18 Januari 2009

Hastaleleka 1

PRASASTI BATU BEDIL DAN LINGKUNGANNYA DI PULAU PANGGUNG, KABUPATEN TANGGAMUS, LAMPUNG


Endang Widyastuti


Pendahuluan

Latar Belakang

Prasasti merupakan sumber sejarah yang memberikan keterangan tentang peristiwa politik, birokrasi, religi, dan kondisi masyarakat lainnya. Prasasti biasanya dikeluarkan oleh penguasa baik pada tingkat pusat pemerintahan maupun penguasa daerah. Di daerah Lampung tidak pernah ditemukan suatu indikator sebagai pusat pemerintahan pada tingkat kerajaan dari masa Hindu-Buddha (Klasik). Beberapa tinggalan dari masa klasik menunjukkan bahwa masyarakat pendukungnya bukan dari pusat kerajaan namun merupakan masyarakat yang berada di bawah satu kerajaan. Berdasarkan prasasti yang pernah ditemukan menunjukkan bahwa daerah Lampung pada masa klasik berada di bawah penguasaan Kerajaan Sriwijaya. Prasasti Palas Pasemah yang ditemukan di tepi Sungai Pisang, anak Way Sekampung, Lampung Selatan menyiratkan bahwa Lampung berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.

Menurut Boechari (1979) berdasarkan perbandingan bentuk huruf dengan prasasti-prasasti lainnya, Prasasti Palas Pasemah diduga berasal dari akhir abad ke-7 M. Prasasti tersebut berisi tentang penaklukan daerah Lampung dan kutukan-kutukan kepada yang berani memberontak kepada Sriwijaya. Prasasti yang isinya mirip dengan Prasasti Palas Pasemah ditemukan di Kota Kapur, Bangka (Sumadio, 1990: 58 – 59)

Selain Prasasti Palas Pasemah, di daerah Lampung terdapat beberapa prasasti lain, yaitu Prasasti Bungkuk (Jabung) yang berasal dari akhir abad ke-7 M, Prasasti Hujung Langit (Bawang) dari akhir abad ke-10 M, Prasasti Tanjung Raya I dari sekitar abad ke-10 M, Prasasti Tanjung Raya II (Batu Pahat) dari sekitar abad ke-14 M, Prasasti Ulu Belu dari abad ke-14 M, Prasasti angka tahun (1247 Saka) dari Pugung Raharjo, Prasasti Batu Bedil dari sekitar abad ke-10 M yang ditemukan di Pulau Panggung, dan Prasasti Sumberhadi dari sekitar abad ke-16 M (Djafar dan Falah, 1995).

Prasasti Batu Bedil ditemukan di Dusun Batu Bedil, Pulau Panggung, Kabupaten Tanggamus. Prasasti dituliskan pada sebongkah batu berukuran panjang 185 cm, lebar 72 cm, tebal 55 cm. Prasasti terdiri 10 baris dengan tinggi huruf sekitar 5 cm. Kondisi huruf sudah aus namun pada beberapa bagian masih bisa terbaca. Pada baris pertama terbaca Namo Bhagawate dan pada baris kesepuluh terbaca Swâhâ. Namo Bhagawate sebagai permulaan dan Swâhâ sebagai penutup memberi dugaan bahwa prasasti itu berkaitan dengan mantra. Bahasa yang digunakan adalah Sansekerta. Prasasti ini tidak berangka tahun. Berdasarkan paleografisnya menunjukkan berasal dari akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10 (Soekmono, 1985).


Masalah

Cara penulisan prasasti dan penempatannya mungkin mengandung maksud tertentu. Penulisan Prasasti Palas Pasemah jelas ditujukan kepada masyarakat sebagai peringatan. Penempatan pada tepi Sungai Pisang menunjukkan bahwa lokasi tersebut pada waktu itu mempunyai peranan penting.

Menurut catatan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Lampung di daerah Pulau Panggung juga ditemukan tinggalan berupa kompleks megalitik. Dengan demikian terlihat bahwa di daerah Pulau Panggung terdapat masyarakat yang sudah mengenal sistem religi yang didukung sistem organisasi. Berkaitan dengan data tersebut muncul permasalahan bagaimanakah watak situs dimana terdapat Prasasti Batu Bedil, apakah sebagai situs pemujaan atau situs pemukiman. Selanjutnya akan dilihat juga bagaimana hubungan antara situs dan lingkungan budayanya.


Tujuan

Berkaitan dengan data yang pernah dilaporkan serta dalam kaitannya dengan permasalahan yang mengemuka, kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi watak situs berdasarkan tinggalan yang ada. Berdasarkan telaah tersebut diharapkan pula dapat diketahui gambaran kehidupan masyarakat yang tercermin dari hubungan antara situs dan lingkungannya.


Metode Penelitian

Penelitian terhadap Prasasti Batu Bedil dan lingkungannya dilaksanakan dengan menerapkan tipe penelitian eksploratif. Data yang dikumpulkan berupa monumen tinggalan arkeologis, artefak-artefak, dan bentang lahan sekitar prasasti. Strategi penelitian melalui observasi lapangan. Selain itu untuk menjaring data juga dilakukan wawancara dengan masyarakat, suatu bentuk wawancara yang bersifat terbuka dan tertutup.


Hasil Penelitian

Gambaran Umum Daerah

Wilayah Kecamatan Pulau Panggung terdiri dari beberapa desa. Jarak antara satu desa dengan desa lainnya relatif jauh. Secara umum dapat dikatakan merupakan daerah yang berpenduduk jarang. Pemukiman penduduk hanya berada di sepanjang tepi jalan.

Bentang alam daerah berupa pedataran bergelombang. Secara umum ketinggian berkisar antara 300 – 400 m dpl. Lahan selain dimanfaatkan untuk pemukiman kebanyakan berupa kebun, ladang, dan sawah.

Sungai yang mengalir di daerah ini antara lain adalah Sungai Ulok Ngaherong beserta anak-anak sungainya dan Sungai Ilahan. Sungai Ulok Ngaherong menyatu dengan Sungai Ilahan. Sungai Ilahan menyatu dengan Way Sekampung.





Deskripsi Objek

Di Kecamatan Pulau Panggung terdapat beberapa situs antara lain berada di Desa Gunung Meraksa dan Desa Batu Bedil Hilir.


- Desa Gunung Meraksa

Di desa Gunung Meraksa terdapat dua situs, yaitu situs Batu Bedil dan situs Gelombang.


1. Situs Batu Bedil

Situs Batu Bedil berada di dataran tinggi ± 370 m dpl (pembacaan dengan GPS Garmin V). Dataran ini merupakan rangkaian paling ujung selatan dari Bukit Barisan yang membentang di atas patahan Way Semangka. Di sebelah selatan situs mengalir Sungai Ilahan yang merupakan anak Sungai Sekampung, sedangkan di sebelah utara situs mengalir sungai kecil yang disebut Sungai Anak. Di antara situs dan kedua sungai tersebut terdapat lereng curam dengan kemiringan 45° – 60°. Situs Batu Bedil terletak tepi jalan yang menghubungkan Desa Talang Padang dan Desa Air Bakoman. Sekitar situs pada umumnya masih merupakan kebun penduduk yang ditanami kopi.

Situs Batu Bedil merupakan kompleks yang terdiri dari sejumlah menhir dan satu prasasti. Kompleks Batu bedil menempati lahan seluas sekitar 100 x 500 m. Meskipun demikian sebagian besar lahan tersebut masih merupakan milik penduduk. Sekarang di lokasi ini telah dibuat taman oleh Pemerintah Daerah Lampung di dua tempat yaitu disebut Kompleks Batu Bedil I atau kompleks megalitik dan prasasti, serta Kompleks Batu Bedil II. Kompleks Batu Bedil I berada di sebelah barat dan Kompleks Batu Bedil II berada di sebelah timur. Kedua lokasi tersebut berjarak sekitar 100 m.


- Batu Bedil I

Kompleks Batu Bedil I atau kompleks megalitik dan prasasti berada pada lahan seluas 100 x 50 m. Kompleks ini berada di lahan datar yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya. Oleh Pemerintah Daerah Lampung, di lahan ini telah dibuat taman yang dilengkapi dengan jalan setapak, tempat beristirahat, dan rumah informasi. Kompleks Batu Bedil I atau Kompleks Megalitik dan Prasasti juga telah di pagar kawat. Pemagaran ini dilakukan oleh P3SPL (Proyek Pelaksana Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Lampung) pada tahun 1991. Pintu masuk lahan berada di sebelah selatan. Pada lahan ini selain terdapat prasasti juga terdapat sekelompok menhir yang membentuk formasi segiempat. Selain itu di lokasi ini juga terdapat sebaran batu-batu besar.

Prasasti berada pada titik koordinat 05°18,637’ LS dan 104°42,041’ BT (pembacaan dengan GPS Garmin V). Prasasti dituliskan pada sebongkah batu berukuran panjang 185 cm, lebar 72 cm, tebal 55 cm. Tulisan prasasti digoreskan pada bagian batu yang menghadap ke utara. Prasasti terdiri 10 baris dengan tinggi huruf sekitar 5 cm. Tulisan tersebut berada dalam satu bingkai. Pada bagian bawah bingkai terdapat goresan membentuk padma atau bunga teratai. Kondisi huruf sudah aus sehingga banyak huruf yang sudah tidak terbaca lagi.

Di sebelah barat prasasti terdapat 14 menhir yang membentuk formasi segi empat. Menhir-menhir tersebut merupakan batu alam yang tidak menunjukkan tanda-tanda pengerjaan oleh manusia. Selain menhir di lahan ini juga terdapat sejumlah batu besar. Dilihat dari bentuknya batu-batu tersebut kemungkinan sebagai menhir maupun dolmen. Berdasarkan pengamatan terhadap permukaan tanah didapatkan adanya temuan artefaktual berupa pecahan keramik dan tembikar.

Sebaran batu yang terdapat di daerah Batu Bedil ini juga dapat ditemukan di beberapa lokasi di luar lahan berpagar. Di sebelah barat pagar Kompleks Prasasti berjarak sekitar 50 m terdapat batu lumpang, yang oleh masyarakat dinamakan Batu Lesung. Selain itu di dekat Batu Lesung juga terdapat 3 batu datar. Selain itu di sebelah selatan pagar berjarak sekitar 50 m terdapat sebaran batu alam yang mengelompok. Sebaran batu tersebut berada di kebun kopi milik penduduk setempat.




Situasi kompleks Batu Bedil I


- Batu Bedil II

Kompleks Batu Bedil II berada di sebelah timur Kompleks Batu Bedil I berjarak sekitar 100 m. Kompleks Batu Bedil II menempati lahan seluas sekitar 50 X 40 m. Kompleks Batu Bedil II sekarang ini juga telah dibuat menjadi taman. Di lokasi ini telah dibuatkan tempat istirahat dan diberi pagar kawat oleh P3SPL pada tahun 1993. Pada bagian tengah lahan terdapat jalan setapak. Tinggalan yang terdapat di Kompleks Batu Bedil II adalah batu bergores, meja batu (dolmen), batu lumpang, dan sejumlah menhir.

Batu bergores di lokasi ini berada di sudut barat daya lahan. Goresan berupa garis-garis sejajar terdapat pada kedua ujung batu. Di sebelah utara batu bergores berjarak sekitar 5 m terdapat satu batu datar yang patah pada ujungnya. Pada bagian bawah batu datar terdapat batu-batu kecil yang seolah-olah menyangga batu datar tersebut.

Selain batu bergores dan dolmen, di lahan ini juga terdapat dua lumpang batu. Kedua lumpang batu tersebut terletak saling berdekatan di bagian barat lahan situs. Kedua lumpang batu tersebut terbuat dari bahan batuan breksi.

Selain itu di lokasi ini terdapat sebaran sejumlah batu tegak. Batu-batu tersebut merupakan batu alam yang tidak menunjukkan adanya pengerjaan oleh manusia. Salah satu batu tegak berukuran tinggi 220 cm, merupakan batu yang tertinggi di lokasi tersebut. Batu tegak inilah yang oleh masyarakat disebut Batu Bedil. Menurut masyarakat pada batu tersebut dahulu sering terdengar adanya bunyi letusan.


- Temuan serta

Berdasarkan wawancara dengan penduduk diperoleh keterangan adanya temuan beliung persegi. Beliung persegi tersebut dalam kondisi utuh, terbuat dari bahan kalsedon. Warna dasar beliung merah tua dengan bercak-bercak biru, putih dan coklat. Pada bagian tajaman menunjukkan pemangkasan dengan cara monofacial. Pada bagian tajaman tidak menunjukkan adanya bekas pemakaian (perimping). Menurut keterangan, beliung persegi tersebut ditemukan di antara kompleks Batu Bedil I dan kompleks Batu Bedil II. Sekarang beliung persegi tersebut disimpan oleh Bapak Zaenuddin, seorang penduduk yang tinggal di sekitar situs.


2. Situs Gelombang

Situs Gelombang berada di sebelah selatan Sungai Ilahan. Oleh masyarakat lahan situs sekarang digunakan sebagai perkebunan kopi. Penamaan situs Gelombang diberikan oleh masyarakat karena melihat keadaan tanah yang bergelombang. Setelah dilakukan pengamatan ternyata keadaan tanah yang bergelombang tersebut disebabkan oleh adanya parit-parit yang digali di permukaan tanah.

Parit 1 berada di kebun milik Bapak Bustaman. Parit melintang dari timur ke barat. Parit 1 berukuran panjang 28,50 m, lebar 4 m, kedalaman 0,5 m. Parit 1 berada di sebelah selatan tebing berjarak 97 m. Di sebelah selatan parit 1 terdapat parit 2. Jarak parit 1 dan parit 2 adalah 110 m. Parit 2 berada di kebun milik Bapak Tomo. Parit 2 berukuran panjang 36,80 m, lebar 6,50 m, dan dalam 1 m. Di antara parit 1 dan parit 2 terdapat dua batu datar yang berjajar barat – timur.

Berdasarkan pengamatan terhadap permukaan tanah didapatkan artefak berupa fragmen keramik dan tembikar. Selain itu di lokasi ini ditemukan batu-batu berbentuk silindris menyerupai gandik. Permukaan batu kasar dan tidak menunjukkan adanya bekas pemakaian.


- Temuan serta

Di lokasi ini pernah ditemukan piring keramik yang sekarang disimpan oleh Bapak Bustaman, seorang penduduk yang tinggal di sekitar situs. Piring tersebut dalam keadaan pecah sebagian. Ciri-ciri morfologis artefak tersebut adalah sebagai berikut: piring berkaki, warna bahan kekuningan, glasir tebal, warna hijau seladon. Berdasarkan ciri-ciri keramik tersebut secara kronologis berasal dari Cina masa dinasti Sung (abad ke-10 - 14).


- Desa Batu Bedil Hilir

Di desa Batu Bedil Hilir terdapat situs Batu Gajah. Situs ini berada di tepi jalan yang menghubungkan Desa Talang Padang dengan Air Bakoman, tepatnya berada pada koordinat 05°18,117’ LS dan 104°40,991’ BT (pembacaan dengan GPS Garmin V). Situs berada di tengah pemukiman penduduk yang cukup padat. Situs berada pada lahan datar seluas kurang lebih 750 m2. Lahan ini dibatasi pagar kawat yang dibuat tahun 1994 oleh P3SPL. Pada lahan ini terdapat Batu Gajah, Batu Kerbau dan sejumlah menhir.

Batu Gajah merupakan monolit yang berukuran tinggi 94 cm, lebar 201 cm, tebal 164 cm, berbahan tufa. Pada sisi batu yang menghadap ke selatan terdapat goresan yang membentuk kepala gajah. Kepala gajah digambarkan secara lengkap dengan belalai, gading, mata, dan kuping. Belalai digambarkan menjuntai ke bawah. Pada sisi kiri dan kanan batu tersebut terdapat goresan-goresan yang membentuk badan serta kaki.

Batu Kerbau berada di sebelah barat Batu Gajah. Batu Kerbau berukuran tinggi 100 cm, lebar 140 cm, tebal 135 cm, berbahan tufa. Batu Kerbau menghadap ke selatan. Muka digambarkan secara lengkap dengan mulut, hidung dan mata. Goresan pada sisi selatan membentuk kepala kerbau dengan tanduk yang melingkar. Di belakang kepala terdapat tonjolan. Pada bagian ini terdapat dua cekungan masing-masing dengan diameter sekitar 5 cm, kedalaman sekitar 5 cm.

Selain Batu Gajah dan Batu Kerbau di lahan ini juga terdapat sejumlah menhir yang tidak menunjukkan adanya pengerjaan. Menhir yang terdapat di situs Batu Gajah berjumlah 12 batu. Pada bagian paling utara berjajar dua batu yang berjarak kurang lebih 8 m. Di selatan kedua batu tersebut berjajar 5 batu dari timur ke barat. Batu ketiga berada paling timur berjarak sekitar 1 m dari pagar. Di sebelah barat batu tersebut berjarak sekitar 4,5 m terdapat batu keempat. Batu kelima berjarak sekitar 4 m dari batu keempat. Di sebelah barat batu kelima berjarak sekitar 5 m terdapat batu keenam. Sedang batu ketujuh berada paling barat berjarak sekitar 5,70 m dari batu keenam. Batu kedelapan dalam kompleks batu gajah ini berada di sebelah selatan batu keenam berjarak sekitar 9,50 m. Selanjutnya batu kesembilan berada di sebelah barat daya batu kedelapan berjarak sekitar 10 m. Di sebelah barat batu ke sembilan berjarak sekitar 3,45 m terdapat batu kesepuluh dan kesebelas. Kedua batu ini berjajar utara selatan, dan terletak saling berdekatan. Batu kedua belas berada di sudut barat daya berjarak 6,90 m dari sudut pagar.


Pembahasan

Lampung pada masa klasik merupakan wilayah kekuasaan Sriwijaya. Prasasti Palas Pasemah yang ditemukan di tepi Way Pisang, berisi tentang peringatan penaklukan daerah tersebut. Selain peringatan, prasasti ini juga berisi kutukan-kutukan kepada yang berani memberontak kepada Sriwijaya. Menurut Boechari (1979) berdasarkan perbandingan bentuk hurufnya, prasasti Palas Pasemah berasal dari akhir abad ke-7 M. Dilihat isinya, penempatan prasasti ini mempunyai alasan tertentu. Peringatan dan kutukan pada prasasti, pasti ditujukan kepada masyarakat penghuni daerah itu.

Prasasti dengan isi yang berbeda pernah ditemukan di daerah Rebangpugung, Kotaagung, Lampung Selatan. Prasasti yang disebut prasasti Ulubelu, (abad ke-15 M). Prasasti ini berisi mantra berupa permintaan tolong kepada dewa-dewa utama yaitu Betara Guru (Siwa), Brahma, dan Wisnu. Selain itu juga kepada dewa penguasa air, tanah, dan pohon agar menjaga keselamatan dari semua musuh (Lasmidara, 2003).

Prasasti Batu Bedil ditemukan tidak jauh dari prasasti Ulubelu. Tulisan pada prasasti Batu Bedil sudah sangat aus sehingga sulit dibaca. Berdasarkan perbandingan hurufnya, prasasti Batu Bedil diperkirakan berasal dari akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10. Beberapa kata yang terbaca adalah Namo Bhagawate pada baris pertama dan Swâhâ pada baris kesepuluh. Menurut Soekmono berdasarkan kata-kata tersebut menunjukkan bahwa prasasti Batu Bedil berisi tentang mantra agama Buda atau Siwa (Soekmono, 1985: 49 – 50). Dengan demikian Prasasti Batu Bedil dan Prasasti Ulu Belu menunjukkan adanya persamaan yaitu berisi tentang mantra.

Lokasi ditemukannya Prasasti Batu Bedil berada pada lahan yang dibatasi dua sungai. Tinggalan arkeologis yang ditemukan di kawasan antara dua sungai tersebut terdiri tiga klaster. Klaster pertama adalah Batu Bedil I berupa sekumpulan menhir, batu datar, dan prasasti. Klaster kedua adalah Batu Bedil II dengan tinggalan berupa menhir, dolmen, batu bergores, dan lumpang batu. Batu Bedil I dan Batu Bedil II mungkin merupakan satu kesatuan. Aktivitas masyarakat sekarang mengakibatkan terpisahnya antara Batu Bedil I dan Batu Bedil II. Klaster ketiga adalah situs Batu Gajah. Di situs ini terdapat tinggalan berupa menhir, batu gajah, dan batu kerbau.

Antara isi prasasti Batu Bedil dengan tinggalan arkeologis yang lain terlihat ada kesesuaian yaitu menyangkut aspek religi. Menhir, batu gajah, dan batu kerbau menunjukkan tinggalan yang ada kaitannya dengan kepercayaan tradisi megalitik. Menhir ialah batu tegak yang sudah dikerjakan atau belum dan diletakkan dengan sengaja di suatu tempat untuk memperingati arwah nenek moyang dan pengharapan kesejahteraan bagi yang masih hidup (Soejono, 1990: 213). Menhir dapat berdiri tunggal maupun berkelompok membentuk formasi tertentu.

Menhir yang ditemukan di daerah Pulau Panggung ini membentuk formasi segi empat. Susunan menhir dengan formasi segi empat juga ditemukan di daerah lain, misalnya di Pugungraharjo (Soejono, 1990: 218). Menhir seringkali juga ditemukan bersama-sama dengan bangunan megalitik lainnya seperti bangunan berundak, dolmen, lesung batu, dan arca-arca megalitik.

Arca megalitik yang terdapat di Pulau Panggung berbentuk gajah dan kerbau. Arca-arca megalitik yang menggambarkan binatang juga ditemukan di daerah lain misalnya di Palembang (Soekmono, 1985: 6) dan di Dataran Tinggi Pasemah (Sugiyanto, 2000: 41). Penggambaran gajah dan kerbau tersebut menunjukkan adanya hubungan antara manusia dengan binatang tersebut. Pembuatan arca binatang merupakan pengharapan agar hubungan tersebut dapat berlangsung dengan baik. Dengan demikian dapat menjamin kehidupan manusia menjadi lebih tenang dan tenteram. Selain itu gajah dan kerbau dapat juga diartikan sebagai lambang kendaraan bagi arwah (Sugiyanto, 2000: 43).

Sementara itu situs yang berada di luar kawasan yang dibatasi dua sungai adalah situs Gelombang. Situs ini merupakan situs pemukiman yang dibatasi fetur benteng tanah dan parit. Unsur religi yang terdapat di situs ini berupa dua batu datar. Berdasarkan analisis temuan keramik, diketahui bahwa keramik yang ada berasal dari Cina, Thailand, dan Vietnam. Secara kronologis keramik tersebut menunjukkan berasal dari dinasti Tang (abad ke-7 – 10 M), Sung-Yuan (abad ke-10 – 14 M), Thailand dan Vietnam (abad ke-16 M), dan dinasti Qing (abad ke-17 – 20 M). Jumlah keramik terbanyak yang ditemukan di situs ini berasal dari Cina masa dinasti Sung-Yuan (abad ke-10 – 14 M) (Triwuryani, 1998: 4; Adhyatman, 1990: 333).

Berdasarkan uraian terdahulu dapat diketahui bahwa masyarakat pendukung budaya di daerah Pulau Panggung berasal dari sekitar abad ke-10 M. Kajian dari sisi paleografis pada prasasti juga menunjukkan dari sekitar abad ke-10 M. Sementara itu penanggalan Situs Gelombang berdasarkan analisis terhadap temuan keramik diketahui berawal dari sekitar abad ke-7 M, dan mencapai puncaknya pada sekitar abad ke-10 – 14 M. Selanjutnya situs tersebut masih terus dipergunakan sampai awal ke-20 M.

Adanya prasasti yang berisi mantra menunjukkan bahwa masyarakat pendukung budaya di Pulau Panggung sudah menganut agama Hindu atau Buda, namun masih mengagungkan kepercayaan kepada arwah leluhur. Kepercayaan kepada arwah leluhur ditunjukkan dengan adanya tinggalan berupa menhir, batu gajah, dan batu kerbau. Penempatan prasasti di lokasi tersebut selaras dengan lingkungan masyarakat pendukungnya khususnya dari sisi religi.


Simpulan

Berdasarkan analisis tinggalan artefak keramik asing terlihat bahwa kehidupan masyarakat Pulau Panggung pada masa lampau berlangsung pada sekitar abad ke-10 M. Masyarakat pada waktu itu bermukim di tiga klaster yaitu Batu Bedil, Batu Gajah, dan Gelombang. Berdasarkan besaran situs dan ragam temuan, klaster Batu Bedil merupakan yang terbesar.

Prasasti Batu Bedil berdasarkan paleografisnya diperkirakan berasal dari abad ke-10 M. Penempatan prasasti di klaster Batu Bedil menunjukkan pada lokasi pusat pemukiman. Isi prasasti menunjukkan religi yang berlatarkan pada agama Hindu-Buda. Memperbandingkan antara prasasti Batu Bedil dan Ulu Belu, kemungkinan religi yang berkembang selain Hindu-Buda, juga terdapat unsur tradisi megalitik. Beberapa tinggalan yang ada juga menunjukkan bangunan tradisi megalitik. Dengan demikian penempatan prasasti Batu Bedil sesuai dengan lingkungan budaya yang berkembang pada waktu itu. Kemungkinan prasasti tersebut dikeluarkan oleh penguasa setempat.








Daftar Pustaka


Adhyatman, Sumarah

1990 Antique Ceramics found in Indonesia. Jakarta: Ceramic Society of Indonesia.

Boechari

1979 “An Old Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampong)”. Dalam Pra Seminar Penelitian Sriwijaya. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Hlm. 19 – 40.

Djafar, Hasan dan W. Anwar Falah

1995 “Prasasti Batu dari Sumberhadi Daerah Lampung Tengah (Suatu Informasi)”. Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung No. 1/ April/1995. Bandung: Balai Arkeologi Bandung. Hlm. 1 – 3.

Lasmidara, Ira

2003 “Napak Tilas Aksara Nusantara”. Dalam SKH Republika, 2 Februari 2003. Hlm. 9.

Soejono, R.P. (ed)

1990 “Jaman Prasejarah di Indonesia” Dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, P.N. Balai Pustaka.

Soekmono, R.

1985 “Kisah Perjalanan ke Sumatra Selatan dan Jambi”. Dalam Satyawati Suleiman et al. Amerta 3. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Sugiyanto, Bambang

2000 “Hubungan Manusia dan Binatang Pada Budaya Megalitik Pasemah (Tinjauan atas Arca Megalitik dan Lukisan Dinding Kubur)”. Dalam Jurnal Arkeologi Siddhayatra Volume 5 Nomor 2 November 2000. Palembang: Balai Arkeologi Palembang. Hlm. 41 – 44.

Sumadio, Bambang (ed)

1990 Jaman Kuna” Dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, P.N. Balai Pustaka.

Triwuryani, Rr.

1998 “Pola Tata Letak Situs Tradisi Megalitik di DAS Sekampung”. Makalah pada Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi, Cipayung 16-20 Februari 1998. (belum diterbitkan).



Catatan: Tulisan ini diterbitkan di buku berjudul "HASTALELEKA: Kumpulan Karya Mandiri Dalam Kajian Paleoekologi, Arkeologi, Sejarah Kuna, dan Etnografi", hlm. 41 - 50. Editor: Agus Aris Munandar. Penerbit: ALQAPRINT, Jatinangor: 2005.




16 Januari 2009

Dari Datu Di Puncak hingga Minak Trio Diso



JEJAK PERADABAN TINGGI

DI CANGUK GACCAK

Persinggahan Perjalanan Panjang Menuju Terbentuknya Abung Siwa Mega




BALAI ARKEOLOGI BANDUNG

Jl. Raya Cinunuk Km. 17, Cileunyi, Bandung 40623

Telp. 022 – 7801665, Faks. 022 – 7803623





Lokasi

Situs Canguk Gaccak berada di wilayah Desa Sekipi, Kecamatan Abung Tinggi, Kabupaten Lampung Utara. Lokasi situs sangat mudah dicapai baik menggunakan kendaraan roda empat maupun roda dua. Dari Kotabumi menuju Bukit Kemuning hingga sampai di Simpang Rengas ke arah kiri menuju Desa Sekipi. Sebelum memasuki Desa Sekipi terdapat lokasi penambangan bahan galian C. Dengan menyusuri jalan kampung akan sampai di lokasi yang berada di tepian Way Abung.


Lokasi situs Canguk Gaccak


Cerita Perjalanan Panjang

Menurut cerita lama yang disampaikan secara turun-temurun, masyarakat Lampung mula-mula bermukim di daerah Sekalabrak. Daerah ini berada di sekitar Gunung Pesagi hingga tepian Danau Ranau. Menurut kajian terhadap cerita rakyat yang dilakukan oleh Oliver Sevin, pada sekitar abad ke-14 terjadi migrasi dari Sekalabrak ke seluruh wilayah Lampung. Diceritakan, adalah Empu Cangih pemimpin Keratuan Di Puncak, yang berkuasa di puncak Gunung Pesagi melakukan perjalan mencari daerah baru untuk mendirikan perkampungan. Perjalanan Empu Cangih yang juga disebut Datu Di Puncak dari Sekalabrak singgah di daerah Selabung selanjutnya pindah lagi ke Canguk Gaccak.

Tidak berapa lama setelah rombongan Datu Di Puncak bermukim, diketahuilah bahwa di sebelah hulu telah bermukim Rio Kunang. Beliau adalah salah satu keturunan Datu Di Pemanggilan dari Puyang Semedekaw. Dalam rombongan Datu Di Puncak disertai Beliyuk yang juga keturunan Puyang Semedekaw. Kelompok ini kemudian bersatu membangun perkampungan.


Makam Raja Dilawuk


Ketentraman, keamanan, dan kesejahteraan yang sudah terbentuk terganggu ulah pengkhianatan Raja Di Lawuk dari Laut Lebu yang menyamar sebagai tamu Datu Di Puncak. Kerabat Datu Di Puncak yang terdiri Nunyai, Unyi, Subing, Nuban, Bulan, Beliyuk, Kunang, Selagai, dan Anak Tuha berunding mengatur siasat pembalasan kepada Raja Di Lawuk. Diriwayatkan bahwa Subing akhirnya berhasil membalaskan dendam. Kemenangan ini kemudian dirayakan di daerah Gilas tepi Way Besay. Dalam perayaan ini kemudian terbentuklah masyarakat Abung Siwa Mega.





Peta persebaran Orang Lampung



Jejak-jejak Perkampungan


Dolmen dalam kondisi sudah rusak


Objek arkeologis yang menandai bekas perkampungan di Canguk Gaccak meliputi komplek tinggalan megalitik, komplek makam Minak Trio Diso, dan komplek makam Rendang Sedayu. Perjalanan dari jalan desa menuju lokasi setelah melalui sungai kecil Way Tamiang akan sampai pada lahan kebun kopi. Di antara rimbunnya kopi terdapat beberapa batu yang merupakan peninggalan budaya megalitik. Batu tersebut ada yang disusun membentuk semacam meja dengan empat kaki yang dinamakan dolmen, susunan batu melingkar (stone enclouser), dan batu yang ditancapkan secara berdiri yang disebut menhir. Peninggalan semacam ini terdiri 12 kelompok. Pada ujung timur lahan terdapat benteng tanah yang dilengkapi parit. Benteng dan parit ini membentang dari tepi Way Abung di selatan hingga tepi Way Tamiang di utara. Apabila dicermati, pada lahan ini akan dapat ditemukan pecahan keramik asing. Keramik yang pernah ditemukan berasal dari Cina buatan masa Dinasti Song (abad ke-10 – 13) dan Yuan (abad ke-13 – 14).



Menhir di situs Canguk Gaccak



Di seberang Way Abung dapat dijumpai komplek makam Minak Trio Diso yang terdiri dua kelompok. Kelompok makam pertama berada pada lahan di tepi sawah sebelah selatan Way Abung sedangkan yang kedua berada di sebelah barat kelompok makam pertama. Menurut keterangan John Akhyar (juru pelihara), pada kelompok makam pertama, tokoh utama yang dimakamkan adalah Minak Raja Di Lawuk. Dalam cerita rakyat, Minak Raja Di Lawuk dimakamkan di dua lokasi. Di Canguk Gaccak merupakan makam kepala, sedang badannya dimakamkan di Gedong Meneng, Tulangbawang. Konon apabila kepala dan badan tidak dipisah akan hidup lagi.


Komplek Makam Minak Trio Diso


Kelompok makam kedua berada pada semacam bukit kecil setinggi sekitar 3 m. Komplek makam ini dilengkapi cungkup yang dibangun Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Lampung Utara pada tahun 2003. Tangga masuk berada di sisi timur. Pada anak tangga ketiga terdapat batu berdiameter sekitar 25 cm. Batu ini merupakan lambang kepala Minak Raja Di Lawuk, yang harus diinjak oleh keturunan Minak Trio Diso ketika akan berziarah. Pada bangunan cungkup terdapat tiga makam. Makam paling timur merupakan makam Minak Dara Putih atau Hyang Mudo, makam yang ditengah merupakan makam Minak Trio Diso, dan yang di utara adalah makam Syekh Abdurrahman. Minak Trio Diso adalah gelar anak Datu Di Puncak yang bernama Nunyai.

Di sebelah tenggara komplek makam Minak Trio Diso berjarak sekitar 300 m terdapat bukit kecil yang dinamakan Gunung Rimba Bekasan. Di atas bukit terdapat lahan seluas 65 ha yang ditumbuhi bambu. Pada hutan bambu ini terdapat lahan seluas sekitar 1 ha yang dikelilingi parit serta pada sisi barat dan utara berbatasan dengan aliran sungai Pasuut yang merupakan anak Way Abung. Pada lahan ini terdapat makam keramat. Tokoh utama yang dimakamkan adalah Rendang Sedayu. Tokoh ini dikenal sebagai salah satu isteri Minak Trio Diso. Rendang Sedayu juga dikenal dengan sebutan Raja Lemaung.


Bukti Sebuah Peradaban Tinggi

Dalam perjalanan peradaban masyarakat Lampung, Canguk Gaccak merupakan tempat bermukim masyarakat pendukung tradisi megalitik dan masyarakat masa pasca prasejarah. Tinggalan berupa dolmen di Canguk Gaccak, bagi masyarakat megalitik kadang-kadang berfungsi sebagai pelinggih roh atau tempat persajian. Pada masyarakat megalitik yang lebih maju, dolmen digunakan sebagai tempat duduk kepala suku atau raja-raja ketika pertemuan maupun upacara pemujaan arwah leluhur. Pada dasarnya dolmen dipandang sebagai tempat keramat. Di situs Canguk Gaccak, dolmen dilengkapi dengan menhir. Menhir adalah medium penghormatan, penampung kedatangan roh, dan sekaligus menjadi lambang dari orang-orang yang diperingati.

Kehidupan masyarakat megalitik memperlihatkan masyarakat berperadaban tinggi yang sudah mengenal sistem organisasi sosial. Kehidupan ini berkembang hingga masa kedatangan Datu Di Puncak. Sistem organisasi sosial dengan diwarnai kehidupan demokratis ini akhirnya melahirkan masyarakat Abung Siwa Mega. Beberapa tinggalan arkeologi di Canguk Gaccak merupakan bukti bahwa moyang pada masa lampau sudah berperadaban tinggi. Oleh karena itu, nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam peninggalan tersebut perlu difahami untuk landasan pembangunan di masa depan (Nanang Saptono).



Catatan: Tulisan diterbitkan dalam bentuk leaflet, tahun 2008

06 Januari 2009

KELETAKAN ANTARA TIYUH DAN UMBUL PADA PERMUKIMAN MASYARAKAT LAMPUNG



Nanang Saptono


Sari


Pemukiman masyarakat Lampung disebut dengan istilah tiyuh. Masyarakat penghuni tiyuh memiliki lahan tempat beraktifitas yang disebut umbul. Aktifitas yang dilakukan pada umumnya berladang atau memanfaatkan hasil hutan. Umbul dapat dikatakan satelit terhadap tiyuh. Letak dan jarak umbul terhadap tiyuh mengikuti aturan hukum adat yang berlaku di masyarakat.


Abstract


Tiyuh is the settlement of Lampung society. The society of tiyuh has some place to do the activity that called umbul. Generally that activity is cultivate or to gathering product from the forest. Umbul is a satellite of tiyuh. A location and distance from umbul to tiyuh following a traditional law in this society.


Kata kunci: tiyuh, umbul, keletakan, jarak


Pendahuluan

Kawasan Lampung sudah dihuni sejak masa prasejarah. Berdasarkan tinggalan arkeologis yang pernah ditemukan, masyarakat prasejarah yang menghuni Lampung terkonsentrasi di daerah Bukit Barisan sejak dari daerah Kecamatan Sumberjaya hingga Kecamatan Liwa dan di sekitar Bukit Pesagi, Lampung Barat. Tinggalan arkeologis tersebut kebanyakan berupa monumen megalitik seperti dolmen dan menhir (Hoop, 1932: 59).

Memasuki masa sejarah, bukti tertua mengenai adanya kerajaan di Lampung adalah berita Cina. Di dalam kitab sejarah dinasti Liang terdapat keterangan bahwa antara tahun 430 – 475 datang di Cina beberapa kali utusan dari To-lang P’o-hwang. Menurut G. Ferrand lafal To-lang P’o-hwang dalam dialek Cina dapat disamakan dengan Tulangbawang. Poerbatjaraka juga berpendapat bahwa To-lang P’o-hwang yang disebut dalam sejarah dinasti Liang, merupakan sebuah kerajaan di daerah aliran sungai Tulangbawang, Lampung. Kerajaan ini pada suatu saat ditaklukkan oleh kerajaan lain. Dugaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa berita Cina hanya sekali saja menyebut kerajaan ini (Sumadio, 1990: 79).

Pada masa-masa yang lebih kemudian, kawasan Lampung menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Prasasti Sriwijaya yang ditemukan di Lampung antara lain prasasti Bungkuk, Palas Pasemah (Purwanti, 1995: 98), dan Batubedil (Soekmono, 1985: 49 – 50). Prasasti Palas Pasemah ditemukan di tepi Way Pisang, Lampung Selatan berisi peringatan penaklukan daerah Lampung oleh Sriwijaya. Berdasarkan segi paleografis prasasti tersebut diduga berasal dari abad ke-7 (Buchari, 1979: 19 – 40).

Dengan berkuasanya Sriwijaya terhadap Lampung, peradaban luar terutama dari India (Hindu dan Buddha) banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat. Diduga sebelum mendapat pengaruh peradaban dari luar, masyarakat Lampung sudah mengenal semacam pemerintahan demokratis dalam bentuk marga. Di dalam pemerintahan marga terdapat kelengkapan fisik berupa sesat, yaitu rumah besar yang berfungsi untuk tempat berunding (Alf, 1954: 5). Menurut Ahmad Kesuma Yudha dengan mengacu pada pendapat J.W. Naarding (Yudha, 1996: 3), pemerintahan marga dikenal setelah kerajaan Tulangbawang punah. Kekosongan pemerintahan ini dimanfaatkan Sriwijaya untuk menguasai Lampung dan memperkenalkan sistem pemerintahan adat marga. Sistem ini berlangsung terus hingga kemudian Banten menguasai Lampung pada tahun 1530.

Menurut kajian Abdulah A. Soebing (1988), bentuk pemerintahan masyarakat Lampung setelah masa kekuasaan Sriwijaya adalah keratuan. Pada sekitar abad ke-17 – 18 keratuan yang ada di Lampung membentuk pemerintahan persekutuan adat berdasarkan buay (keturunan) yang disebut paksi (kesatuan buay inti atau klan) dan marga (kesatuan dari bagian buay atau jurai dalam bentuk kesatuan kampung atau suku (Hadikusuma, 1989: 157). Sistem pemerintahan marga di Sumatera, sebagaimana juga yang ada di Lampung, diciptakan oleh Kesultanan Palembang dalam rangka upaya menguasai kehidupan politik dan perekonomian daerah-daerah yang berada di bawahnya (Mintosih, 1993: 42 – 45).

Dalam sistem pemerintahan adat marga di Lampung, masyarakat tinggal di perkampungan yang disebut tiyuh, anek, atau pekon. Pada umumnya letak perkampungan masyarakat Lampung berada di tepi sungai atau dekat sungai. Perkampungan tersebut merupakan tempat kediaman mengelompok rapat dan hampir-hampir tidak ada halaman rumah. Aktifitas di kampung hampir tidak ada. Kampung merupakan tempat istirahat dan berkumpul. Tempat aktifitas dalam kaitannya dengan sistem mata pencaharian dilakukan di ladang yang disebut dengan istilah umbul. Masyarakat mengelola umbul secara berkelompok. Karena dalam kegiatan berladang dapat berlangsung lama, maka umbul dapat juga merupakan tempat kediaman kecil. Masyarakat yang mendiami umbul dikepalai oleh kepala keluarga tertua dari umbul bersangkutan (Hadikusuma, 1977/1978: 17). Perkembangan penduduk pada suatu umbul dapat menyebabkan umbul tersebut berkembang menjadi tiyuh.

Dalam peraturan hukum adat, pembukaan hutan untuk dijadikan umbul dilakukan dengan sistem magih, yaitu pertama-tama menentukan dahulu titik pusat umbul yang biasanya ditandai dengan pohon besar seperti metru atau kemetenggung. Selanjutnya siapa pun boleh ikut mengusahakan daerah tersebut setelah mendapat izin dari tokoh yang pertama kali membuka hutan untuk umbul tersebut. Dalam hukum adat Lampung ditetapkan bahwa luas wilayah yang boleh dikelola dalam satu umbul adalah dalam radius 3 pal (± 5 km) dari pusat umbul (Tim Penelitian, 2007: 29; Khalik, 2002: 79).

Kaitan antara tiyuh dengan umbul sangat erat. Tiyuh merupakan tempat bermukim sedangkan umbul merupakan lokasi aktifitas subsistensi. Berdasarkan latar permasalahan tersebut, akan dibahas bagaimana keletakan antara umbul dan tiyuh pada pemukiman masyarakat Lampung tersebut. Objek kajian ini dilakukan terhadap situs-situs di kawasan Way Kiri, Kabupaten Tulangbawang.


Situs-situs Pemukiman di Kawasan Way Kiri

Situs Benteng Sabut

Situs Benteng Sabut secara administratif berada di Kampung Gunung Katun, Kecamatan Tulangbawang Udik. Lokasi situs berada pada kelokan Way Kiri, tepatnya pada posisi 4°30’20” LS dan 105°00’21” BT. Way Kiri mengalir di sebelah tenggara hingga timur situs. Di sebelah barat situs terdapat aliran Way Pikuk, yang berhulu di bukit kecil sebelah utara situs. Aliran sungai berkelok-kelok ke arah tenggara hingga timur dan bermuara di Way Kiri di sebelah selatan Benteng Sabut. Di sebelah selatan muara Way Pikuk terdapat muara Way Papan yang mengalir dari arah barat daya. Di sekitar Benteng Sabut terdapat beberapa rawa (bawang) antara lain Bawang Kelapo terdapat di sebelah barat dan Bawang Petahi di sebelah timur laut benteng. Lokasi Benteng Sabut oleh masyarakat setempat juga dikenal dengan sebutan Bujung Menggalou.

Data arkeologis yang terdapat di situs Benteng Sabut berupa fitur parit (cekungan), benteng dan tanggul (gundukan tanah), makam kuna, serta sebaran artefak. Fitur berupa parit pada bagian dekat Way Kiri berpola segi lima. Pada sisi dalam parit terdapat benteng. Benteng dan parit pada sisi barat bermula dari tepi Way Kiri ke arah barat laut sepanjang 110 m hingga sudut barat daya. Benteng dan parit kemudian belok ke arah utara agak ke timur hingga sepanjang 70 m yang merupakan pertengahan sisi barat laut benteng dan parit, selanjutnya agak berbelok ke arah timur hingga mencapai jarak 70 m yang juga merupakan sudut timur laut. Parit pada sudut timur laut ada yang ke arah barat laut sepanjang 20 m hingga ke Bawang Petahi, dan ada juga yang ke arah tenggara sejauh 110 m hingga Way Kiri. Lebar parit pada bagian timur laut berkisar antara 5 hingga 7 m dengan kedalaman berkisar 0,5 hingga 1,5 m. Lahan yang dikelilingi parit merupakan inti pemukiman yang luasnya sekitar 1,4 hektar.


Sebaran artefak yang terdapat di situs Benteng Sabut (Dok. Balai Arkeologi Bandung)


Data artefaktual yang pernah ditemukan di bagian inti berupa fragmen keramik, fragmen tembikar, serpih obsidian, kerak besi, paku, fragmen wadah perunggu, dan manik-manik. Fragmen tembikar ada yang berhias. Selain itu terdapat beberapa benda arkeologis berupa gandik, fragmen pipisan. Fragmen tembikar yang merupakan bagian dari kibu (kendi). Benda tembikar utuh berbentuk gacuk, tatap, dan cangkir.

Di sebelah barat laut bagian inti pemukiman berjarak sekitar 50 m terdapat parit membentang arah timur laut – barat daya. Pada ujung timur laut bermula dari Bawang Petahi ke arah barat daya sejauh 150 m. Parit pada ujung barat daya lebarnya 12 m, sedangkan pada ujung timur laut lebarnya 7 m dengan kedalaman berkisar 1 – 1,5 m. Parit di ujung barat daya belok ke arah tenggara sepanjang 55 m dan selanjutnya tidak tampak lagi jejak-jejaknya. Parit yang membentang arah timur laut – barat daya kemudian belok ke arah tenggara membentuk lahan berpola segi empat dengan luas sekitar 0,7 hektar. Di tengah lahan tersebut terdapat fitur tumulus berdiameter sekitar 3 m tinggi 0,7 m.

Di sebelah barat daya benteng, pada seberang Way Pikuk terdapat dua fitur tanggul. Fitur tanggul pertama terdapat di sebelah barat daya parit luar sisi barat laut. Tanggul dari ujung Way Pikuk membujur ke arah barat sepanjang 20 m kemudian belok ke arah barat daya hingga selatan sepanjang 30 m. Lebar tanggul sekitar 4 m dengan ketinggian sekitar 0,5 m. Tanggul kedua terletak di sebelah barat daya lahan benteng. Tanggul tersebut membujur arah timur laut – tenggara sepanjang 30 m. Lebar tanggul 8 m dengan ketinggian 1,5 – 2 m.

Pada bagian luar sudut tenggara benteng, di tepi Way Kiri terdapat fitur makam kuna. Menurut keterangan masyarakat tokoh yang dimakamkan adalah Minak Sendang Belawan. Keadaan makam sedikit lebih tinggi dari lahan sekitar tetapi tidak menggunduk dan tidak dilengkapi nisan. Orientasi makam relatif ke arah utara – selatan (N 350° E). Lebar makam 2,16 m dan panjangnya 3,8 m.



Denah situs Benteng Sabut

(Sumber: Balai Arkeologi Bandung, 2002)



Situs Benteng Prajurit Putinggelang

Situs Benteng Prajurit Putinggelang berada di hulu Way Gemol pada posisi 04°28’52,6” LS dan 105°01’54,4” BT, secara administratif termasuk wilayah Kampung Panaragan, Kecamatan Tulangbawang Tengah. Wilayah itu juga dinamakan Umbul Lebung. Posisi benteng berada pada pertemuan antara Tulung Pasik dengan Way Gemol. Tulung Pasik berhulu di bukit kecil (hulu Way Pikuk) sebelah barat daya situs mengalir menuju arah timur laut dan bertemu dengan Way Gemol. Aliran Tulung Pasik sebagai batas alam benteng sisi barat laut. Way Gemol mengalir dari arah barat laut, pada pertemuan dengan Tulung Pasik kemudian berbelok ke arah timur sejauh 100 m, kemudian berbelok ke arah selatan sejauh 100 m kemudian berbelok ke arah tenggara. Sejauh 50 m terdapat pertemuan dengan Capang Turus yang merupakan sungai musiman. Capang Turus membentang arah barat – timur. Aliran Way Gemol menjadi batas alam benteng sisi utara dan timur. Fitur benteng membentang dari Capang Turus (50 m sebelah barat pertemuan antara Way Gemol dengan Capang Turus) ke arah barat laut sepanjang 95 m. Bila ditarik garis lurus akan sampai di Tulung Pasik. Jarak antara ujung barat laut benteng dengan Tulung Pasik sekitar 35 m. Luas lahan yang berada di dalam benteng sekitar 1,625 hektar.


Denah situs Benteng Prajurit Putinggelang

(Sumber: Balai Arkeologi Bandung, 2002)


Fitur benteng berada di sisi dalam, yaitu sebelah timur laut parit. Lebar parit berkisar 4 m dengan kedalaman berkisar 1 hingga 1,5 m. Lebar benteng berkisar 2 m. Dengan ketinggian yang tersisa berkisar 0,5 m (diukur dari permukaan tanah, bukan dari dasar parit). Pada pertengahan benteng dan parit terdapat pendangkalan parit selebar 5 m. Di lahan benteng, data artefaktual belum ditemukan karena kondisi lahan sangat lebat oleh semak belukar dan bambu.



Fitur parit yang terdapat di situs Benteng Prajurit Putinggelang

(Dok. Balai Arkeologi Bandung, 2000)


Situs Keramat Gemol

Situs Kramat Gemol berada pada kelokan sungai di sebelah barat Way Kiri. Di sebelah timur situs merupakan pertemuan antara Way Kiri dengan Way Gemol. Way Gemol yang merupakan anak sungai Way Kiri mengalir di sebelah tenggara situs. Secara geografis situs Kramat Gemol berada pada posisi 4°29’14” LS dan 105°02’15” BT, secara administratif termasuk dalam wilayah Kampung Panaragan, Kecamatan Tulangbawang Tengah.

Kondisi lahan di dalam areal benteng pada sisi tenggara banyak ditumbuhi semak-semak dan ilalang, sedangkan pada sisi lainnya merupakan kebun singkong. Di luar areal benteng juga dimanfaatkan untuk kebun singkong. Di luar benteng sebelah barat daya berjarak sekitar 200 m terdapat kebun karet. Di sekeliling areal situs berjarak antara 200 – 500 m terdapat semacam lembah. Di sebelah selatan benteng, lembah bermula dari Way Kiri (sebelah tenggara) memutar ke arah selatan hingga barat daya dan berakhir di sebelah barat benteng. Lembah ini disebut kandungan Badak. Di sebelah utara benteng, lembah juga bermula dari Way Kiri memutar ke arah barat laut hingga ke arah barat. Lembah ini disebut kandungan Minak Muli.




Denah benteng di situs Keramat Gemol

(Sumber: Balai Arkeologi Bandung, 2001)


Luas lahan inti situs sekitar 0,75 ha. Benteng pada sisi barat daya sepanjang sekitar 85 m. Di luar benteng terdapat parit. Bila diukur dari dasar parit, tinggi benteng yang tersisa sekarang sekitar 1,5 m. Lebar parit pada bagian dekat sungai (sudut tenggara) berkisar 5 m. Ke arah barat laut parit semakin melebar, dan pada sudut barat lebarnya 9 m. Benteng maupun parit kemudian berbelok ke arah timur laut sepanjang sekitar 20 m. Pada ujung barat laut lebar parit kembali menyempit yaitu sekitar 3,5 m. Parit dan benteng berakhir pada tanah datar selebar 10 m, kemudian berlanjut lagi sepanjang sekitar 32 m. Pada sudut barat laut, parit dan benteng berakhir pada suatu lembah yang semakin ke arah utara dan barat semakin curam. Lembah ini ke arah barat menyatu dengan kandungan Minak Muli. Benteng sisi timur laut, pada ujung barat laut berada pada tepian lembah yang menyatu dengan kandungan Minak Muli tersebut. Ujung barat laut benteng sisi timur laut bila ditarik garis lurus ke arah ujung timur laut benteng sisi barat laut berjarak 35 m.

Konstruksi benteng sisi timur laut berbeda dengan sisi yang lain. Pada benteng yang berupa gundukan tanah pada sisi timur laut, terdapat dua bagian yaitu sebelah dalam dan luar, sehingga parit yang ada berada di antara dua benteng. Parit tersebut lebarnya sekitar 10 m, dengan panjang dari ujung barat laut hingga tenggara sekitar 80 m. Pada pertengahan sisi juga terdapat semacam “jalan”. Namun pada “jalan” tersebut yang terpotong hanya bentengnya saja, sementara keadaan parit tetap cekung.


Kondisi parit sisi timur laut situs Keramat Gemol

(Dok. Balai Arkeologi Bandung, 2000)


Data artefaktual yang pernah ditemukan antara lain fragmen keramik, tembikar, dan batu berupa tatal rijang. Pada tepi sungai, sisi luar sebelah selatan benteng terdapat makam Minak Indah. Makam berada di dalam cungkup bangunan permanen berdinding tembok bata dengan lantai keramik. Di sekeliling halaman cungkup dilengkapi pagar tembok bata. Bangunan ini merupakan hasil renovasi tahun 2001 yang semula berupa cungkup sederhana. Makam ditandai dua buah batu sebagai nisan. Di dalam cungkup masih tersimpan pipisan batu dalam keadaan pecah menjadi tiga bagian. Secara utuh pipisan batu berbentuk dasar segi empat berukuran panjang 48 cm, lebar 21 cm, tinggi 12 cm. Pada kedua sisi bagian lebar berbentuk kurawal. Bagian tengah sisi atas (dataran penghalus) terdapat cekungan.


Situs Tulung Sawo

Tulung Sawo merupakan sungai kecil yang alirannya berada di sebelah selatan Way Tulangbawang. Aliran Tulung (sungai kecil) Sawo bermuara di Way Bawang Bakung dan selanjutnya menyatu dengan Way Tulangbawang. Situs Tulung Sawo secara administratif termasuk wilayah Kampung Panaragan, Kecamatan Tulang Bawang Tengah. Situs berada pada pertemuan antara Sungai Seluang Kuring dan Tulung Sawo, berada pada posisi 04°31’24,3” LS dan 105°07’47,64” BT. Tulung Sawo mengalir dari arah barat laut menuju tenggara. Sungai Seluang Kuring mengalir dari arah timur laut menuju barat daya. Di sebelah selatan situs kemudian menyatu dengan Tulung Sawo kemudian mengalir ke arah timur.



Denah situs Tulung Sawo

(Sumber: Balai Arkeologi Bandung, 2005)


Jejak permukiman terdapat pada dua sektor yaitu di sektor utara dan sektor selatan. Keadaan lahan pada sektor utara, di bagian timur merupakan lahan kebun singkong sedangkan di bagian barat merupakan lahan yang tidak diurus sehingga banyak ditumbuhi ilalang dan semak belukar. Keadaan lahan pada sektor selatan merupakan kebun karet. Antara sektor utara dan selatan terdapat fitur parit yang sudah tidak begitu kelihatan. Jejak yang dapat dikenali berupa cekungan selebar 1 – 1,5 m dengan kedalaman sekitar 0,5 m. Fitur parit ini menghubungkan Tulung Sawo dengan Sungai Seluang Kuring. Menurut penuturan Bapak Tuan Pesirah dan Bapak Bandarsyah, parit itu dahulu dalam dan lebar.



Fitur parit di situs Tulung Sawo yang hampir tidak kelihatan

(Dok. Balai Arkeologi Bandung, 2005)


Berdasarkan pengamatan pada permukaan situs, artefak sebagai indikator permukiman banyak ditemukan baik pada sektor utara maupun selatan. Pengamatan pada sektor utara hanya dilakukan pada bagian timur, yaitu pada lahan yang ditanami singkong, sedangkan pada bagian barat tidak dilakukan pengamatan karena tertutup ilalang dan semak-semak. Artefak yang ditemukan di sektor utara maupun selatan kebanyakan berupa fragmen keramik asing.


Situs Bakung Nyelai

Situs Bakung Nyelai berada di Kampung Candra Kencana, Kecamatan Tulangbawang Tengah. Lahan situs berada di sebelah utara aliran sungai Bakung Nyelai yang merupakan anak Way Miring, tepatnya pada posisi 4°35’04” LS dan 105°07’06” BT. Lahan situs berupa kebun singkong. Tinggalan yang ada berupa sebaran fragmen artefak. Fragmen artefak yang telah ditemukan antara lain fragmen kerak besi, gerabah, keramik, dan kaca.


Konsentrasi fragmen keramik asing di situs Bakung Nyelai

(Dok. Puslitbang Arkenas, 2007)


Di sebelah timur laut lokasi sebaran fragmen artefak berjarak sekitar 100 m, terdapat “makam”. Menurut keterangan Nurcholis, masyarakat percaya bahwa “makam” tersebut merupakan kuburan Tubagus H. Mustofa bin Tubagus Ibrahim bin Tubagus Husein. Sebagai legitimasi, tokoh Tubagus H. Mustofa dipercaya sebagai keturunan Sultan Hasanudin dari Banten.



Keadaan “makam” berupa gundukan tanah dikelilingi pagar tembok bata yang merupakan bangunan baru. Sebagai tanda “makam” berupa serumpun pohon bambu kuning. Di dekat “makam” terdapat pohon pule dan kayu samang.


Kaitan Antara Tiyuh dan Umbul

Bagi masyarakat Lampung, tiyuh adalah sebagai kampung induk. Sementara itu umbul merupakan lahan garapan kelompok masyarakat yang tinggal pada suatu tiyuh. Dengan demikian hidup matinya tiyuh sangat dipengaruhi oleh produktifitas umbul. Dengan pola seperti ini, dapat diibaratkan bahwa tiyuh berfungsi sebagai kota sedangkan umbul merupakan wilayah penyangganya (hinterland). Dalam konteks demikian, kota dipandang sebagai bagian dari sistem yang lebih luas. Pada dasarnya kehidupan kota tidak dapat dipisahkan dari wilayah penyangganya (Rahardjo, 2007: 5).


Dalam konteks demikian, yang harus diketahui lebih dahulu adalah kaitan antara tiyuh mana berfungsi sebagai kota bagi umbul mana, atau dengan kata lain umbul mana yang merupakan hinterland bagi tiyuh mana. Untuk mengetahuinya dapat ditelusuri melalui tradisi lisan yang hidup sebagai ingatan kolektif masyarakat. Penggunaan data tradisi lisan memang mempunyai kelemahan, karena ingatan turun temurun tidak terlepas dari kemungkinan ditambah, dikurangi, atau direkayasa sesuai dengan imajinasi, kepentingan, dan tujuan penutur (Lubis, 2000: 10). Namun selama sumber sejarah yang lebih valid belum ditemukan, penggunaan tradisi lisan dapat membantu kajian arkeologi dalam memahami kaitan budaya dengan suatu situs (Anyon, 2008).

Tradisi lisan masyarakat mengenai situs Benteng Sabut dan situs Benteng Prajurit Putinggelang antara lain menyebutkan bahwa permukiman di Benteng Sabut didirikan oleh Minak Kemala Kota. Salah satu putri Minak Kemala Kota yang bernama Namo menikah dengan Runjung. Pernikahan antara Namo dengan Runjung menurunkan tokoh-tokoh Marga Tegamoan yaitu Tuan Rio Mangkubumi yang berkedudukan di Pagardewa, Tuan Rio Tengah yang berkedudukan di Meriksa (Menggala), dan Tuan Rio Sanaah yang berkedudukan di Panaragan. Hilman Hadikusuma (1989: 47) menerangkan bahwa Runjung adalah anak Minak Sebala Kuwang. Runjung menikah dengan Senama, yaitu anak Putri Bulan saudara Ratu Dipuncak. Perkawinan itu menurunkan Tuan Riyo Mangkubumi, Tuan Riyo Tengah, dan Tuan Riyo Sanak.

Pada masa Minak Kemala Kota berkuasa di Benteng Sabut, ada tokoh pendatang yang bernama Ratu Guruh Malay. Tokoh ini kemudian menetap dan membangun permukiman di Bujung Malay yang letaknya di sebelah hulu, berdampingan dengan Benteng Sabut. Minak Ratu Guruh Malay menurunkan Minak Ratu Joyosurou dan Minak Kemala Adam Gelar Radin Cosingo Diro. Minak Kemala Adam menurunkan Minak Muttah (Marentah) Dibumi.

Minak Muttah Dibumi diceritakan mempunyai tujuh orang prajurit (Pejurit Piteu). Catatan Marwansyah Warganegara (1975: 4) menyebutkan bahwa Pejurit Piteu tersebut adalah prajurit Majapahit yang menetap di Tulangbawang. Pada zaman Palembang diperintah Adipati Aria Damar, banyak prajurit Majapahit yang dikirim ke Palembang untuk memerangi perompak Cina di Sungai Musi. Ketika para prajurit ini ditarik kembali ke Majapahit, sebagian memilih menetap di Tulangbawang (Benteng Sabut, Bujung Menggalou). Prajurit-prajurit ini tidak semuanya berasal dari Majapahit (Jawa Timur) tetapi sebagian berasal dari Melayu Lingga dan Banten.

Lima orang dari ketujuh prajurit diketahui kedudukannya. Prajurit Prajurit Tejang Buwok (Panjang Rambut) berkedudukan di Gunungkatun Malay, Prajurit Macak Padan berkedudukan di Karta, Prajurit Tegi Balang berkedudukan di Negeri Ujungkarang, Prajurit Ngelah Kelah berkedudukan di Sukadana, dan Prajurit Putinggelang berkedudukan di Panaragan. Dua prajurit yang lain yaitu Prajurit Tegi Nyawou dan Prajurit Mas Kecacap belum diketahui lokasi kedudukannya.



Keletakan antara situs Benteng Sabut dan situs Benteng Prajurit Putinggelang

(Sumber: Balai Arkeologi Bandung, 2002 dengan modifikasi)


Prajurit Putinggelang yang berkedudukan di Panaragan, diceritakan mempunyai wilayah permukiman di Benteng Prajurit Putinggelang atau Umbul Lebung. Di sekitar benteng ini memang banyak dijumpai lebung, yaitu semacam danau kecil di dekat sungai besar. Air yang mengisi lebung berasal dari sungai besar ketika terjadi banjir. Pada saat banjir, ikan yang berada di sungai akan memasuki lebung. Pada masa air surut, selain terisi air, ikan juga akan terjebak di lebung. Sistem pemberdayaan lebung ini hingga sekarang masih dijalankan masyarakat Tulangbawang.


Keletakan antara situs Keramat Gemol dan situs Umbul Tulung Sawo

(Sumber: Balai Arkeologi Bandung, 2005 dengan modifikasi)


Berkaitan dengan situs Keramat Gemol, tradisi lisan masyarakat mengkaitkannya dengan tokoh Minak Indah. Prajurit Putinggelang yang berkedudukan di Panaragan diangkat menjadi saudara Minak Indah. Disebutkan bahwa Minak Indah di Keramat Gemol mempunyai wilayah di sepanjang aliran Tulung Sawo. Di sana terdapat tiga lokasi yaitu Tulung Sawo Gabo merupakan pemukiman keturunan (buay) Minak Rio Begeduh dan buay Minak Indah. Tulung Sawo Tengah merupakan pemukiman buay Minak Indah dengan isteri kedua yaitu orang Abung dari Terbanggi. Tulung Sawo Lebo merupakan pemukiman buay Prajurit Putinggelang.

Pada salah satu kisah disebutkan bahwa Minak Indah dikalahkan oleh Minak Trio Desa dari klan Abung. Kepala Minak Indah dipenggal dan dibawa ke kampung orang Abung di daerah Way Pengubuhan. Prajurit Putinggelang akhirnya dapat merebut kembali kepala Minak Indah kemudian dibawa kembali dan dikuburkan di Keramat Gemol.

Berdasarkan tradisi lisan tersebut terdapat gambaran bahwa Benteng Sabut merupakan tiyuh yang didirikan pada masa Minak Kemala Kota dan berkembang selama paling tidak tiga generasi. Pada masa Minak Muttah Dibumi tampak bahwa Benteng Sabut mencapai masa puncak. Pada masa ini terdapat beberapa lokasi yang berada di bawah kontrol Benteng Sabut. Pada masa yang bersamaan, di aliran Way Kiri terdapat juga pemukiman di Keramat Gemol. Sebagai penguasa di Keramat Gemol adalah Minak Indah. Baik Minak Indah maupun Minak Muttah Dibumi mempunyai kaitan erat dengan moyang Minak Kemala Kota. Dengan demikian antara penguasa Benteng Sabut dengan Keramat Gemol masih dalam satu klan yang bermula dari posisi dan peran Minak Kemala Kota.

Dengan adanya penguasa tersebut dapat disimpulkan bahwa pada masa itu juga sudah terbentuk sistem organisasi. Benteng Sabut dan Keramat Gemol secara substantif dapat dipahami sebagai kota yang mempunyai fungsi ideologis, administrasi, politik, dan ekonomi. Secara ideologis, kota menjalankan peranannya sebagai pusat pemujaan dan ritus serta pusat simbol dan gengsi politik. Secara administratif berperan sebagai pusat informasi dan pengambilan keputusan. Secara politis, kota berperan sebagai pusat konsentrasi kekuatan pemaksa, sedang secara ekonomi, kota berperan sebagai pusat pasar bagi barang-barang yang berasal dari wilayah penyangga yang berada di sekelilingnya (Rahardjo, 2007: 6). Dalam peranannya sebagai pusat pasar, kota berfungsi dalam hal pemenuhan kebutuhan penduduk lokal dari kebutuhan ekonomi sehari-hari. Kebutuhan itu biasanya berupa barang-barang yang dihasilkan oleh penduduk setempat atau daerah pemangku yang terdekat (Webber, 1977: 13).

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa Benteng Sabut mempunyai salah satu wilayah penyangga adalah Benteng Prajurit Putinggelang yang juga disebut Umbul Lebung. Kaitan ini terutama terjadi dalam hubungan antara Minak Muttah Dibumi sebagai penguasa Benteng Sabut dengan Prajurit Putinggelang sebagai prajurit yang menguasai Umbul Lebung. Keramat Gemol sebagai kota yang dipimpin oleh Minak Indah mempunyai wilayah penyangga di Tulung Sawo. Salah satu umbul di Tulung Sawo juga merupakan wilayah kekuasaan Prajurit Putinggelang. Kaitan antara Minak Indah dengan Prajurit Putinggelang dalam hal ini adalah saudara angkat. Penguasaan daerah penyangga oleh kerabat penguasa tertingi secara tidak langsung akan mempertahankan fungsi kota secara politis.


Keletakan antara Tiyuh Bandardewa dan Umbul Bakung Nyelai


Salah satu situs lain yang kedudukannya sebagai umbul adalah Bakung Nyelai. Menurut keterangan Marzuki Gelar Suttan Tutuk, Kepala Kampung Bandar Dewa tahun 1977 – 1998, Kampung Bandar Dewa pada zaman pemerintahan marga berlaku, mempunyai dua umbul yaitu Bakung Nyelai dan Jung Belabuh. Umbul Bakung Nyelai adalah milik masyarakat Bilik (satuan masyarakat setingkat RT sekarang) Lebo sedangkan umbul Jung Belabuh adalah milik masyarakat Bilik Way (Tim Penelitian, 2007: 27-28). Berdasarkan keterangan tersebut dapat diketahui bahwa Bandar Dewa sebagai kampung induk mempunyai permukiman penyangga antara lain adalah umbul Bakung Nyelai dan Jung Belabuh.

Hubungan fungsional antara tiyuh dan umbul, sama halnya dengan hubungan antara kota induk dengan kota satelit. Pasang surutnya kota berbentuk stellar, yaitu morfologi kota yang terdiri kota induk dikelilingi kota satelit, sangat dipengaruhi oleh sarana transportasi dan telekomunikasi (Yunus, 2000: 124). Lancar tidaknya pertukaran informasi antara tiyuh dan umbul tergantung pada kualitas prasarana transportasi dan jarak. Lokasi umbul menurut peraturan hukum adat harus berada lebih dari 5 pal (± 8 km) dari pusat tiyuh. Kawasan dalam radius 5 pal merupakan kawasan kekuasaan kepala tiyuh (Khalik, 2002: 79). Peraturan itu merupakan hasil musyawarah yang ditetapkan pada 26 Juli 1910 (Khalik, 2002: 91). Dengan memperhatikan peraturan dan kondisi situs, akan dapat diketahui kemungkinan adanya perubahan peraturan.

Umbul Lebung yang menginduk pada tiyuh Benteng Sabut berjarak sekitar 4 km. Pada masa yang sama yaitu antara umbul Tulungsawo dengan tiyuh Keramat Gemol berjarak sekitar 10 km. Berdasarkan perbandingan jarak, umbul di Benteng Sabut jaraknya tidak memenuhi persyaratan peraturan hukum adat, sedangkan umbul di Keramat Gemol sudah memenuhi peraturan hukum adat. Dengan demikian, peraturan hukum adat tahun 1910 tidak sesuai dengan keadaan pola keletakan pada masa Benteng Sabut dan Keramat Gemol. Umbul dari masa yang lebih kemudian yaitu umbul Bakung Nyelai yang menginduk pada tiyuh Bandar Dewa berjarak sekitar 15 km. Jarak ini sudah memenuhi peraturan hukum adat 1910.

Secara geografis keletakan umbul juga tidak berada pada satu sistem aliran sungai yang sama dengan tiyuh induk. Namun demikian lokasi umbul juga berada pada tepi sungai. Umbul Lebung (Benteng Prajurit Putinggelang) berada pada pertemuan antara Tulung Pasik dengan Way Gemol. Hulu Tulung Pasik berada pada satu bukit yang sama dengan Way Pikuk yang bermuara di Way Kiri. Tiyuh Benteng Sabut berada pada pertemuan antara Way Pikuk dan Way Kiri. Dengan demikian Way Pikuk dan Tulung Pasik dapat berfungsi sebagai akses antara Umbul Lebung dengan Tiyuh Benteng Sabut.

Hal yang lebih ekstrim lagi terlihat dari keletakan umbul Tulung Sawo terhadap tiyuh Keramat Gemol dan umbul Bakung Nyelai terhadap tiyuh Bandar Dewa. Umbul Tulung Sawo berada di aliran Tulung Sawo yang merupakan anak sungai Way Tulangbawang. Antara Keramat Gemol dengan Tulung Sawo tidak dihubungkan sama sekali oleh pola aliran. Umbul Bakung Nyelai berada di tepi Way Bakung Nyelai yang juga bermuara di Way Tulangbawang. Antara tiyuh Bandar Dewa dengan umbul Bakung Nyelai juga tidak dihubungkan dengan salah satu pola aliran. Dengan demikian masyarakat pada waktu itu tidak tergantung penuh pada prasarana transportasi air berupa sungai, tetapi juga sudah dikenal jalan darat. Pemilihan lokasi umbultiyuh tidak lagi memperhatikan jarak dan prasarana melainkan lebih pada pertimbangan potensi wilayah.


Simpulan

Tiyuh sebagai permukiman masyarakat Lampung juga didukung pemukiman penyangga yang disebut umbul. Menurut peraturan hukum adat Lampung tahun 1910, jarak antara tiyuh dengan umbul harus lebih dari 5 pal (± 8 km). Pada situs-situs yang berasal dari masa sebelum tahun 1910, jarak antara umbultiyuh ada yang kurang dari 8 km, sedangkan pada situs yang lebih muda berjarak lebih dari 8 km. Secara geografis, keletakan antara tiyuh induk dengan umbul tidak selalu berada pada akses prasarana transportasi air. Dengan demikian masyarakat pada waktu itu sudah memanfaatkan prasarana transportasi darat.


Kepustakaan

Alf, Achjarani. 1954. Ngeberengoh “Sedar”. Tanjungkarang.

Anyon, Roger et al. 1996. Native American Oral Traditions and Archaeology. Bulletin Society for American Archaeology 14 (2). http//www.saa.org/ publications/SAAbulletin/14-2/SAA14.html.

Hadikusuma, Hilman dkk. 1977/1978. Adat Istiadat Daerah Lampung. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya.

---------, 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandung: Mandar Maju.

Hoop, A. N. J. Th. A. Th. Van Der. 1932. Megalithic Remains in South Sumatra. Terj. William Shirlaw. Netherland: W. J. Thieme & Zutphen.

Khalik, Abu Tholib. 2002. Pelatoeran Sepandjang Hadat Lampong. Deskripsi dan Terjemahan Hukum Adat Klasik Tulangbawang. Yogyakarta: Philosophy Press.

Lubis, Nina H. 2000. Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat. Bandung: Alqaprint.

Mintosih, Sri (et. al.) 1993. Sistem Pemerintahan Tradisional Daerah Sumatera Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Purwanti, Retno. 1995. Perang Pada Masa Sriwijaya: Tinjauan Terhadap Prasasti-prasasti Abad VII Masehi. Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung No. 3, hlm. 98 – 103.

Rahardjo, Supratikno. 2007. Kota-kota Prakolonial Indonesia: Pertumbuhan dan Keruntuhan. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Soebing, Abdullah A. 1988. Kedatuan di Gunung Keratuan di Muara. Jakarta: Karya Unipress.

Soekmono. 1985. Amerta 3. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Sumadio, Bambang. 1990. Jaman Kuna, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tim Penelitian. 2007. Laporan Penelitian Arkeologi: Penelitian Arkeologi Permukiman Situs Bakung Nyelai dan Situs Jung Belabuh, Tulangbawang Tengah, Lampung. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.

Warganegara, Marwansyah. 1975 Masyarakat dan Adat Budaya Tulangbawang. (naskah tidak diterbitkan).

Webber, Max. 1977. Apakah Yang Disebut Kota ?. Dalam Sartono Kartodirdjo (ed.). Masyarakat Kuno & Kelompok-kelompok Sosial, hlm. 11 – 39. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Yudha, Ahmad Kesuma. 1995. Perspektif Sosiologis Dalam Pembangunan Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang. Makalah pada Seminar Pembangunan Masyarakat Tulangbawang. Bandar Lampung, 29 – 30 Maret 1996. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang (belum diterbitkan).

Yunus, Hadi Sabari. 2000. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



Tulisan ini sudah diterbitkan di buku berjudul "Dinamika Permukiman Dalam Budaya Indonesia" Editor: Kresno Yulianto, M. Hum., hlm. 45 - 64. Penerbit: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Jawa Barat - Banten, Bandung: 2008.