampung yaitu Tulangbawang dan Sekampung (Cortesão, 1967: 158 – 159). Tulangbawang merupakan lokasi yang berbatasan dengan Sekampung dan Andalas. Sebagian masyarakat Tulangbawang masih kafir atau penyembah berhala. Daerah ini merupakan penghasil lada, emas, kapas, lilin, rotan, beras, ikan, dan buah-buahan. Jalan masuk satu-satunya hanya melalui sungai. Perdagangan dilakukan dengan Jawa dan Sunda. Barang dagangan dikumpulkan kemudian dilakukan perdagangan antar pulau. Perjalanan dari Tulangbawang ke Sunda menyeberangi lautan dalam sehari sedangkan ke Jawa memerlukan waktu dua hari.
Sekampung merupakan daerah yang memiliki sumber daya sangat melimpah. Perdagangan dilakukan dengan Sunda dan Jawa. Barang dagangan meliputi kapas, emas, madu, lilin, rotan, dan lada. Bahan makanan yang diperdagangkan berupa beras, daging, ikan, minuman keras (wines), dan buah-buahan. Penguasa (pate) dan masyarakat Sekampung masih kafir. Perjalanan dari Sekampung menyeberang ke Jawa dengan menggunakan perahu (lancharas) dapat ditempuh dalam waktu tiga hari, sedangkan ke Sunda selama satu hari.
Selain berdasarkan sumber sejarah, budaya masa klasik di Lampung juga ditunjukkan oleh adanya beberapa sumber arkeologis. Salah satu bukti keberadaan budaya masa klasik di daerah Lampung adalah adanya beberapa prasasti. Prasasti Palas Pasemah yang ditemukan di tepi Way Pisang, Kalianda, Lampung Selatan dan Prasasti Bungkuk yang ditemukan di Lampung Timur menunjukkan bahwa Lampung pada masa klasik merupakan wilayah kekuasaan Sriwijaya (Purwanti, 1995: 98, Boechari, 1979: 19 – 40). Prasasti Batu Bedil di Kabupaten Tanggamus juga menunjukkan bahwa Lampung merupakan wilayah Sriwijaya. Pada salah satu baris Prasasti Batu Bedil berisi mantra agama Buddha (Soekmono, 1985: 49 – 50). Berdasarkan hal itu, dilihat dari aspek keagamaan, Sriwijaya merupakan pusat agama Buddha di kawasan Asia Tenggara. Ketiga prasasti tersebut dituliskan dengan menggunakan huruf Pallawa (Utomo, 2007: 8 – 10). Selain ketiga prasasti tersebut di daerah Lampung juga ditemukan prasasti yang berhuruf Jawa Kuna. Prasasti tersebut di antaranya adalah Prasasti Hujunglangit dan Prasasti Tanjung Raya. Kedua prasasti tersebut menggunakan bahasa Melayu Kuna. Berdasarkan keberadaan kedua prasasti tersebut maka dalam tulisan ini akan dikaji bagaimana kondisi masyarakat Lampung pada masa yang sezaman dengan prasasti tersebut.
Situs arkeologi yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah Situs Hujunglangit dan Situs Tanjung Raya. Kedua situs tersebut secara administratif berada di Kecamatan Sukau, Lampung Barat.
Situs Hujunglangit atau disebut juga Situs Harakuning. Situs ini secara administratif berada di dusun Harakuning, Desa Hanakau. Lokasi situs berada pada ordinat 104°04’48,1” Bujur Timur dan 04°59’38” Lintang Selatan, pada ketinggian 912 meter di atas permukaan laut (Berdasarkan pembacaan GPS). Lokasi situs berada di suatu lahan datar yang ditanami labu siam dan kopi.
Dalam kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Bandung pada tahun 1995 diketahui bahwa situs Hujunglangit berada di suatu lahan yang oleh penduduk setempat disebut sebagai “pulau”. Hal ini disebabkan karena lokasi tersebut berupa gundukan tanah yang dibatasi oleh dua batang parit di sebelah utara dan selatan. Tinggalan arkeologis yang terdapat di situs ini adalah Prasasti Hujunglangit. Prasasti Hujung Langit berada di sebelah utara lahan. Tempat kedudukan prasasti berada pada suatu teras berundak yang berjumlah tiga undakan (Agus, 1995).
Sekarang ini prasasti berada pada suatu lahan yang sedikit lebih tinggi dari tanah sekitarnya. Di sekeliling lahan terdapat cekungan melingkar yang membentuk seperti parit. Prasasti berada di lahan yang berpagar kawat dengan ukuran 95 m2, dengan pintu masuk berada di sisi selatan. Untuk melindungi prasasti telah dibuatkan cungkup oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang. Cungkup tersebut berupa bangunan terbuka dengan atap seng. Selain prasasti, di dalam cungkup terdapat satu arca megalitik dan beberapa potongan batu yang menunjukkan adanya bekas pengerjaan oleh manusia. Diperkirakan potongan-potongan batu tersebut merupakan sisa suatu bangunan.
Prasasti Hujung Langit dipahatkan pada sebongkah batu andesit yang berbentuk cenderung kerucut dengan bagian atas lebih kecil daripada bagian bawah. Sebagian dari batu prasasti ini terpendam di dalam tanah.
Prasasti terdiri dari 18 baris tulisan yang digoreskan pada permukaan batu yang menghadap ke utara. Kondisi tulisan sudah sangat aus. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh L.C Damais, NJ Krom, dan Boechari diketahui bahwa prasasti tersebut berhuruf Jawa Kuna dan berbahasa Melayu Kuna. Berdasarkan paleografinya diperkirakan bahwa prasasti tersebut berasal dari sekitar abad ke-10 M. Damais yang melakukan pembacaan prasasti berhasil mengetahui sebagian kalimat yang tertulis dalam prasasti tersebut sebagai berikut (Damais, 1995: 33):
Situs Hujunglangit atau disebut juga Situs Harakuning. Situs ini secara administratif berada di dusun Harakuning, Desa Hanakau. Lokasi situs berada pada ordinat 104°04’48,1” Bujur Timur dan 04°59’38” Lintang Selatan, pada ketinggian 912 meter di atas permukaan laut (Berdasarkan pembacaan GPS). Lokasi situs berada di suatu lahan datar yang ditanami labu siam dan kopi.
Dalam kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Bandung pada tahun 1995 diketahui bahwa situs Hujunglangit berada di suatu lahan yang oleh penduduk setempat disebut sebagai “pulau”. Hal ini disebabkan karena lokasi tersebut berupa gundukan tanah yang dibatasi oleh dua batang parit di sebelah utara dan selatan. Tinggalan arkeologis yang terdapat di situs ini adalah Prasasti Hujunglangit. Prasasti Hujung Langit berada di sebelah utara lahan. Tempat kedudukan prasasti berada pada suatu teras berundak yang berjumlah tiga undakan (Agus, 1995).
Sekarang ini prasasti berada pada suatu lahan yang sedikit lebih tinggi dari tanah sekitarnya. Di sekeliling lahan terdapat cekungan melingkar yang membentuk seperti parit. Prasasti berada di lahan yang berpagar kawat dengan ukuran 95 m2, dengan pintu masuk berada di sisi selatan. Untuk melindungi prasasti telah dibuatkan cungkup oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang. Cungkup tersebut berupa bangunan terbuka dengan atap seng. Selain prasasti, di dalam cungkup terdapat satu arca megalitik dan beberapa potongan batu yang menunjukkan adanya bekas pengerjaan oleh manusia. Diperkirakan potongan-potongan batu tersebut merupakan sisa suatu bangunan.
Prasasti Hujung Langit dipahatkan pada sebongkah batu andesit yang berbentuk cenderung kerucut dengan bagian atas lebih kecil daripada bagian bawah. Sebagian dari batu prasasti ini terpendam di dalam tanah.
Prasasti terdiri dari 18 baris tulisan yang digoreskan pada permukaan batu yang menghadap ke utara. Kondisi tulisan sudah sangat aus. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh L.C Damais, NJ Krom, dan Boechari diketahui bahwa prasasti tersebut berhuruf Jawa Kuna dan berbahasa Melayu Kuna. Berdasarkan paleografinya diperkirakan bahwa prasasti tersebut berasal dari sekitar abad ke-10 M. Damais yang melakukan pembacaan prasasti berhasil mengetahui sebagian kalimat yang tertulis dalam prasasti tersebut sebagai berikut (Damais, 1995: 33):
// swasti sri sakalawarsatita 9-- margasiramasa. tithi nawami suklaspaksa. wa-- wara. Wuku kuninan......
(// Selamat, tahun Saka (yang berlalu 91-, bulan Margasira, tanggal 9 paro terang, hari Was, wuku kuningan)
Setelah baris ketiga ini hanya beberapa kata yang dapat terbaca yaitu pada baris ke-4 terdapat kata ... tatakala.... satanah sahutan....., baris ke-7 terbaca kata tatkala punku haji ....... sri haridewa....., dan pada baris ke-12 di Hujunglangit. Keyakinan bahwa prasasti ini menggunakan bahasa Melayu adalah adanya kata penunjuk lokasi di (Damais, 1995: 32)
Berdasarkan beberapa kata yang masih dapat terbaca diduga bahwa isi prasasti ini adalah mengenai penetapan sebidang tanah/hutan di Hujung Langit sebagai sima oleh Pungku Haji Yuwarajya Sri Haridewa untuk dipergunakan membiayai pemeliharaan suatu bangunan suci (Utomo, 2007: 7). Selain 18 goresan membentuk huruf tersebut pada bagian atas prasasti terdapat goresan membentuk pisau belati. Pisau belati tersebut digambarkan terhunus dengan mata belati menghadap ke kanan (Damais, 1995: 29).
Situs Tanjung Raya. Situs ini secara administratif berada di Desa Tanjung Raya. Lokasi situs berada pada ordinat 104°03’21,8” BT dan 05°00’04,7” LS, pada ketinggian 904 m dpl. Lahan situs sekarang ini dipergunakan oleh penduduk untuk menanam kopi dan sayur-sayuran seperti kol, wortel, sawi dan sayur-sayuran lain. Lahan dimiliki oleh penduduk dan disewakan kepada para petani penggarap. Para petani penggarap sebagian besar adalah pendatang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tinggalan arkeologis yang terdapat di situs ini adalah Prasasti Tanjung Raya.
Situs Tanjung Raya berada pada lahan datar dengan luas sekitar 25 ha. Lahan tersebut dikelilingi lahan lebih rendah yang sekarang difungsikan sebagai sawah. Pada lahan lebih rendah tersebut pada beberapa bagian terdapat kolam dengan mata air. Lebar lahan yang lebih rendah tersebut sekitar 20 – 25 m, sedangkan beda tinggi sekitar 15 m. Dahulu bagian yang lebih rendah tersebut dipenuhi air, sehingga masyarakat sekitar menyebut lahan tempat beradanya prasasti sebagai “pulau cakhmumung”, yang artinya “pulau menggantung”.
Bagian yang diperkirakan sebagai pintu masuk berada di sisi Barat Laut. Berdasarkan pengamatan permukaan di bagian utara, timur, dan selatan lahan banyak ditemukan tinggalan artefaktual berupa fragmen tembikar dan keramik. Sedangkan di bagian barat lahan temuan fragmen tembikar dan keramik sangat sedikit. Selain temuan artefaktual juga terdapat batu datar dan batu berlobang. Prasasti Tanjung Raya berada pada sebuah lahan datar di sisi Utara. Prasasti berada pada lahan yang berpagar kawat berduri. Untuk melindungi prasasti telah dibuatkan cungkup oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang. Cungkup tersebut berupa bangunan terbuka dengan atap seng. Pintu masuk berada di sisi sebelah selatan.
Prasasti terdiri dari 2 bongkah batu, sehingga disebut dengan Prasasti Tanjung Raya 1 dan Prasasti Tanjung Raya 2. Prasasti Tanjung Raya 1 berupa sebongkah batu datar berbentuk cenderung bulat. Goresan terdapat di bagian permukaan atas. Keadaan huruf sudah sangat aus sehingga sangat sulit untuk dibaca. Berdasarkan pengamatan oleh Hasan Djafar dan Boechari disimpulkan bahwa prasasti tersebut terdiri dari 8 baris dengan huruf Jawa Kuna. Bentuk huruf cenderung persegi. Berdasarkan paleografinya prasasti tersebut diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-10 M. Pada batu ini juga dipahatkan bingkai menyerupai segi empat dan terdapat sebuah bejana dengan tepian melengkung dan dari dalamnya keluar sehelai daun (Winarto, ed, 2006: 8). Selain itu di bagian bawah tulisan terdapat goresan yang membentuk seekor binatang menyerupai gajah tetapi mempunyai tanduk (Tim penelitian, 2009).
Prasasti Tanjung Raya 2 dipahatkan pada sebongkah batu tegak. Goresan berada pada permukaan batu yang menghadap ke Utara. Prasasti berisi satu baris tulisan dan pahatan berbentuk pisau dengan mata pisau mengarah ke atas. Tulisan yang terpahat pada prasasti tersebut berhuruf Jawa Kuna dengan bentuk agak membulat dan berbahasa Melayu Kuna. Berdasarkan paleografinya diperkirakan prasasti ini berasal dari abad ke-14 M. Tulisan pada prasasti Tanjung Raya 2 berbunyi “Batu Pahat” sehingga prasasti inipun disebut dengan Prasasti Batu Pahat (Winarto, ed, 2006: 9).
KEHIDUPAN MASYARAKAT
Masyarakat yang tinggal di Lampung merupakan pendatang dari berbagai daerah. Salah satu legenda mengenai asal-usul masyarakat Lampung menceritakan bahwa nenek moyang orang Lampung berasal dari Sungai Tatang dekat Bukit Siguntang, Sumatera Selatan. Salah seorang moyang yang bernama Naga Berisang meninggalkan kampung di Sungai Tatang mengembara mencari penghidupan hingga sampai di sekitar Danau Ranau. Keturunan Naga Berisang di bawah pimpinan Poyang Sakti pindah ke Cinggiring, Sekala Berak (Warganegara, 1994: 2). Mengenai penghunian kawasan Sekala Berak, tradisi lisan masyarakat juga menyebutkan bahwa pada masa itu dikenal empat pemimpin yaitu Empu Cangih, Empu Serunting, Empu Rakihan, dan Empu Aji Saka. Disebutkan bahwa keempat empu itu merupakan penguasa yang masing-masing mempunyai wilayah kekuasaan sendiri-sendiri. Sistem penguasaannya dalam bentuk semacam pemerintahan yang disebut dengan istilah keratuan.*)
Berkaitan masalah masyarakat yang mendiami Lampung, Olivier Sevin (1989) pernah melakukan kajian yang hasilnya menyimpulkan bahwa masyarakat Lampung dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu masyarakat asli dan pendatang. Masyarakat yang diperkirakan sebagai penduduk asli adalah orang Pubian yang menempati kawasan antara Padangratu, Kota Agung, Teluk Betung, serta wilayah selatan Gunung Sugih di mana kawasan ini dibelah Way Sekampung.
Masyarakat pendatang terdiri dari empat gelombang migran yaitu gelombang Sekala Berak, gelombang Banten, gelombang Palembang, dan kolonisasi. Masyarakat Sekala Berak sebetulnya sulit dikatakan sebagai masyarakat pendatang. Dalam beberapa tradisi lisan, masyarakat Sekala Berak merupakan masyarakat dari Pagarruyung yang pindah dan menetap di sekitar Bukit Pesagi hingga tepian Danau Ranau. Sekitar awal abad ke-14 kawasan Sekala Berak mengalami tekanan populasi tinggi. Hal itu menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya gerakan migrasi ke bagian tengah dan selatan Lampung. Selanjutnya gelombang migrasi dari Banten berlangsung pada abad ke-17 demikian juga gelombang Palembang. Sedangkan Kolonisasi dari Jawa terjadi pada abad ke-19. Hipotesis Sevin ini masih perlu diuji. Menurut tradisi sejarah lisan masyarakat, emigran yang masuk ke Lampung juga berasal dari Pagaruyung, Bengkulu, Jambi, masyarakat Melayu, dan Bugis (Warganegara, 1994: 3 – 13; Hadikusuma, 1989: 44 – 52).
Sebelum terjadi gelombang migrasi dari Banten dan Kolonisasi dari Jawa, pada sekitar abad ke-17 – 18 masyarakat yang berdiam di Lampung diperkirakan sudah membentuk suatu sistem pemerintahan persekutuan adat (keratuan) berdasarkan buay (keturunan) yang disebut paksi (kesatuan buay inti atau clan) dan marga (kesatuan dari bagian buay atau jurai dalam bentuk kesatuan kampung atau suku). Pemerintahan persekutuan adat ini terdiri dari dua sistem yaitu pepadun dan seibatin (Hadikusuma, 1989: 157). Meskipun sudah terbentuk semacam sistem pemerintahan, masyarakat Lampung tidak pernah dapat memusatkan kesatuan kerabatnya pada satu kesatuan tempat yang besar (perkampungan). Hal ini terjadi karena ada kaitannya dengan sistem matapencaharian sebagai peladang. Ladang tempat bertanam lada diusahakan secara terpencar dengan sistem umbulan. Lokasi umbulan ini pun dalam satu periode tertentu berpindah menyesuaikan kondisi lahan. Apa yang disebut keratuan secara fisik hanya merupakan tempat kedudukan Punyimbang yang tertua dari keturunan yang tertua. Punyimbang yang tertua ini berkedudukan sebagai pemimpin buay (keturunan) dan pemimpin bumi (penguasa wilayah). Punyimbang tertua pemegang status sosial tertinggi di antara masyarakat kelompoknya. Punyimbang dari keturunan kedua bertindak sebagai kelompok masyarakat yang menjaga kehormatan kelompok lebih tua pemegang status sosial tertinggi. Punyimbang ketiga dari keturunan ketiga bertindak sebagai kelompok pelaksana ekonomi, pengatur pertanian dan perniagaan. Punyimbang-punyimbang yang datang untuk bergabung yang bukan merupakan kerabat tidak punya kedudukan dalam pengaturan tetapi sebatas mengatur kerabat masing-masing. Masyarakat Lampung dalam berserikat dan berkumpul dalam satu kelompok akan menganggap lebih tua, menghormati, dan menempatkan kedudukan tertinggi kepada punyimbang asal keturunan yang disebut punyimbang marga atau punyimbang paksi (Hadikusuma, 1989: 7 – 8). Kondisi masyarakat seperti itu berlangsung sejak zaman sebelum Islam.
Pada masa klasik yaitu masa di mana pengaruh budaya Hindu-Buddha dari India sangat kuat, di Lampung tidak ada bukti adanya suatu kerajaan (kingdom). Beberapa prasasti yang ditemukan di Lampung kebanyakan merupakan prasasti yang dikeluarkan oleh Kerajaan Sriwijaya.
Ketika Sriwijaya mengalami kemunduran, mungkin kawasan Lampung menjadi wilayah kekuasaan kerajaan di Jawa. Di Dusun Harakuning, Desa Hanakau, terdapat Prasasti Hujunglangit. Damais memastikan prasasti tersebut berasal dari tahun 919 Ç atau 997 M. Pengaruh Jawa yang tampak dalam sistem penanggalannya, oleh Damais dihubungkan dengan ekspedisi Jawa dalam melawan Sriwijaya yang menurut berita Cina terjadi pada tahun 992 – 993 M. Damais menarik kesimpulan bahwa pengaruh Jawa tersebut merupakan hasil pendudukan Jawa sebagaimana dilaporkan dalam sumber Cina (Guillot, et all., 1996: 116).
Pada sekitar abad ke-10 tersebut Jawa berada di bawah kekuasaan raja Dharmawangsa Teguh dari Kerajaan Mataram yang berpusat di Jawa Timur. Pada masa itu terjadi penyerangan Kerajaan Sriwijaya oleh Kerajaan Jawa (Sumadio, 1990: 173). Politik ekspansi yang dilakukan oleh Dharmawangsa Teguh juga merambah daerah Bali (Sumadio, 1990: 171).
Prasasti Hujunglangit berisi mengenai penetapan hutan di Hujunglangit sebagai sima supaya dipergunakan untuk pemeliharaan bangunan suci. Prasasti tersebut menggunakan huruf Jawa Kuna. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara Jawa dan Lampung. Penetapan suatu daerah menjadi sima tentunya dengan alasan bahwa di tempat tersebut terdapat suatu bangunan suci. Di sekitar prasasti Hujunglangit ditemukan sejumlah potongan batu yang menunjukkan bekas pengerjaan oleh manusia. Kemungkinan potongan batu tersebut merupakan bekas suatu bangunan suci yang dimaksud dalam prasasti tersebut. Dengan demikian masyarakat yang bermukim di lokasi tersebut merupakan suatu kelompok masyarakat religius.
Isi Prasasti Tanjung Raya sampai sekarang belum diketahui. Namun berdasarkan pengamatan permukaan ditemukan banyak fragmen keramik dan tembikar yang menunjukkan sebagai bekas peralatan rumah tangga. Selain itu tempat keberadaan Prasasti Tanjung Raya merupakan lahan yang subur dengan sumber air yang melimpah, sehingga memungkinkan lokasi tersebut sebagai pemukiman masyarakat.
PENUTUP
Prasasti Hujung Langit merupakan prasasti penetapan daerah Hujung Langit menjadi sima. Hasil dari daerah tersebut dipergunakan untuk memelihara suatu bangunan suci. Dengan demikian diketahui bahwa masyarakat yang bermukim di daerah tersebut merupakan masyarakat religius. Hal itu didukung dengan adanya potongan-potongan batu yang menunjukkan adanya bekas-bekas pengerjaan oleh manusia. Potongan-potongan batu tersebut kemungkinan merupakan sisa-sisa suatu bangunan suci.
Sementara itu isi prasasti Tanjung Raya sampai sekarang belum dapat diketahui. Namun berdasarkan adanya temuan artefaktual berupa fragmen keramik dan tembikar yang menunjukkan sebagai peralatan rumah tangga sehari-hari, kemungkinan daerah tersebut merupakan kawasan pemukiman masyarakat.
Berkaitan masalah masyarakat yang mendiami Lampung, Olivier Sevin (1989) pernah melakukan kajian yang hasilnya menyimpulkan bahwa masyarakat Lampung dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu masyarakat asli dan pendatang. Masyarakat yang diperkirakan sebagai penduduk asli adalah orang Pubian yang menempati kawasan antara Padangratu, Kota Agung, Teluk Betung, serta wilayah selatan Gunung Sugih di mana kawasan ini dibelah Way Sekampung.
Masyarakat pendatang terdiri dari empat gelombang migran yaitu gelombang Sekala Berak, gelombang Banten, gelombang Palembang, dan kolonisasi. Masyarakat Sekala Berak sebetulnya sulit dikatakan sebagai masyarakat pendatang. Dalam beberapa tradisi lisan, masyarakat Sekala Berak merupakan masyarakat dari Pagarruyung yang pindah dan menetap di sekitar Bukit Pesagi hingga tepian Danau Ranau. Sekitar awal abad ke-14 kawasan Sekala Berak mengalami tekanan populasi tinggi. Hal itu menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya gerakan migrasi ke bagian tengah dan selatan Lampung. Selanjutnya gelombang migrasi dari Banten berlangsung pada abad ke-17 demikian juga gelombang Palembang. Sedangkan Kolonisasi dari Jawa terjadi pada abad ke-19. Hipotesis Sevin ini masih perlu diuji. Menurut tradisi sejarah lisan masyarakat, emigran yang masuk ke Lampung juga berasal dari Pagaruyung, Bengkulu, Jambi, masyarakat Melayu, dan Bugis (Warganegara, 1994: 3 – 13; Hadikusuma, 1989: 44 – 52).
Sebelum terjadi gelombang migrasi dari Banten dan Kolonisasi dari Jawa, pada sekitar abad ke-17 – 18 masyarakat yang berdiam di Lampung diperkirakan sudah membentuk suatu sistem pemerintahan persekutuan adat (keratuan) berdasarkan buay (keturunan) yang disebut paksi (kesatuan buay inti atau clan) dan marga (kesatuan dari bagian buay atau jurai dalam bentuk kesatuan kampung atau suku). Pemerintahan persekutuan adat ini terdiri dari dua sistem yaitu pepadun dan seibatin (Hadikusuma, 1989: 157). Meskipun sudah terbentuk semacam sistem pemerintahan, masyarakat Lampung tidak pernah dapat memusatkan kesatuan kerabatnya pada satu kesatuan tempat yang besar (perkampungan). Hal ini terjadi karena ada kaitannya dengan sistem matapencaharian sebagai peladang. Ladang tempat bertanam lada diusahakan secara terpencar dengan sistem umbulan. Lokasi umbulan ini pun dalam satu periode tertentu berpindah menyesuaikan kondisi lahan. Apa yang disebut keratuan secara fisik hanya merupakan tempat kedudukan Punyimbang yang tertua dari keturunan yang tertua. Punyimbang yang tertua ini berkedudukan sebagai pemimpin buay (keturunan) dan pemimpin bumi (penguasa wilayah). Punyimbang tertua pemegang status sosial tertinggi di antara masyarakat kelompoknya. Punyimbang dari keturunan kedua bertindak sebagai kelompok masyarakat yang menjaga kehormatan kelompok lebih tua pemegang status sosial tertinggi. Punyimbang ketiga dari keturunan ketiga bertindak sebagai kelompok pelaksana ekonomi, pengatur pertanian dan perniagaan. Punyimbang-punyimbang yang datang untuk bergabung yang bukan merupakan kerabat tidak punya kedudukan dalam pengaturan tetapi sebatas mengatur kerabat masing-masing. Masyarakat Lampung dalam berserikat dan berkumpul dalam satu kelompok akan menganggap lebih tua, menghormati, dan menempatkan kedudukan tertinggi kepada punyimbang asal keturunan yang disebut punyimbang marga atau punyimbang paksi (Hadikusuma, 1989: 7 – 8). Kondisi masyarakat seperti itu berlangsung sejak zaman sebelum Islam.
Pada masa klasik yaitu masa di mana pengaruh budaya Hindu-Buddha dari India sangat kuat, di Lampung tidak ada bukti adanya suatu kerajaan (kingdom). Beberapa prasasti yang ditemukan di Lampung kebanyakan merupakan prasasti yang dikeluarkan oleh Kerajaan Sriwijaya.
Ketika Sriwijaya mengalami kemunduran, mungkin kawasan Lampung menjadi wilayah kekuasaan kerajaan di Jawa. Di Dusun Harakuning, Desa Hanakau, terdapat Prasasti Hujunglangit. Damais memastikan prasasti tersebut berasal dari tahun 919 Ç atau 997 M. Pengaruh Jawa yang tampak dalam sistem penanggalannya, oleh Damais dihubungkan dengan ekspedisi Jawa dalam melawan Sriwijaya yang menurut berita Cina terjadi pada tahun 992 – 993 M. Damais menarik kesimpulan bahwa pengaruh Jawa tersebut merupakan hasil pendudukan Jawa sebagaimana dilaporkan dalam sumber Cina (Guillot, et all., 1996: 116).
Pada sekitar abad ke-10 tersebut Jawa berada di bawah kekuasaan raja Dharmawangsa Teguh dari Kerajaan Mataram yang berpusat di Jawa Timur. Pada masa itu terjadi penyerangan Kerajaan Sriwijaya oleh Kerajaan Jawa (Sumadio, 1990: 173). Politik ekspansi yang dilakukan oleh Dharmawangsa Teguh juga merambah daerah Bali (Sumadio, 1990: 171).
Prasasti Hujunglangit berisi mengenai penetapan hutan di Hujunglangit sebagai sima supaya dipergunakan untuk pemeliharaan bangunan suci. Prasasti tersebut menggunakan huruf Jawa Kuna. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara Jawa dan Lampung. Penetapan suatu daerah menjadi sima tentunya dengan alasan bahwa di tempat tersebut terdapat suatu bangunan suci. Di sekitar prasasti Hujunglangit ditemukan sejumlah potongan batu yang menunjukkan bekas pengerjaan oleh manusia. Kemungkinan potongan batu tersebut merupakan bekas suatu bangunan suci yang dimaksud dalam prasasti tersebut. Dengan demikian masyarakat yang bermukim di lokasi tersebut merupakan suatu kelompok masyarakat religius.
Isi Prasasti Tanjung Raya sampai sekarang belum diketahui. Namun berdasarkan pengamatan permukaan ditemukan banyak fragmen keramik dan tembikar yang menunjukkan sebagai bekas peralatan rumah tangga. Selain itu tempat keberadaan Prasasti Tanjung Raya merupakan lahan yang subur dengan sumber air yang melimpah, sehingga memungkinkan lokasi tersebut sebagai pemukiman masyarakat.
PENUTUP
Prasasti Hujung Langit merupakan prasasti penetapan daerah Hujung Langit menjadi sima. Hasil dari daerah tersebut dipergunakan untuk memelihara suatu bangunan suci. Dengan demikian diketahui bahwa masyarakat yang bermukim di daerah tersebut merupakan masyarakat religius. Hal itu didukung dengan adanya potongan-potongan batu yang menunjukkan adanya bekas-bekas pengerjaan oleh manusia. Potongan-potongan batu tersebut kemungkinan merupakan sisa-sisa suatu bangunan suci.
Sementara itu isi prasasti Tanjung Raya sampai sekarang belum dapat diketahui. Namun berdasarkan adanya temuan artefaktual berupa fragmen keramik dan tembikar yang menunjukkan sebagai peralatan rumah tangga sehari-hari, kemungkinan daerah tersebut merupakan kawasan pemukiman masyarakat.
____________
*) Abdullah A. Soebing, B.A. (1988: 9) menyebutkan bahwa pada mulanya keempat pemerintahan yang ada di Lampung disebut dengan istilah kedatuan. Istilah keratuan mulai dipakai sejak Puyang Lunik bersama Sai Sangkan mendirikan perkampungan di Pugung, muara Way Sekampung yang disebut Keratuan Di Pugung. Keturunan Puyang Lunik mengangkat dirinya menjadi Ratu di kampungnya. Orang Abung dan Pubian mendirikan adat masing-masing dan tidak menyebut dirinya Punyimbang dengan gelar Minak melainkan dengan sebutan Ratu. Hilman Hadikusuma (1989: 157) dan Marwansyah Warganegara (1994: 4) berpendapat bahwa sejak pada masa awal pemerintahan di Lampung sudah disebut dengan istilah keratuan.
DAFTAR PUSTAKA
Agus. 1995. Laporan Hasil Penelitian Lingkungan dan Tinggalan Arkeologis di Situs Klasik Harakuning, Lampung Barat, Propinsi Lampung. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.
Boechari, 1979. An Old Malay Inscription of Sriwijaya At Palas Pasemah (South Lampung). Dalam Pra Seminar Penelitian Sriwijaya, hlm. 19 - 40. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.
Cortesão, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tome Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprin Limited.
Damais, Louis-Charles. 1995. Epigrafi dan Sejarah Nusantara. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Danasasmita, Saleh. 1987. 1987. Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Guillot, et all., 1996. Banten Sebelum Zaman Islam: Kajian Arkeologi di Banten Girang 932 – 1526. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional – EFEO.
Hadikusuma, Hilman. 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandung: Mandar Maju.
Muljana, Slamet. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Purwanti, Retno. 1995. Perang Pada Masa Sriwijaya: Tinjauan Terhadap Prasasti-prasasti Abad VII Masehi. Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung No. 2, hlm. 98 – 103. Bandung Balai Arkeologi Bandung
Sevin, Olivier. 1989. History and Population. Dalam Transmigration, hlm. 13 – 123. Jakarta: ORSTOM – Departemen transmigrasi Republik Indonesia.
Soekmono, R. 1985. Kisah Perjalanan ke Sumatra Selatan dan Jambi. Dalam Satyawati Suleiman et al. Amerta 3. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Sumadio, Bambang. 1990. Jaman Kuno. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakar¬ta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, PN Balai Pustaka.
Tim Penelitian. 2009. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi tentang Budaya Masa Pengaruh Hindu-Buddha di Kawasan Lampung Tahap 2. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.
Utomo, Bambang Budi. 2007. Prasasti-Prasasti Sumatra. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional
Warganegara, Marwansyah. 1994. Riwayat Orang Lampung.
Winarto, Bambang Sigit (ed,), 2006. Prasasti Koleksi Museum Lampung. Bandar Lampung: UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung “Ruwa Jurai”
Boechari, 1979. An Old Malay Inscription of Sriwijaya At Palas Pasemah (South Lampung). Dalam Pra Seminar Penelitian Sriwijaya, hlm. 19 - 40. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.
Cortesão, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tome Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprin Limited.
Damais, Louis-Charles. 1995. Epigrafi dan Sejarah Nusantara. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Danasasmita, Saleh. 1987. 1987. Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Guillot, et all., 1996. Banten Sebelum Zaman Islam: Kajian Arkeologi di Banten Girang 932 – 1526. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional – EFEO.
Hadikusuma, Hilman. 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandung: Mandar Maju.
Muljana, Slamet. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Purwanti, Retno. 1995. Perang Pada Masa Sriwijaya: Tinjauan Terhadap Prasasti-prasasti Abad VII Masehi. Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung No. 2, hlm. 98 – 103. Bandung Balai Arkeologi Bandung
Sevin, Olivier. 1989. History and Population. Dalam Transmigration, hlm. 13 – 123. Jakarta: ORSTOM – Departemen transmigrasi Republik Indonesia.
Soekmono, R. 1985. Kisah Perjalanan ke Sumatra Selatan dan Jambi. Dalam Satyawati Suleiman et al. Amerta 3. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Sumadio, Bambang. 1990. Jaman Kuno. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakar¬ta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, PN Balai Pustaka.
Tim Penelitian. 2009. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi tentang Budaya Masa Pengaruh Hindu-Buddha di Kawasan Lampung Tahap 2. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.
Utomo, Bambang Budi. 2007. Prasasti-Prasasti Sumatra. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional
Warganegara, Marwansyah. 1994. Riwayat Orang Lampung.
Winarto, Bambang Sigit (ed,), 2006. Prasasti Koleksi Museum Lampung. Bandar Lampung: UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung “Ruwa Jurai”
Catatan:
Tulisan ini merupakan bagian dari isi buku berjudul Dari Masa Lalu ke Masa Kini: Kajian Budaya Materi, Tradisi, dan Pariwisata. Editor: Dr. Wanny Rahardjo Wahyudi. Jatinangor: Alqaprint, 2010.